Mohon tunggu...
antonius dian
antonius dian Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Kajian Media Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

“Media sebagai Perpanjangan Tangan Kaum Laki-laki”: Kajian Feminis dalam Media dan Teknologi

21 Februari 2014   22:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jika kita mendengar pernyataan ‘media adalah perpanjangan dari ‘man’, maka pertanyaan kita bakal merujuk pada ‘man’ sebagai manusia, atau ‘man’ sebagai male sex? Mungkin pertanyaan ini disebabkan karena ‘man’ memiliki arti yang ambigu dalam bahasa inggris. Namun bagi kaum feminis, itu merupakan makna secara harafiah, yaitu media memang dipandang sebagai perpanjangan tangan dari kaum laki-laki.

Gagasan mengenai media merupakan male domination sangat diterima oleh para pengkaji media. Mereka juga berpendapat bahwa feminist perspectives merupakn salah satu alat pandang yang cocok untuk membahas media dan perwujudan teknologi.

Kritik feminis paling banyak membahas konten dari media. Media massa masih memberi tempat bagi proses legitimasi bias gender, terutama dalam menampilkan representasi perempuan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai citra dan teks pemberitaan, iklan, film, sinetron dan produk media massa lainnya. Yang ditampilkan adalah kondisi perempuan sebagai objek, dengan visualisasi dan identifikasi tubuh seperti molek, seronok, seksi, dan sejenisnya. Dalam pemberitaan kasus kriminal, perkosaan misalnya, perempuan juga sering digambarkan sebagai sosok yang seolah ikut andil sehingga meyebabkan kasus itu terjadi, bukan murni sebagai korban kejahatan kaum laki-laki. Di sisi lain penempatan perempuan sebagai korban atau saat menjadi pelaku/tersangka juga sarat dengan warna eksploitasi. Penggunaan kosakata masih berorientasi seksual, seperti “dipaksa melayani nafsu”, “bertubuh molek”, dan sebagainya.

Dalam aktivitas media sangat sedikit kaum perempuan terlibat menjadi pekerja media. Persoalan kuantitatif ini barangkali tidak terlalu parah bila di antara jumlah yang sedikit tersebut para praktisi media perempuan telah memiliki sensitifitas gender. Ironisnya, karena umumnya mereka masuk dalam dunia media yang sangat maskulin, ukuran-ukuran pemberitaan yang digunakan masih menggunakan ukuran laki-laki sebagai pihak dominan dalam pengambilan keputusan. Tulisan-tulisan yang disajikan praktisi media pun sudah dikondisikan dalam “pola laki-laki” (male patterns). Seandainya ada jurnalis perempuan yang concern terhadap sensitifitas gender, hanya menempati posisi yang kurang penting dalam jajaran dewan pengurus media. Bahkan dalam sejarah pers Indonesia, nama-nama tokoh pers pun cenderung dihegemoni nama “laki-laki”.

kepentingan ekonomi dan politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Perempuan dan segala stereotipe-nya dalam pandangan media massa adalah komoditas yang laku dijual. Media massa, di Indonesia, sebagai bagian dari lingkaran produksi yang berorientasi pasar menyadari adanya nilai jual yang dimiliki perempuan, terutama sebagai pasar potensial. Kondisi kultural ini didukung pula oleh permasalahan kultural di level organisasional media, terutama masalah corporate culture yang masih sangat patriarkis.

The pornography issue

Pronografi merupakan contoh terbaik untuk mengilustrasikan analisis feminis dalam memahami relasi antara teknologi media dan konten media.  Banyak dari kaum feminis yang mengkritik bahwa pornografi merupakan bentuk eksploitasi dari perempuan, di mana pemroduksiannya secara umum ditujukan untuk dikonsumsi oleh laki-laki. Kritikal analisis mengenai pornografi sebagai media teknologi dapat di pisah kedalam dua fakta mendasar. Pertama adalah pornografi sebagai sebuah industri (adult entertainment industry), dan pornografi sebagai teknologi. Kedua fakta tersebut tidak lepas dari organisasi produksi, distribusi dan konsumsi media yang secara esensial tidak lepas dari teknologi media. Di sini industri film porno merupakan komoditas luar biasa dalam industri budaya (Adorno and Horkheimer 1979), dimana Sex menjadi barang yang dikomodifikasi.

Organisasi dalam industri pornografi secara umum juga didominasi para laki-laki. Laki-laki seringkali (tidak bermaksud mengeneralisasi) menempati posisi direktur, pemilik modal, distributor, sutradara, editor, produser, penulis naskah, kameramen, fotografer, koreografer, sementara perempuan terlibat dalam akting, modeling, dan pendukung artis seperti penata rambut, makeup, dan katering.

Pornography as a technology of mediation:

Pornografi menggunakan teknologi sebagai mediasi. Eksploitasi yang telah dilakukan industri pornografi telah semakin jauh. Tidak hanya konten dan organisasi dalam pornografi, namun kita juga butuh menaruh perhatian terhadap teknologi. Pornografi sudah menginfiltrasi budaya pop mainstream. Ia  merambah kesegala media sperti media cetak, TV, film maupun internet.

