Mohon tunggu...
Antonius Nesi
Antonius Nesi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis adalah alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; Dosen Unika St Paulus Ruteng, Flores, NTT; Saat ini sedang menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Homo Sapiens dan Watak Berbahasa

28 Oktober 2016   00:25 Diperbarui: 28 Oktober 2016   00:39 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Homo Sapiens dan Watak Berbahasa

(Memaknai Peringatan Sumpah Pemuda)

Antonius Nesi

Mahasiswa Program Magister Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Setakat pemahaman penulis, homo sapiens adalah genus dari kera besar yang sudah dapat menggunakan akalnya untuk membuat dirinya lebih beradab. Dari catatan wikipedia.org (diakses 27/10/2016) diperoleh informasi bahwa genus ini diperkirakan telah berusia sekitar 2,3 hingga 2,4 juta tahun dan kemungkinan berevolusi dari leluhur australopithecine dengan munculnya homo habilis. Munculnya homo sendiri digagaskan bertepatan dengan bukti pertama dari alat batu, dan secara definitif berawal dari zaman paleolitikum. Akan tetapi, catatan terbaru dari Ethiopia menempatkan bukti paling awal dari penggunaan alat batu sebelum 3,39 juta tahun lalu. Catatan ini hendak menegaskan bahwa munculnya homo mesti diperkirakan bertepatan dengan permulaan glasiasi kuarterner, awal dari zaman es.

Masih menurut catatan wikipedia, homo sapiens disebut-sebut sebagai satu-satunya spesies yang bertahan dalam genus, yang lainnya telah punah. Homo neanderthalensis, misalnya, secara tradisional dianggap sebagai kerabat terakhir yang hidup namun ia telah punah sekitar 24.000 tahun lalu. Penemuan terbaru lain menyatakan bahwa homo floresiensis telah hidup lebih awal dari homo neanderthalensis (homo floresiensis diidentifikasi sebagai ‘manusia flores’ yang ditemukan Peter Brown, Mike J. Morwood, dan tim peneliti UGM pada September 2003 di Liang Bua, Kampung Rampasasa, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT).

Kajian-kajian Paleoantropologi menemukan bahwa sejauh ini manusia modern di Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun lalu. Dalam perkembangannya, kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap. Pertama,kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya berada hingga akhir zaman es (sekitar 12.000 tahun). Kedua,kehidupan manusia modern yang lebih kemudian dengan karakteristik fisik diidentidikasi sebagai ras Austromelanesoid. Ketiga,sejak sekitar 4000 tahun lalu muncul penghuni baru di Asia Tenggara dan Indonesia, dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia (Foley, 1997; cf. Bulbeck, 2011).

Watak Berbahasa

Homo sapiens diklasifikasikan sebagai genus yang memiliki ciri otak lebih berkembang daripada genus-genus yang lain. Karena otaknya lebih berkembang, ia telah menggunakan akalnya (baca: berpikir). Hal itu terbukti bahwa ia telah menggunakan alat-alat batu yang sudah diasah halus. Lebih dari itu, ia telah menggunakan bahasa. Walaupun hidupnya nomaden,ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa manusia (bahasa manusia, dalam fonologi didefinsikan sebagai bunyi yang dihasilkan alat-alat ucap manusia dan mengandung makna). Kemampuan homo sapiens untuk berbahasa inilah yang menjadi alasan mendasar dan dapat diterima nalar bahwa kepadanya disandangkan predikat ‘manusia cerdas’ dan ‘manusia bijaksana’.

Kita, manusia zaman ini (manusia kontemporer), telah menyandangkan predikat “manusia cerdas” dan “manusia bijaksana” kepada homo sapiens. Jika mengacu pada aliran futuristik, kita mesti bertanya: predikat apa yang dapat disandangkan oleh generasi seribu tahun ke depan kepada kita? Manusia paling cerdas dan paling bijaksana? Dalam konteks praktik berbahasa, salah satu indikator yang menggambarkan watak berbahasa kita ialah “kesantunan berbahasa”. Mari kita lihat realitas kesantunan berbahasa kita (data-data tuturan ini penulis simak secara informal di kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur pada Februari-Maret 2016).

Penulis memulai saja dengan tuturan seorang pelayan bank (tentu dihiasi senyiuman): “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” dan tuturan seorang pelayan registrasi e-KTP (dengan wajah tanpa senyium): “Mesinnya rusak, pulang lagi besok”. Dari aspek diksi, tuturan pelayan bank memiliki kadar kesantunan yang santun. Di situ digunakan kata Pak(sapaan untuk laki-laki yang lebih tua dan dihormati). Indikator lainnya ialah bahwa ia menawarkan bantuan meski ia tahu bahwa sang terlayan datang karena membutuhkan bantuannya. Jika demikian, tuturan itu terasa santun. Walaupun demikian, konteks pelayanan di bank tentu berasas pada etiket pelayanan bank: “tersenyium menyapa, memikat, dan menarik perhatian konsumen”. Dengan demikian, diksi dan gesture yang digunakan dan ditampilkan tampaknya sekadar kamuflase. Padahal, berbahasa secara santun bukan sekadar penghias bibir. Berbahasa secara santun sejatinya merupakan sarana ekspresi dan cermin dari pribadi yang berakhlak mulia dan berbudi luhur.  

Sementara itu, tuturan pelayan registrasi e-KTP memiliki kadar kesantunan yang kurang santun. Alih-alih sang terlayan sangat membutuhkan e-KTP karena semua berkas mulai dari RT sampai Kecamatan telah lengkap sehingga ia membalas sang pelayan: “Tolong, Bu, saya sangat butuh bantuan, e-KTP harus saya gunakan besok untuk melengkapi dokumen data diri yang diwajibkan kantor”. Si pelayan lantas berkilah: “Kamu pikir saya tidak sibuk, datang lagi besok!” (intonasi lebih tinggi dan gesture yang kurang bersahabat).

Di situ tampak jelas bahwa pernyataan-pernyataan si pelayan sama sekali tidak mencerminkan watak berbahasa santun. Dari segi diksi dan gaya bahasa yang digunakannya segera dapat disimpulkan bahwa kemampuan berbahasa dan kompetensi komunikatif pribadi bersangkutan masih sangat kurang memadai. Padahal, sudah semestinya seorang pelayan publik memiliki kecakapan otak dan wibawa berekspresi yang sebanding adil dengan seragam dinas yang dikenakannya.

Tuturan-tuturan yang telah dideskripsikan di atas hanyalah sampel dari tuturan-tuturan yang memiliki kadar kesantunan santun dan kurang santun. Bahwa masih ditemukan praktik berbahasa yang kurang santun atau sangat tidak santun dalam konteks kehidupan bermasyarakat (pelayanan publik), itu disebabkan orang kurang memperhatikan dirinya dan bagaimana konteks yang melatarbelakangi tuturannya. Tentang hal itu, saran kita konkret. Pertama,mesti ada pembinaan terus-menerus dari atasan kepada bawahan perihal berbahasa santun. Bila perlu dibuat suatu bimtek atau diklat khusus terkait kesantunan berbahasa. Kedua,lembaga-lembaga pendidikan mesti memikirkan secara serius integrasi kesantunan berbahasa dalam pembelajaran bahasa (pendidikan karakter berbahasa). 

Sesungguhnya, berbahasa secara santun bukan sekadar karena penutur ingin menjaga perasaan mitra tuturnya. Lebih jauh dari itu, seorang penutur dapat berbahasa santun karena ia sendiri ingin menjaga martabat dirinya sebagai pribadi yang "cerdas dan bijaksana". Itulah esensi watak berbahasa yang sesungguhnya. Kelak, generasi seribu tahun yang akan datang dapat boleh saja menyandangkan predikat “manusia paling cerdas dan bijaksana” untuk kita yang di hidup di zaman kontemporer ini.* 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun