Perubahan iklim menjadi permasalaha tersendiri bagi dunia modern saat ini, pasal nya kenaikan suhu bumi dan permukaan air laut sangat berpengaruh terhadap kemajuan perekonomian serta iklim yang ada di dunia. Perubahan iklim memiliki konsekuensi yang berkelanjutan serta tantangan tersendiri bagi masyarakat serta politik global (Soedjajadi K., 2007). Dalam isu politik saat ini banyak sekali kasus yang terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan dampak yang dirasakan oleh negara maju seperi Inggris dan Wales terbilang cukup parah. Perubahan iklim yang terjadi memberikan dampak keracunan makanan bagi kedua negara tersebut, dengan jumlah kasus yang melebihi 30.000 kasus perubahan iklim tersebut patut diwaspadai (Soedjajadi K., 2007).
Para pelaku politik telah mencacnangkan sebuah kebijakan yaitu Protokol Kyoto, tujuan kebijakan ini dibentuk untuk mengurangi emisi rumah kaca yang berkelanjutan (Hadi, 2018). Kebijakan ini dinilai sangat relevan untuk menanggulangi perubahan iklim yang terjadi, dalam hal ini banyak negara yang mengandalkan emisi gas konvesional menandatangi kebijakan ini (Hadi, 2018). Hal ini memberikan nafas segar bagi perpolitikan dunia, pasalnya banyak sekali negara yang cenderung mengalami penurunan pendapatan karena kasus perubahan iklim tersebut.
Selain Protokol Kyoto, pembentukan UNFCC juga bertujuan untuk memberikan penanganan serius terhadap perubahan iklim yang terjadi di dunia (Greene, 2000). Tujuan pembentukan UNFCC ini adalah untuk menekan dan memberikan tindakan lebih lanjut mengenai efek rumah kaca yang membahayakan iklim bumi. Dalam perjanjian ini negara negara maju diminta untuk ikut serta dalam mengambil peran aktif dalam memerangi perubahan iklim. Mengingat kemampuan politik dan ekonomi mereka terbilang jauh diatas dari negara negara berkembang yang terkena dampaknya (Greene, 2000).
Dalam pelaksanaan nya, dibentuklah badan khusus yang disebut dengan Confrence of the Parties (COP). Badan ini memiliki peranan tertinggi untuk mengambil keputusan yang dibentuk dalam konvensi yang dilakukan negara negara maju. COP pertama diselenggarakan di Berlin pada tahun 1995, pertemuan ini dimaksudkan untuk membahas kesanggupan negara negara maju dalam menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam UNFCC (Greene, 2000). Namun hasil tidak memuaskan didapat pada pertemuan kali ini, banyaknya negara maju yang berpartisipasi menolak untuk menjalankan protocol yang diberikan. Negara negara maju tersebut mendesak untuk negara berkembang juga ikut berkontribusi dalam kesepakatan tersebut, mengingat negara berkembang juga memberikan dampak yang signifikan terhadap gas rumah kaca.
Pada akhirnya pertemua COP menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam Berlin Mandate. Kesepakatan ini berisi kesepakatan yang memberikan komitmen untuk negara maju dan berkembang dalam ikut serta mengurangi emisi gas rumah kaca (Hadi, 2018). Kesepakatan yang diberikan oleh pertemuan pertemuan negara besar memunculkan sebuah isu baru dimana untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dibentuklah sebuah energi yang ramah lingkungan atau dapat disebut dengan energi terbarukan.
Dengan munculnya wacana mengenai energi terbarukan, memberikan potensi baru untuk menekan penggunaan sumber daya fosil yang menjadi akar utama permasalahan efek rumah kaca. Potensi energi terbarukan terbilang sangat besar, dengan menggunakan pembangkit tenaga air tenaga yang dapat dihasilkan sebesar 75.67 GW (Hadi, 2018). Hal ini menunjukan bagaimana energi terbarukan bisa menjadi jalan pintas utama bagi negara negara maju untuk menekan efek gas rumah kaca yang telah terjadi. Namun energi terbarukan ini juga memiliki kelemahan tersendiri bagi negara negara berkembang, dengan politik dan ekonomi menengah membuat negara negara berkembang akan susah payah dalam melakukan pembaruan energi tersebut.
Kendala dalam energi terbarukan terbilang sangat susah untuk diatasi bagi negara berkembang, khususnya dalam bagian pembiayaan (Hadi, 2018). Lemahnya pemasukan dan biaya yang ada pada negara berkembang menjadikan energi terbarukan susah untuk di implementasikan. Sehingga pada saat inipun masih banyak sekali negara yang tetap menggunakan energy fosil. Dalam kasus ini negara Indonesia juga termasuk negara berkembang yang ingin ikut serta dalam melaksanakan wacana energy terbarukan tersebut. Dengan rencana yang diberikan pemerintah, Indonesia menciptakan energy baru menggunakan tanaman jarak pagar (jatropha curcas) (Hadi, 2018). Tanaman ini ditujukan untuk membentuk energy yang ramah lingkungan, serta energy ini dapat diproduksi untuk menjadi minyak.
Dalam kasus perubahan iklim ini kita dapat melihat banyaknya dampak yang diberikan, mulai dari rusaknya iklim dan juga kasus kasus yang terjadi di negara maju sekalipun. Dalam dunia politik negara negara maju dan berkembang memberikan bantuannya dengan membentuk sebuah energy baru yang ramah lingkungann. Tujuan tersebut digunakan untuk menekan emisi gas rumah kaca. Selain itu menurut pandangan saya, perubahan iklim yang terjadi juga akan berdampak pada kerjasama antar negara, dalam hal ini isu politik global menjadi isu yang sangat rentan terjadi. Hal itu pernah terjadi di Indonesia saaat kebakaran hutan Sumatra yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Kebakaran hutan yang terjadi berpampak pada negara Singapura, perekonomian Singapura sempat turun dikarenakan permasalahan hutan yang terjadi di negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
 Greene, L. A. (2000) 'United nations framework convention on climate change', Environmental Health Perspectives, 108(8), pp. 47--100. doi: 10.35935/edr/31.2513.
Hadi, S. P. (2018) 'Dimensi Politik Dan Sosial Pemanasan Global', Jurnal Legislasi Indonesia, pp. 41--48.
Soedjajadi K. (2007) 'Perubahan Iklim Global, Kesehatan Manusia Dan Pembangunan Berkelanjutan', Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3(2), pp. 195--204.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H