Di hari-hari ini Indonesia sedang dihadapkan pada "hantu " yang sesungguhnya mengancam bangsa, yaitu : Hantu Mafia Pangan. Dan minggu kemarin Menteri Perdagangan menyatakan kalah pada Mafia Pangan, lalu senin-nya (21/3/2022) janji Menteri Perdagangan mengumumkan daftar Mafia Pangan ke muka publik urung dilakukan.Â
Setelah pengumuman Menteri Perdagangan yang menyatakan kalah pada Mafia Pangan, menjadi pertanyaan besar kita. Setelah Minyak Goreng, bakal ada harga-harga komoditi pangan lainnya seperti gula, beras, kedelai bahkan garam dipermainkan mafia pangan, ini artinya : Negara sudah terdikte oleh kekuatan lain diluar negara.
Sementara opini publik masih bergelut pada situasi yang sudah terjebak permainan mafia pangan dan rakyat pasrah menerima keadaan itu. Dari sekian banyak opini publik tak ada satu-pun pengamat yang menggugat kegagalan rekayasa industri pangan buatan Orde Baru telah menggerogoti cara pangan bangsa. Pemerintah dibiarkan terdikte oleh para kartel, para mafia sehingga kalah dalam menentukan harga yang berpihak pada rakyat.
Sejak masa Orde Baru negara memberikan konsesi jutaan hektar ladang sawit dengan merusak hutan pada swasta. Awalnya para konglomerat itu menurut pada Negara tapi setelah kuat seperti saat ini mereka 'memberontak' pada Negara dan Negara rupanya kalah pada kekuatan konglomerasi. Dari sinilah fundamental konstruksi "Jalan Pangan Indonesia" harus dipikirkan ulang kembali. Negara harus mengambil alih kekuatan daulat pangan untuk melayani kepentingan rakyat.Â
Sebenarnya "Rute Kedaulatan Pangan" sudah dirintis oleh Presiden Sukarno pada awal tahun 1950-an. Tapi kemudian dihancurkan oleh Orde Baru diganti konsep " Ketahanan Pangan" yang membiarkan Indonesia terdikte oleh impor pangan dan 'industri pangan' yang dikelola konglomerasi. Bukannya membangun kantong-kantong produksi pangan berbasis kerakyatan, Orde Baru malah mendorong konglomerasi dan para importir menguasai sel-sel pangan rakyat. Â
Salah satu pemikiran besar Sukarno yang kemudian diterapkan pada masa Demokrasi Terpimpin adalah persiapan Indonesia menghadapi krisis pangan. " Suatu saat Indonesia akan menghadapi krisis pangan, maka dari itu persiapkanlah kemampuan rakyat memproduksi pertaniannya sendiri. Indonesia harus sepenuh-penuhnya berdaulat atas pangan" kata Bung Karno suatu saat dalam pertemuan tahun 1953 Â di teras Istana Negara dengan beberapa orang termasuk Prof. Poerwosoedarmo.Â
Di tahun sebelumnya 1952, Bung Karno berpidato setelah peletakan batu pembangunan Institut Pertanian Bogor. Dalam pidato yang berjudul "Pangan Rakyat Soal Hidup atau Mati" disana Bung Karno menguraikan statistik kebutuhan pangan rakyat. Intinya adalah meletakkan perrtanian sebagai persoalan rakyat, bukan persoalan industri yang dikuasai kapitalis dan juga tidak bergantung pada pangan produksi negara luar.
Langkah pertama Bung Karno dalam menjalani "Rute Kedaulatan Pangan" adalah membangun kesadaran gizi di tengah rakyat. Maka Bung Karno memerintahkan ahli gizi Prof. Poerwosoedarmo membangun kesadaran di tengah rakyat soal "struktur pangan yang benar" maka dibuatlah oleh Prof. Poerwosoedarmo jargon yang amat terkenal waktu itu : "EMPAT SEHAT, LIMA SEMPURNA".Â
Saat itu juga Bung Karno sudah memikirkan bahwa makanan pokok Indonesia bukan hanya beras, harus diperluas jenisnya dan musti tumbuh di tanah Indonesia. Struktur pangan Indonesia juga harus memperhatikan kesehatan rakyat. Â