Tahun 1955, di masa Indonesia menjadi kekuatan geopolitik dunia yang diperhitungkan karena menjadi centrum gerakan negara-negara baru, Â mulai membangun ruang-ruang hidup di peta Indonesia.Â
Ruang hidup ini berdasarkan klasifikasi perkembangan genetik wilayah. Seperti Sumatera dipusatkan menjadi "Ruang Pendidikan", "Jawa sebagai pusat ekonomi dan bisnis", Kalimantan "Pusat Pemerintahan" dan wilayah timur Indonesia sebagai "Pusat Pembangunan kota-kota baru yang berhadapan dengan wilayah Pasifik".
Di tengah percaturan geopolitik dunia, terlihat Bung Karno punya minat yang tinggi terhadap dunia militer namun sebenarnya wilayah pemikiran tertingginya adalah soal Pertanian. Indonesia diarahkan menjadi "Pusat Pangan Dunia" karena disitulah jalan menuju Indonesia sebagai mercusuar peradaban dunia lewat keberagaman pangan. Di masa Sukarno pangan-pangan daerah bukan saja dikedepankan tapi diinsepsi lewat alam bawah sadar rakyat.
Di masa Sukarno awal 1960-an banyak lagu-lagu rakyat yang bertema makanan seperti : "Gado-gado Betawi, Soto Bandung, Soto Semanggi, Dondong Opo Salak sampai Genjer-Genjer". Di tahun 1959 Bung Karno mulai memikirkan perluasan makanan rakyat lewat kekayaan kuliner Indonesia.
Di satu malam bulan April tahun 1959, Â Bung Karno merenung betapa kaya-nya negara ini akan warisan kuliner yang tidak hanya bergantung pada beras tapi dari berbagai jenis pangan. Maka beberapa hari kemudian Bung Karno memanggil menteri pertanian Azis Saleh ke Istana untuk diajak sarapan bersama. S
etelah selesai sarapan Bung Karno berkata pada Menteri Azis Saleh "Bung Azis, Indonesia ini saya kira sangat kaya dengan aneka menu makanan. Cobalah dibuat inventaris menu masakan khas Indonesia sehingga nanti jadi panduan bagi rakyat dalam mengelola pangannya sehingga rakyat bisa berdaulat terhadap pangannya sendiri". Lalu tahun 1959 dimulailah proyek inventaris menu masakan khas Indonesia yang kelak dinamakan buku "Mustika Rasa".
Singkat cerita setelah terjadi Gestok 1965, dan Bung Karno pada tahun 1967 dijatuhkan kekuatan militer dibawah Letnan Jenderal Suharto, ditengah masa-masa kejatuhannya Sukarno berpesan pada Achmadi untuk mempercepat penerbitan buku "Mustika Rasa" seakan-akan ini adalah legacy terakhir Bung Karno. Sebenarnya buku Mustika Rasa nilainya sebanding dengan buku "Di Bawah Bendera Revolusi" Â terutama memaknai pesan terakhir Bung Karno : "Jagalah Pangan Rakyat".
Di masa Sukarno, pusat-pusat produksi pangan diproduksi oleh kekuatan rakyat dan dikontrol negara sehingga tidak terjadi dikte pangan oleh kekuatan di luar negara. Â Perlu diingat krisis beras pada masa akhir kekuasaan Sukarno tahun 1966, terjadi bukan kesalahan dari pemerintahan Sukarno tapi terjadi karena sabotase kekuatan anti Sukarno yang didalangi Suharto dan CIA.
Di masa Orde Baru, doktrin pangan Bung Karno yang disandarkan pada kekuatan rakyat sendiri dan keberagaman pangan tradisional yang berasal dari rakyat dirusak oleh doktrin pangan Orde Baru. Ada tiga konstruksi kesalahan Orde Baru dalam mengelola pangan : Pertama, Pangan difokuskan pada beras, Kedua  menggantungkan impor pangan dan ketiga mengurangi keberagaman masakan nasional Indonesia lewat gempuran makanan-makanan impor.
Beras yang difokuskan oleh pembangunan Orde Baru menjadi satu-satunya alternatif makanan pokok rakyat. Keberagaman makanan diberangus lewat propaganda kapitalis, sementara semua infrastruktur pertanian dipusatkan untuk produksi beras yang sebenarnya hanya cocok di sebagian kecil wilayah Indonesia.