KAGET! BEGITULAH jawaban dari Ondo Avi (tokoh adat), petani dan nelayan saat diskusi di Gemyen (27/11) salah satu kabupaten di Papua. Sekitar 16 orang perwakilan masyarakat terkejut ketika mengetahui apa yang dirasakan mereka adalah bagian dari perubahan iklim. Ironisnya, tidak ada informasi apa pun kepada mereka berkaitan hal itu.
Sayid Fadhal Alhamid, Ketua II Dewan Adat Papua, atau biasa disebut Kepala Pemerintahan Adat Papua, tanpa keraguan menyebut dampak pemanasan global menyebabkan kejadian ekstrem di tanah Papua. Ia sulit membayangkan bagaimana dampak yang semakin hari kian terasa, sedangkan masyarakat tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup.
Kondisi tersebut sungguh jauh berbeda. Ketika dulu Sungai Grime dengan keindahannya, bahkan puja dan puji tembang Papua yang diciptakan karena keelokannya. Saat ini, menjadi kering.
Hal serupa terjadi di tempat lain. Misalnya di Demta, para nelayan mengeluh tangkapan menjadi sedikit, ombak pun semakin tinggi. Dinas Perikanan turun tangan memberikan empat buah kapal penangkap ikan. Alhasil, kapal itu tidak lagi digunakan lantaran biaya operasionalnya lebih tinggi dari hasil yang di dapat.
Kegundahan itu tak berlebihan. DiGemyen ada perkebunan kakao peninggalan Belanda. Yang mengerjakan lebih banyak orang dari Belitung, hingga di situ ada Kampung Belitung. Dulunya, selau memberikan hasil yang baik. Sejak akhir 2009 hingga sekarang, buah kakao menjadi kecil, keras, dan harus dicongkel untuk mengeluarkannya. Bahkan, lebih sering gagal panen. Kalaupun berbunga, kemudian mati tidak sampai berbuah.
Kegetiran pun diungkapkan, di dekat danau Sentani ada pasar ikan hidup. Tapi sekarang sudah tidak digunakan lagi. Ceritanya, masyarakat petani keramba di sepanjang danau pernah memaksa Dinas Perikanan untuk membeli ikan mereka yang sudah setahun tak kunjung menjadi besar. Tanpa penjelasan yang pasti, akhirnya petani keramba menyimpulkan perubahan suhu dan warna air yang menyebabkan ikan tak tumbuh semestinya.
Untuk itu, katanya, masyarakat merencanakan untuk membuat kolam di tanah yang beralas terpal. Maksudnya agar air tidak meresap ke dalam tanah. Pada umumnya tanah di Papua bertekstur berat terdiri dari lempung liat berdebu sehingga jika panas berkepanjangan menyebabkan retak lebar dan sangat mudah menyerap air.
Harus diakui, dampak dari banyaknya lahan garapan yang terbengkalai menyebabkan para petani beralih profesi menjadi tukang ojek atau kerja serabutan lainnya. Banyak tanah garapan yang dijual untuk biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari.
Kini, semuanya telah terjadi, harus ada upaya dari semua pihak untuk mengatasi kejadian-kejadian itu. “Masyarakat tidak mau tahu, mau mati pun mereka tetap bertahan hidup di tanah itu,” kata Sayid.
“ Seharusnya, sosialisasi tentang dampak pemanasan global diberikan secara menyeluruh hingga ke pelosok tanah Papua ini. Masyarakat perlu dibantu untuk menjalankan proses adaptasi dan mitigasi. Mitigasi yang terkait dengan penanaman pohon kembali harus dirubah pendekatannya menjadi proyek padat karya yang melibatkan masyarakat setempat. Pemetaan partisipatif terhadap tanah ulayat harus segera dilakukan demi pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Perlunya payung hukum untuk semua kebijakan terkait pemanasan global, sehingga bukan hanya orang di kota Jakarta saja yang paham soal aturan itu, kami juga harus tahu, karena berkaitan dengan kehidupan hidup kami di tanah Papua ini,” tegasnya.
Karena itu, Sayid bersama dengan beberapa rekannya dari daerah lain bertutur kepada Kamar Masyarakat Dewan Kehutan Nasional. Berkonsolidasi dalam menentukan sikap melihat perubahan yang ada.
Melihat permasalahan di atas, Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional mendesak beberapa usulan. Pemerintah harus mengamandemenkan seluruh kebijakan perubahan iklim yang mengancam eksistensi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap inisiatif-inisiatif adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar kawasan hutan, termasuk juga memberikan dukungan yang memadai yang meliputi bantuan teknis dan pendampingan-pendampingan yang reguler.
Mendesak semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan proyek-proyek penanggulangan perubahan iklim, terutama REDD untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, termasuk mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia nasional dalam kebijakan baru di bidang penanggulangan perubahan iklim.
Sesegera mungkin meratifikasi Konvensi ILO No. 169 tentang Konvensi masyarakat Adat.
“KITORANG DI sini pasti menjadi menjaga hutan supaya tetap lestari.Sementara menunggu-nunggu perkembangan Papua, Sayid tetap menebar senyum dengan topi yang menjadi ciri khasnya. “Berseru-serulah orang Serui, be
rbiak-biaklah orang Biak untuk penuhi bumi, Biar KITONG di Jayapura tetap menjaga hutan.
Sayup-sayup terdengar senandung grup Rio Grime dari Papua di laptopnya ;
Dari Sorong sampai Jayapura, Penuh dengan misteri,
Teka teki siapa yang tau, Karya tangan sang Pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H