Di pinggir sebuah danau yang tenang, berdiri pohon flamboyan besar yang daunnya rindang. Pohon itu telah menjadi tempat pelarian bagi Dira, seorang pemuda yang gemar menulis. Setiap sore, ia duduk di bawah pohon itu, ditemani buku catatan usangnya dan secangkir kopi dari termos kecil.
Senja adalah waktu yang selalu ia tunggu. Langit berwarna oranye keemasan, memantul di permukaan danau yang jernih. Bagi Dira, senja di bawah pohon flamboyan bukan hanya tentang keindahan, tetapi juga saat untuk merenung dan mencatat fragmen hidup yang kadang terlewat begitu saja.
Suatu hari, ketika ia sedang menulis, seorang gadis datang. Gadis itu tampak asing, dengan rambut panjang yang dikepang dan mengenakan gaun putih sederhana. Ia duduk di sisi pohon tanpa berkata apa-apa, hanya menatap danau sambil menggenggam buku sketsa.
Dira melirik sekilas, tapi enggan mengganggu. Ia melanjutkan tulisannya, namun tak bisa sepenuhnya fokus. Gadis itu memancarkan aura yang tenang, namun juga membuat Dira penasaran. Setelah beberapa saat, ia memberanikan diri bertanya, “Suka melukis?”
Gadis itu tersenyum kecil dan mengangguk. “Iya, ini tempat yang indah untuk mencari inspirasi.”
Mereka mulai berbicara, saling memperkenalkan diri. Gadis itu bernama Rania. Ia baru pindah ke desa itu karena ibunya yang sakit ingin tinggal di tempat yang tenang. Rania bercerita bahwa melukis adalah caranya untuk mengabadikan momen-momen yang ia anggap istimewa.
Hari itu, mereka berbagi keheningan di bawah pohon flamboyan. Dira menulis, Rania melukis, dan senja menyelimuti mereka dengan warna-warna hangatnya.
Setiap sore setelahnya, Dira dan Rania selalu bertemu di tempat itu. Mereka tak pernah merencanakan, tapi seolah-olah pohon flamboyan itu tahu cara mempertemukan mereka. Dira mulai menulis lebih banyak cerita tentang harapan dan keindahan, sementara Rania melukis senja yang kini terasa lebih hidup.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Suatu sore, Rania tak datang. Dira menunggu hingga matahari tenggelam, tapi gadis itu tak juga muncul. Keesokan harinya, dan hari-hari setelahnya, Rania tetap tak ada.
Hingga akhirnya, Dira mendengar kabar bahwa ibu Rania telah berpulang. Rania dan keluarganya memutuskan kembali ke kota besar.
Pohon flamboyan itu kini terasa sepi. Namun, Dira masih datang setiap sore. Ia menulis tentang gadis yang pernah berbagi senja dengannya, tentang percakapan sederhana yang meninggalkan bekas mendalam, dan tentang harapan bahwa suatu hari mereka akan bertemu lagi.
Senja di bawah pohon flamboyan tetap indah, tapi kini terasa seperti kenangan. Bagi Dira, pohon itu bukan hanya tempat untuk merenung, tapi juga tempat untuk menjaga sebuah kisah yang tak pernah selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H