Mohon tunggu...
Anton Anthony
Anton Anthony Mohon Tunggu... -

Rakyat Jelata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gang “Citizen Company” Dolly

19 Juni 2014   08:52 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:10 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pusat kota Amsterdam, ada read light district, tempat prostitusi yang tak beda dengan pasar di mana kenikmatan seks menjadi komoditasnya. Seorang teman dari Indonesia yang baru mau mulai masa studinya di sana, karena ingin mengenal Belanda, seorang teman lain mengajaknya jalan-jalan. Salah satunya ke distrik prostitusi itu. Melihat isinya, berkali-kali ia bergumam, “Astagfirullah !!” Dua hari berikutnya, ia “menghilang”, dan kami kebingungan mencarinya. Dan kami terkejut karena kami temukan ia sedang menikmati pemandangan di distrik lampu merah yang tertata rapi itu.

Komoditas seks ini adalah komoditas kenikmatan yang mengakomodasi hasrat setiap manusia, pria atau wanita. Komoditas ini berbeda dengan narkoba, misalnya yang terbatas pada orang-orang yang memang kecanduan atau dibuat kecanduan agar kebutuhan narkoba terus dapat dipertahankan. Beda juga dengan komoditas senjata di pasar gelap senjata yang dibutuhkan oleh kaum separatis untuk keperluan kudeta atau para teroris untuk mengumbar kekerasan yang menghabisi nyawa ratusan manusia di banyak tempat di muka bumi ini.

Gang Dolly di Surabaya berdiri secara spontan dan berkembang sebagai “Citizen Company” yang memperdagangkan komoditas kenikmatan seksual. “Perusahaan” ini merekrut tenaga kerja yang kebanyakan tak bisa masuk ke dalam sektor formal. Pasar ini bertahan karena memang ada kebutuhan. Dalam sejarah peradaban manusia, pasar seks ini sama sama tuanya dengan pasar-pasar komoditas lainnya. Selama masih ada manusia di atas muka bumi, selama itu pula kebutuhan itu ada.

Para “wanita harapan” – demikian pekerja seks itu mendapat atribut yang semakin halus (dari yang sebelumnya pelacur, wanita tuna susila, pekerja seks komersial) di Gang Dolly menjadi pekerja-pekerjanya yang pasti punya motif sama dengan para pekerja di perusahaan-perusahaan lain: survival! Mendapatkan uang untuk menafkahi hidupnya sendiri dan keluarganya adalah adalah alasan klasik yang kedengarannya mengada-ada, tapi faktanya itu bisa sangat riil. Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan, mereka yang hanya punya “tubuh” saja pasti hanya bisa menjual tubuhnya. Lapangan pekerjaan formal menuntut sangat banyak kompetensi artifisial yang harus dibentuk lewat pendidikan, pelatihan yang mahal. Para wanita harapan itu memiliki kompetensi natural yang tak perlu dipelajari. Dan kompetensi itu digunakan untuk mempertahankan hidup. Bukankah masalah fundamental dari makhluk hidup itu adalah how to survive?

Gang Dolly adalah citizen corporate yang memfasilitasi transaksi atau jual beli kenikmatan seksual yang menjadi kebutuhan sepanjang segala abad. Perusahaan ini menjual produk kenikmatan karena ada kebutuhan, ada konsumen. Perusahan ini memberi lapangan kerja bagi mereka yang tak memiliki kompetensi artifisial apa pun untuk masuk pada perusahaan-perusahaan formal. Perusahaan ini menambah khasanah pluralitas mata pencaharian bagi manusia yang bisa dipilih terutama oleh mereka yang tidak mungkin mendapat mata pencaharian dalam sektor-sektor formal. Perusahaan ini akan tetap tumbuh selama kebutuhan seksual menjadi necessity need. Eksistensi bisnis prostitusi itu akan bertahan dengan atau tanpa legalisasi.

Kramat Tunggak ditutup sekian belas tahun lalu. Hilangkah bisnis prostitusi? Amati apa yang terjadi di tempat yang tak jauh dari bekas tempat prostitusi itu. Telusuri Jalan Raya Cilincing, mulai dari Jembatan Lagoa ke arah Timur sampai di pertigaan Jaya. Di sebelah selatan jalan kita akan temui deretan bar, pub dan karaoke. Tak perlu naïf melihatnya sebagai tempat hiburan belaka. Salon pijat plus atau tempat pijat tradisional sampai dengan hotel-hotel melati menggantikan Kramat Tunggak. Konon, pajak untuk “industri kenikmatan” ini sangat tinggi. Tempat-tempat seperti ini bagaikan cash cow yang menyumbang pada pendapatan pajak.

Dalam penutupan lokalisasi, termasuk Gang Dolly, ada dua alasan kuat yang muncul ke permukaan. Alasan pertama adalah alasan moral terutama moralitas agama yang menyatakan pelacuran adalah kemaksiatan yang harus diperangi. Ironisnya, agama yang muncul lebih belakangan daripada praktik prostitusi ini tak pernah berhasil meniadakannya. Banyak orang yang beragama pun mempertahankan pasar ini dengan menjadi konsumennya. Jangan katakan bahwa mereka yang menjadi konsumen bukan orang beragama.

Alasan lainnya adalah alasan etis yang berbasis pendekatan utilitarian. Intinya, demi kebaikan mayoritas masyarakat, maka kepentingan survival dari minoritas (para wanita harapan itu) bolehlah dikorbankan. Sama seperti peristiwa penembakan misterius pada tahun 80-an yang menghabisi ribuan pelaku kriminal tanpa pengadilan yang fair demi kemaslahatan jutaan orang lainnya. Dan sama juga dengan kebijakan pembangunan lainnya di negeri ini yang dengan mudah mengeliminasi hak-hak minoritas demi kepentingan mayoritas.

Dolly oh Dolly, problematiknya dikau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun