Namun kemudian pada akhir bulan Juli ia berhasil mencapai puncak dan membuat sebuah rute spektakuler yang kemudian ia beri nama Life is Lilac (Hidup itu Unggu). Dan sampai hari ini, Life is Lilac yang dibuat first ascent secara solo oleh Silvia Vidal di Sisi Timur Laut Shipton Spire adalah salah satu rute paling mengesankan di tebing Karakoram.
Rute Kupu-Kupu di Patagonia
Setelah Life Is Lilac, Vidal kemudian membuat pendakian monumental lainnya pada tahun 2012 dengan memanjat Espiadimonis Route (Rute Kupu-Kupu) yang ia ciptakan saat mendaki solo di Serrania Avalancha di Patagonia. Dalam pendakian ini Vidal kembali menghabiskan hari-harinya selama 32 hari di atas tebing sendirian, tanpa alat komunikasi, dan juga diguyur hujan yang tak kunjung berhenti.
Espiadimonis adalah salah satu pencapaian Vidal yang sangat impresif setelah Life is Lilac. Bahkan sebelum berhasil mencapai kaki gunung dan mulai memanjat Serrania Avalancha, Vidal harus berjalan menembus hutan tropis Chili yang lebat. Dan dalam 32 hari di atas tebing tanpa putus itu, setidaknya 16 hari harus dihabiskannya berdiam diri dalam portaledge karena hujan yang terus menerus. Menjadi sebuah pendakian yang sangat luar biasa bagi Vidal di saat seperti itu di mana ia tak sedikit pun goyah, ia tetap teguh mendaki dalam kesendirian dan bertekad pulang dengan membawa keberhasilan.
Pendakian lain yang cukup penting dari Silvia Vidal adalah saat ia membuat rute Un Pan Mes di West Face of Xanadu pada bulan Juli tahun 2017. Xanadu sendiri adalah salah satu pegunungan di Alaska, dan seperti biasanya, Vidal membuat pencapaiannya ini secara solo.
Prinsip Pendakian Solo Silvia Vidal
Dalam pendakiannya, Silvia Vidal seringkali memperlakukan dirinya benar-benar seolah masuk dalam dunia baru yang terasing. Ia sangat jarang sekali membawa alat komunikasi selama pendakian berlangsung, baik itu radio, telepon, atau komunikasi internet lainnya. Ia bahkan seringkali melakukan penjelajahan tanpa peta dan GPS. Sebagai gantinya, Vidal lebih mengandalkan insting dan intuisinya.
Apa yang ia lakukan ini nampaknya menerapkan prinsip alpine style yang benar-benar murni, ia adalah super woman yang memilih melakukan segala sesuatunya sendiri dengan cara yang paling tradisional. Di Xanadu, Alaska, misalnya ia menghabiskan waktu selama 37 hari hanya untuk mengangkut peralatan sendirian menuju kaki gunung. Ia membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan alam yang dalam, sangat ekslusif dan sendirian.
Dari sisi gaya, apa yang dilakukan oleh Silvia Vidal mungkin merupakan puncak dari sebuah gaya alpine style yang paling murni, sebuah gaya dari petualangan solo dalam mountaineering (big wall climbing) yang paling tinggi. Hanya ada sedikit orang di dunia yang mungkin mau melakukan ini, dan Vidal mungkin adalah salah satunya yang paling istimewa.
Akan tetapi keputusan untuk mendaki seperti yang Vidal lakukan juga memiliki banyak konsekuensi. Kita tidak perlu membicarakan konsekuensi teknis yang berujung pada kematian, namun konsekuensi komitmen juga seringkali menyambangi Vidal.
Memutuskan untuk melakukan sebuah pendakian yang luar biasa tanpa mau berhubungan dengan dunia luar adalah sebuah tindakan yang mungkin tidak bisa diterima oleh sponsor. Sponsor pada satu sisi memang membutuhkan atlit tangguh dan berprestasi untuk menjadikan image produk mereka populer, memang membutuhkan rock climber berbakat untuk menjadi brand ambassador produk dan merek mereka.Â