Dinamika demokrasi di Indonesia tengah menunjukkan fenomena yang dianggap aneh oleh para akademisi dan pengamat politik. Meskipun indeks demokrasi meningkat, kualitas substantif seperti kontrol terhadap korupsi dan berbagai penyimpangan justru mengalami penurunan. Hal tersebut diungkapkan oleh Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Prof. Edy Suandi Hamid, M.Ec., dalam sambutannya saat Seminar Nasional bertema "Budaya Partisipatif Kampus dalam Melawan Regresi Demokrasi" yang diadakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UWM pada Jumat (4/10) pagi di Pendopo Ndalem Mangkubumen Kampus 1 UWM. Seminar nasional ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Dies Natalis ke-42 UWM yang diikuti oleh sekitar 50 peserta. Pembicara dalam seminar nasional ini antara lain Dekan FISIPOL UWM Dr. As Martadani Noor, M.A., dosen FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Muhammad Sulhan, M.Si., dan dosen FISIPOL Universitas Hasanuddin, Haryanto, S.IP., M.A.
Lebih lanjut, Prof. Edy menyoroti fenomena peningkatan government index Indonesia yang tidak diiringi dengan perbaikan signifikan dalam hal pengawasan korupsi dan pelanggaran lainnya. Fenomena ini dipandang sebagai tanda adanya regresi demokrasi, di mana demokrasi berjalan secara prosedural namun kehilangan esensi, seperti transparansi, keadilan, dan akuntabilitas serta terjadinya politisasi hukum yang digunakan untuk kepentingan segelintir orang. "Government index kita meningkat, tapi anehnya, kontrol korupsi dan penyimpangan justru menurun. Di negara-negara lain, ketika demokrasi tumbuh, kualitas pemerintahan juga meningkat. Apakah ini menandakan bahwa demokrasi kita hanya prosedural dan formalistik?" ujarnya.
Menurut Prof. Edy, kondisi demokrasi Indonesia lebih mengarah pada demokrasi formalistik, di mana pemilihan umum digelar secara berkala, tetapi tetap diwarnai praktik destruktif. Salah satu bentuk demokrasi prosedural yang ia soroti adalah transaksionalnya pemilu, di mana pemilih kerap didaftarkan secara tidak sah, dan aktor politik maupun pengawas pemilu seolah membiarkan hal tersebut terjadi. "Saat ini, masyarakat bisa menukar suaranya dengan paket sembako. Ini mencerminkan betapa lemahnya kualitas demokrasi kita yang seharusnya mengutamakan kesadaran politik dan bukan sekadar transaksi materi," jelas Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah DIY ini.
Lebih jauh, Prof. Edy juga menyinggung fenomena yang ia sebut sebagai "demokrasi membunuh demokrasi". Fenomena ini terjadi ketika segelintir elit politik menggunakan sistem hukum, termasuk Mahkamah Konstitusi, untuk memanipulasi undang-undang demi keuntungan pribadi, seperti pencalonan sebagai wakil presiden atau kepala daerah tanpa mematuhi aturan yang berlaku. "Ini adalah bentuk penghancuran demokrasi, di mana undang-undang diubah untuk memenuhi ambisi politik pribadi. Ini jelas mencederai prinsip demokrasi", tegasnya.
Sementara itu, Dr. Sulhan mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama kemunduran demokrasi di Indonesia adalah disinformasi yang merajalela di media sosial. Menurut Sulhan, media sosial digunakan oleh para buzzer dan influencer untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan secara masif, yang pada akhirnya memperburuk kualitas demokrasi. "Media sosial memiliki karakter yang mampu menembus batas dan penyebaran informasinya tidak terkontrol. Ini menjadi lahan subur bagi disinformasi, karena kontrol terhadap konten sangat lemah, dan regulasi pemerintah tidak efektif," ujarnya.
Pandangan lain mengenai kondisi demokrasi di Indonesia disampaikan oleh, Dr. Martadani. Menurutnya, Indonesia sedang mengalami kemunduran dalam hal pemahaman dan implementasi prinsip-prinsip demokrasi yang fundamental, seperti kebebasan, kesetaraan, dan akuntabilitas. Negara bahkan cenderung mengalami pergeseran menuju otoritarianisme, yang ditandai dengan penurunan kualitas institusi demokrasi dan lemahnya penegakan hukum. "Meningkatnya konflik sosial, ketegangan antar kelompok, serta menurunnya partisipasi masyarakat dalam politik adalah gejala yang jelas dari regresi demokrasi. Budaya politik populisme berkembang, namun ini bukanlah indikasi demokrasi yang sehat," ungkapnya.
Di sisi lain, Haryanto menyampaikan bahwa kalangan muda, khususnya mahasiswa, memiliki peran penting dalam upaya membangkitkan demokrasi. Menurutnya, mahasiswa harus aktif mengambil bagian dalam menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi dengan terlibat dalam praktik-praktik kearifan lokal seperti gotong royong dan kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat secara luas. "Mahasiswa harus merebut ruang publik, baik melalui aksi demonstrasi maupun kegiatan-kegiatan yang mendorong kesadaran sosial masyarakat. Demokrasi tidak akan hidup tanpa adanya keterlibatan aktif dari generasi muda terrutama kaum intelektual organik," ungkap Haryanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H