Mohon tunggu...
Antonius Ratu Gah
Antonius Ratu Gah Mohon Tunggu... -

Reporter Radio Asing, berdomisili di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengobatan Tradisonal, Solusi korban Merapi

17 November 2010   23:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:32 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengobatan tradisional berupa jamu-jamuan, akupuntur dan akupresur menjadi pilihan pengobatan alternative di beberapa tempat pengungsian. Menurut Patrick Vanhoebrouk seorang Research Assistant dari Palang Merah Internasional yang ikut menjadi relawan - bergabung dengan lembaga Seni Pengobatan Timur sesuai dengan skill yang dimilikinya. Sudah saatnya pengobatan tradisional menjadi pilihan yang baik bagi masyarakat yang terkena bencana. Hal ini dipelajari setelah gempa Yogya 2006 yang lalu. Setelah itu, masyarakat melalui beberapa program seperti KWK (Kerja Wira Usaha Kota) dan KWD (Kerja Wira Usaha Desa) dari Dinas Pendidikan, diberikan pelatihan selama dua bulan untuk menjadi kader kesehatan dan sentra pengobatan tradisional di daerah rawan bencana. Para Kader itulah yang saat ini bergerak membantu di beberapa titik pengungsian sebagai gerakan peduli Merapi. Patrick, seorang antropolog dan pencinta budaya Jawa sangat tertarik dengan kuatnya konsep gotong royong di Jawa. Menurut pengalamannya melakukan riset sosial di Jawa mengenai kemampuan dan potensi masyarakat dalam respon terhadap bencana dan pengurangan risiko bencana, banyak hal yang luput dan tidak terukur tentang bagaimana keberhasilan dan kemampuan masyarakat akar rumput bangkit setelah terkena bencana di wilayahnya. Banyak media yang tidak menulis, padahal itu dapat menjadi katalisator agar respond dan recovery menjadi lebih cepat. Pemulihan pasca Gempa yogya 2006 menjadi contoh bahwa kekuatan budaya dan kemampuan masyarakat benar-benar ada dan terbukti. Sejak tahun 1996 melakukan penelitian di beberapa wilayah Indonesia, tentu banyak hal yang di dapat. Tetapi kendala yang dirasakan justru saat memberikan hasil penelitian kepada institusi yang mendanai. Bagaimana mengintegrasikan antara hasil rekomendasi yang diperoleh dalam penelitian bersama dengan informasi kunci lainnya dengan program yang ada di funding. Ketika bicara program, mereka mengatakan harus ada partisipasi, kemandirian dan keberlanjutan dari hal tersebut, tetapi kenyataan di lapangan sangat berbeda ; partisipasi hanya sebatas pengetahuan, implementasi hanya sebatas tenaga. Sementara itu, mulai dari assessment, implementasi dan monitoring evaluasi masyarakat tidak dilibatkan. “ Mereka cuma ada satu solusi untuk semua bencana,” tegas Patrick Menurut dia, layaknya assessment yang ada jangan bersifat kontekstual,pendekatan ke masyarakat bukan institusional atau prosuderal bahkan birokratis. Tapi ilmu sosial antropologi. “Itulah yang menjadikan riset saya menjadi apresiatif dan orang sangat terbuka bicara soal kemampuannya, karena mereka sendirilah yang tau apa yang paling dibutuhkannya,” tutur Patrick usai rapat koordinasi cluster kesehatan di Forum PRB Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun