politik setelah tahun 2024 akan diwarnai bukan sekedar friksi-friksi nasional tapi juga pertarungan geopolitik. Posisi Indonesia yang strategis berada dalam pertarungan geopolitik besar antara RRC dan Amerika Serikat dalam rebutan pengaruh di Asia-Pasifik. Jelasnya persoalan-persoalan bangsa ini tidak lagi didominasi persoalan domestik tapi lebih kepada persoalan geopolitik serta pengaruhnya di negara-negara kawasan.Â
LansekapUntuk itu diperlukan kepemimpinan yang paham persoalan friksi dalam geopolitik juga mengarahkan bangsa ini berdaulat di segala sektor. Jadi keputusan siapa yang dicalonkan dari PDIP tidak sekedar persoalan elektabilitas tapi kemampuan menjawab tantangan kepemimpinan itu.
Keputusan DPP PDIP akan memberikan sanksi bagi kader PDIP yang ikut-ikutan dalam dalam deklarasi pencalonan capres dan cawapres pada  pertarungan politik 2024 sebelum keputusan resmi dari Ketum PDIP, mengundang polemik di tengah masyarakat.  Banyak yang mengira keputusan DPP PDIP ini sangat tidak demokratis dan tidak mendengarkan suara rakyat sehingga bermunculan kritik yang utamanya ditujukan pada Sekjen PDIP sebagai pelontar kata-kata sanksi ini.
Sebenarnya keputusan DPP PDIP untuk menerapkan sanksi bagi kader yang ikut-ikutan deklarasi Capres dan Cawapres 2024 adalah menjaga suasana kontemplasi Ketua Umum PDIP Megawati dalam menentukan siapa yang dipilih PDIP dalam kontestasi 2024.Â
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah hal penting dan PDIP melihat itu hanya Ketua Umum Megawati-lah penentu siapa kandidat terbaik yang dicalonkan berdasarkan banyak pertimbangan dan juga melalui kontemplasi spiritual yang dalam.
Pengambilan keputusan penting dan diserahkan pada Ketua Umum PDIP merupakan hasil konsensus Partai yang didasarkan keputusan kongres menetapkan Ketua Umum Megawati mengambil keputusan-keputusan penting dan memiliki hak veto atas diambilnya keputusan itu. Ini adalah Demokrasi Terpimpin yang diterapkan PDIP dalam sistem berpartai. Â
Dan suasana kontemplasi atas penetapan kandidat Partai memerlukan kejernihan dalam melihat serta memutuskan dari semua aspek serta menjaga tertib berorganisasi juga menjaga soliditas dalam menjaga setiap keputusan politik penting serta antisipasi terhadap implikasi politik lainnya.
Dalam situasi penuh kontemplasi maka konsentrasi Ketua Umum tidak akan diganggu oleh faktor-faktor industri politik diluar Partai dan dibersihkan dari situasi yang disengaja memecah belah soliditas keputusan politik di internal Partai sehingga pandangan yang dilihat dalam mengambil keputusan benar-benar objektif.
Terbukti dengan sistem demokrasi terpimpin di PDIP yang melalui kontemplasi mendalam PDIP mempunyai banyak kader-kader terbaik yang mampu memimpin pemerintahan baik nasional maupun daerah seperti : Jokowi, Risma, Ganjar, Ahok- Djarot, Rano Karno,  Hendi  walikota Semarang, Azwar Anas mantan Bupati Banyuwangi, Wayan Koster, Giri Prasta dari Kabupaten Badung, Ni Putu Eka Wiryastuti mantan Bupati Tabanan, I Gde Dana bupati Karangasem, Seno Samodro mantan bupati Boyolali , Gibran Rakabuming dari Kota Solo dan banyak kader lagi yang memimpin banyak wilayah di Indonesia.
Fenomena kemunculan relawan-relawan dalam konstelasi politik nasional sebenarnya lebih banyak memunculkan petualang politik. Mereka berkumpul lalu mencari nama yang dirasa tenar dan menguntungkan mereka, mereka membentuk relawan yang ujung-ujungnya mencari dana kemudian setelah kekuasaan tercapai maka rebutan jabatan komisaris. Para relawan tidak bersimbah keringat dalam proses kaderisasi partai, jangka pemikiran mereka hanya sebatas elektabilitas saja.Â
Sementara di dalam partai  ada disiplin  Partai yang berjalan, ada tujuan bersama atau common goal sementara relawan satu orang satu kepentingan, seribu orang seribu kepentingan. Dalam kasus Jokowi banyak juga direpotkan dengan relawan ini yang pada akhirnya banyak dari mereka rebutan jabatan. Tentunya tidak semua relawan seperti itu ada juga yang tulus membela kepentingan politik rakyat banyak.