Jakarta pernah dipimpin seorang seniman besar, namanya Henk Ngantung. Tugas Gubernur Henk Ngantung saat itu adalah menjadikan Jakarta sebagai kota kebudayaan yang memiliki watak seni progresif dimana ada perpaduan antara ruang kota dengan karya seni yang ada di dalam kota.
Boulevard Thamrin dijadikan sebagai pintu masuk dari pusat kebudayaan nasional yang letaknya di Monas, dan di antara taman taman yang ada di boulevard Thamrin rencananya akan dibangun patung patung kelas internasional dari para pemahat nomor satu dunia.
Maka dibangunlah sebagai langkah pertama, Hotel Indonesia yang modern dan berasitektur post-modern, dibangunlah patung selamat datang yang terkenal itu, lalu ada Monas yang oleh Bung Karno dijadikan puncak dari segala puncak kebudayaan nasional.
Monas adalah museum besar yang tepat di pintu keluarnya akan terbaca tulisan "Sekarang kalian bisa meninggalkan Museum, tapi tidak dengan sejarah, karena sejarah melekat pada hidup kalian", itu keinginan Bung Karno dalam desain interior Monas. Sayang Henk Ngantung dilengserkan karena kasus Gestok 1965 yang membuat sejarah Indonesia berubah total.
Memandang ruang dalam perspektif Orde Baru, adalah ruang kecemburuan yang berlebih terhadap masa masa kekuasaan Bung Karno yang aura getarannya masih jadi idola utama rakyat di masa Orde Baru.Â
Tugu Monas masih disimbolkan pada figur Bung Karno, sementara Suharto ingin membuat masterpiece dalam pengisian ruang utama Ibukota, namun ada semacam rasa takut untuk masuk ke dalam area Monas, ia tahu diri dan berdiri di pinggiran dekat dengan gedung gedung Pemerintahan dan BUMN yang mengitari Monas.
Barulah di sana dibuatlah patung Arjuna naik kereta itu, seraya sebagai orang Jawa mengingat pertempuran melawan Adipati Karna adalah pertempuran dengan nilai nilai baik, dan itu dikatakan oleh Batara Kresna yang tersusun dalam puisi sarat makna "Bhagavad Gita".Â
Nilai nilai baik yang mengorbankan jutaan nyawa dalam padang kurusetra mengepung Adipati Karno yang kerepotan karena keretanya terperosok dimana sais kereta Prabu Salya susah payah mengangkat roda, saat itu juga panah Pasopati diarahkan ke leher Adipati Karno, dan menebas leher putra sang matahari itu, Karna tewas seketika.Â
Pasopati dalam bayang bayang ingatan kolektif rakyat adalah Supersemar yang menyingkirkan Bung Karno dari Istana. Entahlah, karena ketika penguasa mendirikan monumennya, maka makna di balik peristiwa kerap jadi omongan omongan rakyat.