Pada hari Rabu, 4 September 2024, saya dan teman-teman dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret berkunjung ke Monumen Pers Nasional sebagai pengetahuan awal untuk mengenal sejarah pers di Indonesia dalam menempuh mata kuliah Jurnalistik Cetak. Mengunjungi Monumen Pers adalah sebuah perjalanan waktu yang menggugah di tengah gempita dunia digital yang serba instan. Bangunan bersejarah ini memiliki ribuan cerita tentang perjuangan para pahlawan pers untuk kebebasan dan menyuarakan kebenaran. Dengan melihat barang langka seperti mesin cetak kuno dan surat kabar pertama, kita diajak untuk merenung dan menghargai peran pers dalam membangun bangsa.Â
Monumen Pers Nasional dibangun sebagai balai perkumpulan dan ruang pertemuan sekitar tahun 1918, atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII, Pangeran Surakarta. Di sudut ruangan ini juga terdapat gramofon, sebuah alat yang dulunya digunakan untuk merekam suara dan musik pada piringan hitam. Di salah satu ruangan juga terdapat sedikit biografi Gusti Nurul, selain biografi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenegara VII. Â Mas Abu Kasan Atmodirono merancang bangunan ini, yang dulunya dikenal sebagai "Societeit Sasana Soeka." Di gedung ini, Sarsito Mangunkusumo dan beberapa insinyur lainnya mengadakan pertemuan pada tahun 1933 dan mendirikan Solosche Radio Vereeniging, radio publik pertama yang dioperasikan oleh penduduk asli Indonesia. Setelah tiga belas tahun, pada 9 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) didirikan di gedung tersebut. Gedung tersebut digunakan sebagai klinik tentara ketika Jepang menduduki Hindia Belanda. Pada masa Revolusi Nasional Indonesia, itu menjadi kantor Palang Merah Indonesia (PMI). Monumen Pers Nasional berada di Jl. Gajah Mada No.76, Timuran, Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah.
Pada Monumen Pers Nasional menyimpan banyak naskah serta dokumen yang menjadi bukti sejarah perjalanan pers nasional serta perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman kolonialisme sampai zaman pemerintahan saat ini, termasuk barang-barang bersejarah seperti mesin ketik kuno, foto tustel kuno, pemancar radio pada masa perang kemerdekaan yaitu Radio Kambing serta terdapat simulasi penyajian Radio Kambing melalui tap menggunakan aplikasi augmented reality, koleksi-koleksi foto, majalah, koran, pengabdian tokoh wartawan, dan sebagainya. Selain itu, Monumen Pers Nasional memiliki fasilitas di museum termasuk ruang multimedia, koran yang dapat dibaca secara gratis, dan perpustakaan yang nyaman.
Sekitar satu tahun, sampai 1950, siaran RRI ditransmisikan melalui "Pemancar Kambing". Di dalam kandang juga terdapat radio lain yang digunakan untuk siaran. Karena berada di kandang kambing, suara kambing mengembik selalu terdengar di sela-sela siaran ketika mengudara. Demi meningkatkan siaran, antena pemancar harus diikat di atas pohon kelapa. Ada beberapa penyiar yang tinggal di Desa Balong bersama keluarganya, sementara yang lain menetap di sana dan kembali.Â
Namun, banyak penyiar memilih untuk menetap di Desa Balong untuk mengurangi risiko. Saat siaran selesai, pemancar ditutup dengan terpal yang hampir tidak terlihat. Warga setempat sering menyebut pemancar ini Radio RRI Kambing, tetapi ada juga yang menyebutnya Radio Kyai Balong. Radio Kambing menjadi ikon di Monumen Pers Nasional Surakarta.
Gambar di atas merupakan deretan mesin ketik kuno yang ada di Monumen Pers Nasional. Mesin ketik Bakrie Soeriatmadja adalah salah satunya seorang pioner media Indonesia yang bekerja sebagai wartawan dan mengelola redaksi harian Sipatahoenan berbahasa Sunda di Bandung.
Pada 15 januari 2013, keluarga wartawan Udin menyerahkan barang-barang peninggalan kepada Monumen Pers Nasional, termasuk kamera dan tas RICOH. Fuad Muhammad Syafruddin adalah wartawan Bernas Yogyakarta. Dia biasa dipanggil Udin. la menjadi korban pelecehan hingga meninggal pada 16 Agustus 1996.
Siapa sangka, sebuah bangunan tua di jantung kota menyimpan begitu banyak kisah inspiratif? Ketika pertama kali melangkahkan kaki ke Monumen Pers Nasional, saya merasa seperti sedang memasuki sebuah kapsul waktu. Setiap sudut ruangan seakan berbisik tentang perjuangan para pendahulu dalam menyampaikan suara rakyat. Terdapat berbagai informasi yang dapat kita baca dan pahami dengan berkeliling di Monumen Pers.Â
Pengalaman ini tidak hanya memperkaya pengetahuan saya tentang sejarah pers, tetapi juga membangkitkan rasa nasionalisme dan apresiasi terhadap kebebasan berpendapat. Nilai-nilai dasar jurnalisme yang diajarkan di Monumen Pers tetap relevan. Dengan mengunjungi tempat ini, kita dapat merefleksikan kembali pentingnya verifikasi fakta, independensi, dan akuntabilitas dalam dunia jurnalisme modern. Selain itu, kita juga dapat belajar dari sejarah untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang dihadapi oleh industri media saat ini.
Monumen Pers bukan hanya sekadar bangunan bersejarah, tetapi juga merupakan pusat edukasi yang penting. Melalui berbagai program dan kegiatan yang diselenggarakan, Monumen Pers berupaya menanamkan kesadaran akan pentingnya pers bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Dengan mengunjungi tempat ini, kita dapat belajar tentang proses produksi berita, peran media sosial dalam menyebarkan informasi, serta etika jurnalistik.Â
Di sisi lain, kunjungan ke Monumen Pers bukan sekadar perjalanan wisata, melainkan sebuah panggilan untuk turut serta menjaga warisan sejarah pers Indonesia. Dengan memahami perjuangan para pendahulu, kita terdorong untuk menjadi agen perubahan, menyebarkan informasi yang benar, dan memperjuangkan kebebasan berekspresi. Mari kita jadikan semangat Monumen Pers sebagai inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih baik, di mana kebenaran dan informasi yang akurat menjadi pilar utama kehidupan bermasyarakat
Mari bersama-sama menjaga warisan sejarah pers Indonesia dan mendukung kebebasan berekspresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H