Pornagrafi dan media teknologi merupakan hal yang tidak terpisahkan. Pornografi dan teknologi membuat simbiosis mutualisme yang sangat memuaskan satu sama lain, dimana pornografi membutuhkan teknologi untuk menyebarluaskan media yang biasa dia pakai, dan teknologi sendiri menuai permintaan yang banyak ketika berinteraksi dalam pornografi. Teknologi dalam pornografi membuat orang menjadi voyeuristic (menikmati kepuasan seksual dengan visual). Pornografi dan media teknologi memacu hiperealitas. Stelah hiperealitas terbenuk maka timbul the gaze (kondisi personal memberikan atensi yang lebih mengenai hal itu).

Teknologi juga menghasilkan Visual kultur. Adanya video dan fotografi dapat mereduksi narasi, dari situ lalu gambar menciptakan narasi yang multiplikatif. Gaze tadi bisa menceritakan cerita yang baru terhadap hal yang sama, akibatnya hal itu dapat meluapkan hasrat sexual. Menulis mampu menstimulus pemikiran dan artikulasi verbal akan hasrat, sedangkan fotografi mampu membuat juxtaposisi dari intepretasi.

Apa yang identik dengan pornografi dijaman modern ini selalu berhubungan dengan media visual dan media elektronik, misalnya fotografi, film, televisi, video, dan tentunya internet. Elektronik membuat sesuatu yang unik direproduksi dengan baik. Media elektronik merupakan modal awal untuk menghubungkan secara langsung antara visual dan kepekaan akan stimuli. Ini secara tegas menjadi sebuah pendobrak atas erotisisme (cyber dildolics (kondisi dimana konten cyber dapat membuat rangsangan)).

Pornografi di internet merupakan bentuk dari pornografi yang sejati, karena dia tidak pernah berakhir, memiliki database yang selalu siaga berisi narrative-less fragment berupa gambar, tulisan, video clip dan suara yang terakit dengan baik dalam bentuk arsip yang mudah untuk diakses sewakti-waktu. Pornografi di internet meupakan emporium (tempat untuk saling bertukar) tanpa batas atas pretanda sesksual dimana para kreator membuat para orang memuja kreasinya.

Pornografi di internet murupakan alat pemuan nafsu seksual jangka pendek, itu tidak pernah bisa memuaskan karena manusia memiliki hasrat yang tidak terbatas. Dalam bentuk elektronik pornografi telah masuk secara logis mencapai tahapan berikutnya dari reproduksi mekanik. Tidak hanya mengkonsumsi hasil seni secara umum melainkan mereduksi nilai dari objek seni secara signifikan, bahkan mungkin nilai seninya hilang sama sekali. Mediasi elektronik tidak hanya menjadi sebab transformasi presepsi terhadap perempuan namun juga mengubah kedudukan dari perempuan itu sendiri.

Simulation revisited: manipulating needs

Sex dijadiakan sebuah komoditas oleh industri budaya. Melalui teknologi sex kemudian ditontonkan dan diperjual belikan. Industri memandang bahwa sex merupakan kebutuhan setiap manusia, segmen pasar pun juga turut diperhatikan. Industri pornografi cenderung memproduksi adegan sex heterosexual dari pada homosexual, karena pasar mereka pasti lebih banyak yang heterosexual, kalau pun homosexual pasti akan lebih banyak mengekpos lesbian dari pada gay, karena sasaran konsumen dari industri pornografi kebanyakan adalah laki-laki.

Industri pornografi memanfaatkan perkembangan teknologi sebagai mediasi, hal itu membuat konsumen berusaha memenuhi tuntutan teknologi untuk mengaksesnya, sehingga konsumen memiliki kebutuhan palsu akan teknologi, dan yang diuntungkan disini adalah industri teknologi.

Cyberfeminism

Cyberfeminism merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas kaum feminis yang berkepentingan dalam dunia maya, internet, dan teknologi. Istilah ini diciptakan untuk menggambarkan aktivis feminis yang tertarik berteori, mengkritisi, memanfaatkan internet, dunia maya, dan teknologi media baru pada umumnya.

Tujuan daei cyberfeminism bervariasi, ada yang memandang internet sebagai sarana ekspresi yang bebas dari konstruksi sosial seperti gender dan perbedaan Janis kelamin. Jika dilihat dari teknologi, cyberfeminism merupakan kendaraan untuk pembubaran jenis kelamin dan gender. Hal tersebut dapat terjadi karena di internet posisi manusia lebih terlihat sejajar dibandingkan di dunia nyata. Dampak tersebut diharapkan akan berimbas di dunia nyata, sehingga akan menciptakan kesetaraan gender yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Bucy, Erik P. 2002. Living in the information age: A new media reader. USA: Wadsworth.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun