Mengapa orang-orang yang mendaki gunung lebih tertarik kepada hantu dan berbagai mitosnya dibandingkan petualangannya sendiri? Bagaimana dan dengan cara apa sebaiknya menyikapi mistisme dan kegaiban di atas gunung?
Mari simak ulasannya berikut ini.
Artikel ini dikutip dari buku Wajah Maut Mountaineering Indonesia yang terbit tahun 2018. Berbagai artikel mountaineering dan buku-buku pendakian gunung terbaik di Indonesia sendiri dapat diperoleh disini.
>>>
Salah satu sisi budaya masyarakat Indonesia yang berakar sangat kuat dan berkembang menjadi bagian dari pemikiran dan tradisi adalah mistisme yang berdimensikan supranatural atau metafisik. Bukan sebuah rahasia lagi bagi hampir semua daerah di Nusantara untuk mengadopsi banyak nilai-nilai supranatural dan mistisme yang kadang terbiaskan menjadi nilai spiritual yang luhur. Proses asimilasi dan pembiasan ini merasuk ke hampir semua sendi kehidupan, tak terkecuali pula dalam dunia petualangan dan pendakian gunung di tanah air.
Subjek supranatural atau mistisme adalah sesuatu yang sangat menarik untuk dibahas. Di dunia pendakian gunung Indonesia sendiri, ada beberapa akun sosial media populer yang cukup ramai pengikutnya, yang secara khusus memang bertujuan membahas hal ini. Tema ini juga menjadi topik yang menarik untuk kita perbincangkan; bagaimana kecendrungan aktivitas pendakian gunung dan olahraga luar ruang di Indonesia kadang lebih memprioritaskan nilai-nilai mistisme dan keghaiban, daripada nilai-nilai yang terkandung dalam petualangan itu sendiri.
Akan tetapi ini akan menjadi sebuah permasalahan yang tidak enteng jika kemudian nilai-nilai mistisme ini disandarkan kepada hal-hal khurafat yang lebih banyak berisikan kesyirikan. Mistisme yang lebih banyak dimetaforakan kepada sesuatu yang sifatnya jauh dari esensi ketauhidan dan nilai-nilai luhur kepada Tuhan Yang Esa, adalah menyesatkan dan akan menjauhkan kita dari jalan menuju Tuhan Yang Maha Mutlak.
Nilai mistisme yang ada dalam ruang lingkup dunia pendakian di Indonesia kadang lebih sering tidak dapat lepas dari proyeksi yang keliru. Para pendaki umumnya lebih banyak mengkorelasikan istilah mistisme dengan beragam mitos dan kisah yang cenderung menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding.
Orang-orang akan lebih tertarik menyimak dan memfokuskan perhatian tentang betapa banyaknya mahluk-mahluk tak kasat mata yang gentayangan di berbagai gunung Nusantara, dibandingkan untuk memfokuskan mata dan hati kepada betapa tinggi,betapa besar dan betapa sempurnanya kekuasaan Allah SWT yang menyelimuti setiap jengkal mayapada.
Penafsiran mistisme telah mengalami perubahan menuju arah yang tidak lagi sesuai dengan keluhuran spiritualitas dan pengembaraan suci, telah melenceng dari orientasinya akan penghambaan kepada Sang Mutlak. Dan pada prosesnya secara perlahan, telah jauh mempengaruhi cara berpikir dan bertindak dalam menyikapi nilai mistisme itu sendiri.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan kisah-kisah semacam ini, dunia ghaib dan metafisik adalah sesuatu yang tidak mampu diindera oleh mata dan telinga, yang meskipun demikian, bukan berarti 'sisi lain' tersebut adalah tidak ada. Akan tetapi yang perlu dikoreksi kembali adalah; bagaimana penyikapan yang tepat dari seorang pendaki seharusnya mengenai permasalahan seperti ini.
Beriman dan percaya kepada ghaib adalah salah satu pondasi dasar dalam islam. Percaya akan eksistensi alam ghaib merupakan salah satu rukun iman bagi seorang muslim, dan porsi untuk meyakini keghaiban itu sendiri merupakan bagian besar dalam akidah seorang muslim.
Seorang muslim meyakini adanya alam akhirat  (yang ghaib), meyakini adanya siksa kubur (yang ghaib), meyakini adanya qadha dan qadar atau takdir baik dan takdir buruk (yang ghaib), meyakini adanya malaikat (yang ghaib), serta meyakini adanya alam jin yang tak kasat mata (yang juga ghaib).
Bahkan pondasi paling utama dari keimanan seorang muslim akan runtuh jika ia tidak percaya kepada yang ghaib, karena Allah SWT sendiri adalah Dzat yang tidak dapat diindra, tidak dapat dilihat oleh mata, tidak dapat didengar suaranya (secara langsung) oleh telinga, bahkan tidak dapat diimajinasikan oleh akal bentuk dan rupanya (kita telah membahas keterbatasan akal manusia dalam memahami Dzat Tuhan sebelumnya).
Meskipun demikian, kepercayaan dan keyakinan kita kepada yang ghaib tidaklah dapat mengembara jauh dengan sendirinya, tanpa bimbingan dan kemudian tersesat serta hilang arah. Pemahaman keghaiban dan unsur-unsur yang ada didalamnya bagi seorang muslim sejati, tidak dapat lepas sedikit pun dari tuntunan yang telah diberikan oleh Allah SWT dalam al-qur'an juga keterangan berupa hadits dari Rasullullah yang mulia. Ketika sebuah pemahaman tentang alam ghaib dan mistisme terkonversi dalam mitos-mitos dan kepercayaan yang jauh dari ketentuan al-qur'an dan sunnah, maka sudah dapat dipastikan bahwa hal itu akan menyimpang jauh dari kebenaran.
Tentu merasa seram dan takut akan sosok tak kasat mata yang membayangi langkah-langkah dalam pendakian gunung adalah sesuatu yang lumrah dan wajar. Konversi jin dan mahluk alam ghaib tersebut yang berbentuk pocong, gondoruwo, kuntilanak, tuyul atau apa pun sebutan lain yang lazim digunakan dalam masyarakat Indonesia, tentu merupakan suatu hal menyeramkan dan juga menakutkan. Akan tetapi, ketika ketakutan kepada mahluk-mahluk seperti ini berkembang menjadi lebih besar daripada rasa takut kepada yang Maha Menciptakan mahluk itu sendiri, maka ini menjadi situasi yang serius dan membutuhkan penanganan yang cepat.
Konsepsi ketakutan pada mahluk-mahkluk tak kasat seperti itu pada hakikatnya memang harus jauh berbeda dengan model 'ketakutan' kita kepada Allah SWT. Ketakutan kepada mahluk ghaib dengan gambaran menyeramkan adalah sebuah ketakutan yang muncul secara alamiah karena kengerian dan rasa bergidik (seram). Namun ketakutan kepada Allah SWT memiliki tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada itu.
Ketakutan kepada Sang Maha Mutlak adalah jenis ketakutan yang merupakan leburan dari rasa takjub, rasa takut, perasaan harap, rasa cinta, rasa bangga, rasa tunduk, kepatuhan, rasa cemburu dan juga kerinduan. Sudah barang tentu ketakutan kepada mahluk alam ghaib yang banyak dikisahkan dalam berbagai cerita pendakian gunung di Indonesia yang memiliki aroma mistis adalah jenis ketakutan yang seharusnya jauh berada dibawah konsep ketakutan kepada Allah Yang Maha Bijaksana. Jika kemudian konsep ketakutan yang rendah ini ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi dari nilai spiritualitas kepada Tuhan, maka ini adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal.
Kadang muncul sikap yang berlebih-lebihan berkenaan dengan mistisme pegunungan yang bersandar pada dimensi yang menjadikan khurafat dan kesyirikan sebagai tiang. Entah mengapa tema tentang hantu, setan, mahluk angker, jin penunggu, roh ghaib dan lain semacamnya kadang jauh lebih menyita perhatian daripada menikmati alam itu sendiri.
Tulisan ini tentu tidak untuk menolak mempercayai apalagi menyerang berbagai kisah berbau klenik yang muncul dalam dunia pendakian gunung tanah air, hanya saja kita mengkritik perhatian yang berlebihan untuk hal-hal yang sifatnya menjauhkan kita dari nilai-nilai ketauhidan. Ketakjuban kita kepada hal-hal yang sifatnya mistis dan klenik ini jangan sampai membuat kita mengesampingkan kepasrahan kepada Tuhan Pemilik setiap nyawa, Allah SWT.
Tak ada kekuatan dan daya upaya tanpa pertolongan Allah, tidak akan bergerak selembar daun tanpa seizin Allah, dan tidak pula akan jatuh sehelai rambut dari kepala kita tanpa Allah SWT menghendakinya. Prinsip-prinsip yang bagi beberapa orang mungkin dipandang remeh ini, adalah sebuah pondasi ketauhidan yang harus berdiri kokoh, tak boleh tergoyahkan oleh apa pun juga.
Seorang pendaki gunung muslim harus pandai dan bijaksana menempatkan dirinya dalam situasi ini. Sikapnya dalam mempertahankan sikap tauhid adalah jauh lebih utama dari apa pun juga. Meskipun demikian, meremehkan dan cenderung meniadakan dimensi-dimensi mistisme dalam pendakian gunung juga bukan merupakan tindakan bijaksana.
Jadi, sebagai seorang muslim yang menyukai aktivitas pendakian gunung dan petualangan, sebaiknya sikap kita adalah kembali ke nilai-nilai dasar keimanan bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Mutlak, Maha Perkasa dan Maha segala-galanya, ada pun kekuatan dan dimensi-dimensi lain yang ada di luar daripada itu, adalah sepenuhnya berada dalam kekuasaan dan genggaman Allah jua.
Pada dasarnya mistisme yang mis-oriented ini dapat kita kikis pula dengan menjadikan niat, iqra' dan ma'rifat adalah tujuan dasar dari perjalanan yang kita lakukan. Seorang muslim sejati hendaklah memahami ini sebagai salah satu konsep dasar dalam pendakian yang ia lakukan.
Hantu, setan, jin dan apa pun sebutannya adalah sesuatu yang nyata, apatah lagi di gunung-gunung dan lembah-lembah yang sepi dari manusia, yang notabene mungkin menjadi tempat yang disukai oleh bangsa mereka. Akan tetapi, bagaimana pun menakutkan dan seramnya mahluk-mahluk ciptaan Tuhan tersebut, mereka tidak akan bisa mencelakakan kita selama kita menjadikan kepasrahan dan keberserahan kita kepada Allah sebagai prioritas utama dan diatas segala-galanya.
...dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari bangsa jin, tetapi mereka (jin) menjadikan (manusia) bertambah sesat.Â
(Al-qur'an, Surat Al Jinn, ayat 6).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H