Baru-baru ini, di sebuah hajatan pernikahan di Klaten, penulis terkaget-kaget. Gending-gending campur sari yang ditingkahi suara pesinden di tengah hajatan tersebut bukan berasal dari seperangkat gamelan yang dimainkan oleh para nayaga, melainkan oleh sebuah keyboard yang cukup dimainkan oleh satu orang (keyboardis). Betapa teknologi telah berhasil ‘meringkas’ campur sari, menjadi hanya sebuah deretan tuts-tuts yang tinggal dipencet dan dicolok oleh perangkat yang berisi data-data digital. Mengalunlah campur sari dengan merdunya. Usut punya usut, upaya meringkas campur sari ini kini marak terjadi di mana-mana.
Fenomena menarik ini tidak saja berlaku pada hajatan-hajatan di kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta, tetapi juga merambah jauh di pelosok kampung di Gunung Kidul yang sedang menggelar pesta bersih desa (ulang tahun kampung). Ironisnya, perangkat gamelan yang menjadi salah satu kebanggaan dan ‘kekayaan’ warga kampung dibiarkan menganggur, tidak ditabuh. Ini artinya warga kampung sudah beralih selera, memilih tontonan baru hasil kreasi yang berbasis teknologi, meski sebenarnya kreasi baru itu masuk dalam golongan budaya instan yang perlahan tetapi pasti bakal meminggirkan perangkat gamelan dan para penabuhnya. Ke depan, campur sari ringkas atau banyak disebut dengan elektonan atau organ tunggal ini dengan perkasa akan ‘mengubur’ perangkat gamelan dan para senimannya. Dan kalau itu terjadi bukan hanya gamelan dan para seniman penabuhnya yang bakal tenggelam, tetapi budaya bangsa dan tradisi menabuh gamelan juga akan tergerus. Kearifan lokal tinggal menunggu waktu untuk perlahan-lahan hilang. Beberapa pengrawit (sebutan untuk para seniman penabuh gamelan) di kampung halaman penulis sempat mengeluh, perangkat gamelan yang beberapa waktu lalu merupakan aset kampung yang bisa memberikan alternatif hiburan dan dapat menampung hasrat berkesenian warga, serta sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka banyak yang tidak lagi utuh akibat dijarah rayap karena bertahun-tahun tidak terpakai.
Adalah seniman Manthous yang pertama memopulerkan campur sari. Beberapa penghargaan bergengsi sempat diraih seniman asal Gunung Kidul ini atas keberhasilannya mengawinkan alat musik pentatonik dan diatonik hingga lahirlah campur sari. Ia tidak saja melahirkan dan memopulerkan campur sari, tetapi juga berhasil mengangkat gamelan yang merupakan wakil dari tradisi dan budaya bangsa dalam adonan musik nan kreatif bernama campur sari. Boleh jadi, tanpa seniman Manthous gamelan sudah semakin tenggelam sejak dahulu. Istilah campur sari sendiri mereprensentasikan perpaduan yang harmonis antara perangkat gamelan (diatonik) yang antara lain terdiri dari kendang, gong, saron, demung dan gitar bas, cak, cuk, serta keyboard (pentatonik). Pada masa awal campur sari, kiboard tidak bisa berdiri sendiri dan hanya berfungsi mewakili alat musik modern. Dalam beberapa kali pementasan Manthous sendirilah yang mengambil peran sebagai keyboardis merangkap vokalis. Suaranya yang khas menjadikan lagu yang bawakannya terasa pas dan enak di telinga. Dalam perjalanannya maestro campur sari ini juga aktif mencipta dan mengaransemen lagu-lagu dan gending-gending Jawa sehingga semua lagu dan gending karyanya terasa segar, cair, dan mengesan. Tembang “Nyidham Sari” merupakan salah satu ciptaannya yang cukup terkenal. Karena campur sari yang sesungguhnya memerlukan seperangkat alat musik yang cukup lengkap, maka musthail bagi penanggap untuk tidak menyiapkan arena (panggung) yang cukup luas. Pun biaya yang dikeluarkan. Semakin populer grup campur sari yang ditanggap, semakin besar biaya yang harus disiapkan.
Kini kisah kejayaan campur sari tinggal hanya kenangan. Kalau pada tahun-tahun lalu kelompok campur sari beridiri di mana-mana dan memudahkan orang untuk memilih sesuai selera dan kemampuan keuangan, kini kelompok yang masih setia dengan perangkat musik lengkap bisa jadi sudah amat jarang ditemukan, bahkan mungkin sudah tiada sama sekali. Selera masyarakat tampaknya telah jauh bergeser. Masyarakat seolah berpaling pada hal-hal modern meski sejatinya semu, instan, dan jauh dari budaya kreatif yang menjiwai sebuah karya seni. Yang memprihatinkan adalah bahwa pergeseran ini membawa konsekuensi yang cukup meyesakkan, yakni kian tenggelamnya gamelan, alat musik yang lahir dan besar di pulau Jawa, dari panggung-panggung dan ranah publik. Gamelan bukan lagi sebuah kebanggaan yang harus tetap lestari.
