Mohon tunggu...
Antonius Ruron
Antonius Ruron Mohon Tunggu... Guru - Guru Penjas Sekolahan

You'll never write alone

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebiasaan Membakar Kebun Itu Sesat

28 September 2024   12:40 Diperbarui: 28 September 2024   12:48 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kombinasi materi yang disajikan bapak Kludolfus Tuames, S.P., Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Benenain Noelmina NTT dan snak gratis dari Panitia Kuliah Umum Program Studi (Prodi) Pendidikan Biologi Universitas Timor (Unimor) memberikan sensasi unik. Lembut di lidah, menarik di dalam pikiran dan menimbulkan kecamuk di hati.

Ketika paparan materi itu berlangsung, kenangan masa kecil hidup di dusun muncul ke permukaan. Pengalaman mengikuti kerabat ke kebun, membakar kebun atau lahan untuk membuka perkebunan sebelum musim tanam sepertinya sudah menjadi kebiasaan sejak lama. Bahkan diagendakan secara gotong royong demi mencegah api menjalar ke luar area yang sudah ditentukan.

Waktu itu dalam benak saya, "wah hebat, dengan sedikit sentuhan dengan korek api saja, bisa mengubah seluruh hamparan ini menjadi abu dalam hitungan jam, kerja cepat dan hemat tenaga". Siapa sangka jalan pintas untuk membuka lahan perkebunan ini menjadi metode ampuh mempercepat kehancuran alam kita.

Pembicara dengan sabar menjelaskan bahwa daerah NTT yang kaya akan keindahan alam, ternyata sangat rentan terhadap kekeringan, banjir, longsor akibat perubahan iklim. Bagian ini semakin membuat kita sadar bahwa bencana-bencana yang dulunya kita cuman lihat di tv, sekarang benar-benar ada di dekat kita.

Hasil perkebunan dan pertanian yang menurun bukan karena sihir jahat tetangga yang tidak ingin kita maju, namun karena praktek yang keliru, tidak sabaran menanam jagung dengan cara termudah, yakni membakar lahan !

Sepanjang kuliah, pesan tentang pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terus ditekankan. DAS bukan sekedar sungai atau kali kecil yang mengalirkan air, tapi juga menjadi penyangga kehidupan. Kalau hutan di sekitar DAS dirusak, air yang jernih bisa berubah jadi cokelat penuh lumpur.

Saya jadi sadar kali "Lungu bele" di dusun kami. Waktu kecil dulu, kalau musim hujan tiba memang berlumpur, namun setelah itu menjadi jernih dan mengalir sepanjang musim hujan. Sekarang tidak lagi, sekalinya hujan, kalinya mengalir air coklat, setelah hujan berhenti, mungkin cuman satu hari setelahnya kembali kering lagi.

Perlu diketahui juga bahwa membakar lahan tidak hanya menghilangkan tanaman, tetapi juga merusak unsur-unsur penting dalam tanah. Kita seolah-olah bilang "hei karbon, nitrogen, fosfor, kalian tidak dibutuhkan di sini, silahkan terbang dan menjadi polusi di udara". Suhu panas yang tinggi saat dibakar menyebabkan unsur unsur yang penting pada tanah menghilang. Misalnya karbon yang penting untuk penyimpanan air dan menyediakan energi bagi mikroorganisem tanah terbakar, terbang jauh ke atas langit sebagai karbon dioksida. Ini berdampak buruk, mengurangi kesuburan, hasil panen menurun.

Penjelasan dan cerita dari Kepala BPDAS menggambarkan bagaimana praktik pembakaran lahan, yang diajarkan oleh para penjajah pada zaman penjajahan, lalu diteruskan oleh tetua kita, dan dianggap sebagai cara cepat dan efektif membersihkan lahan ternyata membawa konsekuensi jangka panjang yang serius bagi tanah, pertanian dan lingkungan. Warisan agak sesat ini harus dihentikan.

Bagian akhir pemaparan materi, pembicara memberikan solusi dengan nada yang mungkin agak optimis, meski tampak lelah menghadapi kenyataan bahwa masih banyak orang yang lebih suka menyalahkan api ketimbang menanam pohon. Banyak anak muda yang telah dengan serius mengkampanyekan menjaga alam. Menjaga alam memang tugas yang berat. Dan jikalau kita tetap memilih jalan pintas, mungkin suatu hari kita akan melihat NTT bukan lagi sebagai Nusa yang hijau, tapi menjadi daerah kering dan gersang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun