Namun hal yang tidak  mampu dijelaskan oleh teori weber adalah apakah tindakan para importir dalam rencana mendirikan smelter bijih nikel di Indonesia, merupakan lokasi yang dapat memaksimumkan keuntungan bagi investor atau tidak, karena ada faktor lain selain biaya, yakni faktor non-ekonomi seperti politik dan peraturan yang berlaku di satu wilayah yang sangat dominan dalam menentukan keputusan investasi pendirian smelter.
Di Indonesia sendiri, sebenarnya UU Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 170 telah mengamanatkan kepada pengusaha tambang untuk membangun smelter, tetapi sampai pada tahun 2019, masih banyak pengusaha tambang yang belum membangun smelter walaupun pemerintah sudah berulangkali merelaksasi tenggat waktu pendirian smelter oleh pengusaha.Â
Sampai kemudian pada awal Januari 2019, Pemerintah Indonesia secara resmi menerapkan pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pasal 66A, dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa penjualan (ekspor) bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% tidak diizinkan lagi.Â
Pelarangan ekspor bijih nikel ini tak ayal membuat para pengusaha  tambang nikel menjerit dan para importir bijih nikel mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku smelter-nya.Â
Semangat dari pelarangan ekspor bijih nikel ini sebenarnya adalah untuk meningkatkan nilai tambah dan juga untuk menghemat cadangan bijih nikel Indonesia.
Berdasarkan data dari kementerian ESDM, ada beberapa provinsi yang menjadi penghasil bijih nikel di Indonesia antara lain Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Â Papua, Papua Barat, Â Kalimantan Tengah.Â
Dari beberapa daerah provinsi ini, ada beberapa sebaran daerah yang menjadi primadona penghasil bijih nikel  antara lain Luwu Timur di Sulawesi Selatan, Sorowako di Sulawesi Selatan, Kolaka di Sulawesi Tenggara, Morowali di Sulawesi Tengah, Halmahera di Maluku Utara, Pulau Ternate, Pulau Obi dan Pulau Gebe di Maluku Utara, dan Pulau Gag di Papua Barat.
 Semua lokasi ini berpotensi menjadi lokasi yang dekat dengan pembangunan smelter. Penetapan lokasi smelter bijih nikel ini dapat menjadi lokomotif hilirisasi industri-industri yang memiliki basis nikel untuk tumbuh di sekitaran area smelter sehingga mendorong terjadinya clustering industri.
Penetapan lokasi smelter di Indonesia memiliki beberapa daya tarik. Jika di China misalnya hanya memiliki keunggulan dekat dengan pasar, tetapi jika membangun smelter di Indonesia maka ada beberapa daya tarik seperti lokasi industri yang lebih dekat dengan sumber bahan baku dan dekat dengan pasar, harga bijih nikel sebagai bahan baku smelter lebih rendah dari harga bijih nikel dunia, bebas bea ekspor, bagi investor yang melakukan penanaman modal minimal 500 milyar akan dibebaskan dari pajak (tax holiday) selama 5 tahun, dan pungutan royalti sebagaiman diatur dalam PP No. 81/2019 untuk bijih nikel yang sudah mengalami pemurnian jauh lebih rendah atau hanya 2 persen dibanding dengan bijih nikel yang mencapai 10 persen.
Indonesia menyadari betul akan potensi dan ketersediaan cadangan bijih nikelnya, sehingga  Pemerintah memiliki ambisi untuk menjadi salah satu negara yang dapat memproduksi baterai lithium.Â
Pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel  menjadi salah satu faktor yang mendorong pengusaha tambang nikel dan importir bijih nikel untuk membangun smelter di Indonesia.Â