Sisi kepraktisan tampaknya menjadi alasan utama masyarakat dalam menerima campur sari ringkas ini. Jika dalam sekali pentas kelompok campur sari pada awalnya harus didukung oleh setidaknya enam sampai delapan seniman pendukung, kini campur sari generasi digital cukup dimainkan oleh satu orang plus beberapa biduan. Dari sisi biaya menganggap campur sari lengkap dengan para pengiring dan pesinden bisa mencapai angka di atas tiga juta rupiah atau tergantung pada ketenaran kelompok yang ditanggap. Grupnya Manthous ketika masih eksis konon bisa sampai belasan juta. Bandingkan bila mendatangkan organ tunggal. Harga satu kali pentas dengan durasi empat hingga lima jam hanya berkisar 1,5 juta atau cukup satu juta rupiah.
Alasan yang kedua kurang lebih berasal dari kondisi psikologis masyarakat sendiri. Tontonan layar kaca yang didominasi sinetron telah merenggut hampir sebagian waktu luang warga yang pada masa lalu digunakan untuk menabuh gamelan di balai kampung. Penulis masih ingat benar, sekitar lima belas tahun lalu, setiap pekan sekali, balai kampung selalu meriah oleh suara gamelan. Ibu-ibu PKK tak mau ketinggalan. Mereka sepel (berlatih) pada setiap hari Senin sore. Pemuda Karang Taruna juga punya kelompok sendiri, setiap bulan sekali mereka berlatih. Kini jangankan mendengar merdunya suara gamelan, orang-orangnya pun mungkin sudah lupa bagaimana menabuhnya. Beberapa yang masih setia terhadap panggilan seninya tercengang, karena justru rayap yang telah ‘menikmati’ gamelan. Kalau pada masanya mereka yang berpunya atau berasal dari kalangan priyayi mempunyai seperangkat gamelan merupakan kebanggaan, kini masyarakat akan sangat bangga bila di ruang keluarga bertengger televisi berukuran besar keluaran terbaru. Kenyataan ini mau tak mau membawa masyarakat untuk semakin wegah kangelan, enggan untuk bersusah-susah, malas untuk berproses. Hal inilah yang pada gilirannya mendorong masyarakat menjadi semakin pragmatis. Maka tidak mengherankan jika ketika sang waktu menyodorkan suguhan serba praktis berupa organ tunggal, gayung bersambut. Masyarakat seperti menemukan apa yang mereka idam-idamkan, yakni segala sesuatu yang serba tanpa repot, minim proses, instan, dan langsung jadi. Mirip sinetron kejar tayang.
Tentu tidak bijaksana bila melulu menyalahkan teknologi. Masyarakat juga tidak sepenuhnya keliru. Teknologi memungkinkan segala sesuatunya berlangsung praktis, cepat, dan mudah. Tinggal pilih menu, klik, maka mengalunlah musik indah yang siap ditingkahi suara manusia. Akan tetapi, kita musti sadar bahwa di balik ingar-bingarnya organ tunggal yang kini sedang naik daun ada sesuatu yang perlu kita waspadai bersama. Masyarakat akan semakin meminggirkan seni tradisi warisan nenek moyang yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur dan sarat ajaran-ajaran kearifan.
Gamelan terdiri dari berbagai unsur suara. Gong, kendang, demung, saron, rebab, bonang, siter, dan masih banyak yang lain masing-masing menghasilkan bunyi dan karakter suara yang berbeda-beda. Mereka masing-masing mempunyai peran yang sama-sama penting, sama-sama utama.
Ini melambangkan watak dan perangai maniusia. Akan tetapi, karena ditabuh dalam satu perpaduan dan harmoni maka seperangkat gamelan akan menghasilkan gending yang indah dan enak didengar. Kita bisa belajar hidup dalam masyarakat dari mendengar dan mencermari suara gamelan. Para pemimpin dan pengambil kebijakan tidak ada salahnya untuk belajar mendengar gamelan. Siapa tahu, karena gamelan mengajarkan perpaduan, keselarasan, dan harmonisasi, negeri ini bisa secepatnya bangkit dari keterpurukan.
Terakhir sebagai permenungan bagi kita semua. Campur sari mungkin akan segera berlalu, tetapi seni tradisi harus terus lestari. Ia menjadi tiang penyangga budaya bangsa yang adi luhung, penuh dengan nilai dan ajaran kebaikan. Pilihan ada di tangan kita, memilih melestarikan budaya atau meminggirkannya? Semoga kita memilih yang pertama.
Guntur. Ant; Penggiat persoalan sosial dan penikmat seni;Bekerja di penerbitan; tinggal di Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H