Mohon tunggu...
Antonius Nesi
Antonius Nesi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis adalah alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; Dosen Unika St Paulus Ruteng, Flores, NTT; Saat ini sedang menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Garis Belakang

26 November 2016   01:06 Diperbarui: 26 November 2016   01:17 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini sengaja dirilis belakangan, sehari setelah peringatan hari guru, biar selaras dengan topik yang diperbincangkan: "guru garis belakang".

Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, melalui pengumuman Nomor 30660/A3/KP/2016 tentang penerimaan calon aparatur sipil negara (CASN) 2016 ini hanya mengakomodasi mereka yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi guru (PPG) pascaprogram sarjana (bukan program pascasarjana!) mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (SM-3T), PPG S1 PGSD Berasrama, PPG SMK Kolaboratif, PPG Basic Science,dan PPGT. Sesuai isi pengumuman ini, CASN khusus guru diberi label guru garis depan (DGG). 

Pengumuman itu terasa diskriminatif karena jika ditelisik dari segi sejarahnya, program semacam PPG dan sejenisnya baru muncul belakangan, setidaknya sejak dimunculkan PP Nomor 9 Tahun 2010 tentang Program Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan. Program rekrutmen guru CASN di lingkungan Kemendikbud ini, dengan demikian, sesungguhnya merupakan kealpaan pemerintah dalam mengapresiasi eksistensi guru, sekaligus perendahan terhadap derajat rekan-rekan guru lain yang tidak berkategori "garis depan".  Barangkali, kepada mereka inilah pemerintah mesti secara adil menyandangkan predikat "guru garis belakang" supaya balance dan logis. Mengapa pemerintah berlaku kurang bijak? 

Mari kita terlebih dahulu runut dasar hukumnya. Penyediaan tenaga guru sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Dalam UU dan PP tersebut digariskan bahwa penyediaan guru menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Artinya, tenaga kependidikan disediakan oleh perguruan tinggi yang layak dan diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.

Selanjutnya, pemerintah melalui Kemendiknas mengeluarkan Permendiknas Nomor 9 Tahun 2010 tentang Program Pendidikan Profesi bagi Guru dalam Jabatan. Keputasan Permendiknas yang terdiri dari 15 Pasal itu mengatur mengenai pendidikan profesi guru. Permendiknas tersebut kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013 tentang Program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan. 

Permen yang terdiri dari 17  pasal itu hanya menambahkan 2 pasal dari Permen sebelumnya, yang pada hemat penulis, sebenarnya tidak begitu urgen.  Namun, itu sebenarnya tidak begitu penting! Kita semua tentu tahu, produksi UU di negeri ini sudah kerapkali saling "menunggangi" dan/atau "ditunggangi", tergantung siapa pemilik kudanya.

Yang terpenting di sini sebenarnya ialah dampak dashyat dari produk-produk hukum itu. Produk-produk hukum itu setidaknya, dalam kaca mata penulis, memiliki efek langsung pada  eksistensi dan sepak terjang guru dalam pengabdiannya. Bagi para guru, utamanya guru-guru honorer, yang telah mengabdi beberapa tahun sebelum produk-produk hukum itu berstatus hitam di atas putih, tentu sangat dirugikan. 

Mereka telah mengabdi, dan kerena itu sulit bagi mereka untuk meninggalkan "tugas pengabdian" mereka hanya untuk mengikuti program-program baru pemerintah, alias program profesi. Di sini lain, lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan PPG juga sulit terjangkau,bahwasanya beberapa perguruan tinggi di daerah-daerah belum memenuhi syarat berdasarkan Permen 9 Tahun 2010 dan Permen 87 Tahun 2013 untuk menyelenggarakan program PPG. Pertanyaannya, apakah ribuan guru yang sedang mengabdi itu harus rela meninggalkan pekerjaan mereka hanya untuk mengikuti program PPG di tempat-tempat jauh, sementara mereka dituntut untuk hadir di sekolah "full day"? Ini ironis! 

Niat baik pemerintah sebenarnya tulus: meningkatkan profesionalisme guru. Namun demikian, pemerintah alpa memperhitungkan nasib guru-guru yang karena ketulusan untuk mengabdi negara, tak bisa meninggalkan tugasnya. Kebijaksanaan dan kesantunan seorang Bapak Mendikbud, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP, juga kurang tampak mengapresiasi para rekan gutu yang berkategori "guru garis belakang". 

Kita bisa simak hal itu dalam pidatonya pada upacara peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada Jumat 25 November 2016 kemarin, ".... Pemerintah telah bertekad meningkatkan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan profesi dan tunjangan khusus bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik". 

Tentu saja barisan kata-kata beliau itu menambah "luka" yang sulit sembuh di batin terdalam barisan rekan-rekan "guru garis  belakang". Kepada rekan-rekan guru, di mana pun posisi Anda, mari kita mendidik dengan tulus dan kreatif. Mari bersikap bijak tetapi juga kritis. Salam Hari Guru Nasional dan HUT PGRI. Teruslah berkarya dan mengabdi bagi negerimu nan elok, Indonesia. Mohon maaf, ucapan selamat terlambat sehari, alias dari "belakang".*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun