Mohon tunggu...
Anton Suryanto
Anton Suryanto Mohon Tunggu... Musisi - Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang

Penikmat Kopi,Hujan, Dan Senja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penanganan Covid-19, Siapa yang Bebal?

7 Mei 2020   06:26 Diperbarui: 7 Mei 2020   06:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bulan Desember lalu, sebuah endemik misterius muncul dari daratan China, kota Wuhan tepatnya. WHO mulai panik karena penyebarannya yang sebegitu cepat meluas, negara-negara di belahan dunia lain mulai membunyikan alarm siaga satu. 

Saat itu pemerintah Indonesia masih saja 'kekeuh' dalam pendiriannya bahwa masyarakat Indonesia kebal virus ini. WHO sampai berulang kali memperingatkan Indonesia untuk segera mempersiapkan sedari dini, tapi, sekali lagi pemerintah Indonesia terlalu jemawa, menganggap segalanya baik-baik saja. Bahkan saking jemawanya, pemerintah menyiapkan dana 72 Miliar untuk merangsang wisatawan asing mengunjungi Indonesia, membungkam himbauan WHO dan berbagai pakar kesehatan dunia.

Bagai petir di siang bolong, Senin 2 Maret 2020 Presiden Jokowi mengumumkan kasus positif covid-19 pertama di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk menenangkan masyarakat dan membatasi penyebarannya, sayang sudah terlambat. 

Masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas panik luar biasa, memborong berbagai bahan makanan untuk keluarganya, saling berebut membeli hand sanitizer, alkohol dan masker seolah-olah itu adalah Tuhan.mereka yang baru. Sekelumit oknum manusia memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan hasil dari menimbun barang-barang. Sedangkan masyarakat tidak mampu hanya memandang heran akan perilaku sesamanya tersebut.

Setelah itu, pemerintah mulai serius dan terukur dalam membuat kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran menangani covid-19 seperti melakukan pembatasan diri, PSBB untuk wilayah-wilayah tertentu, dan pemesanan ratusan ribu APD serta obat-obatan untuk menekan jumlah peningkatan kasus covid-19. 

Sayangnya hal itu malah dibarengi dengan kebebalan yang berpindah ke masyarakat, himbauan untuk pembatasan diri hanya dianggap lelucon semata, work from home yang dilakukan pemerintah hanya menjadi ajang liburan keluarga, tak heran hingga esai ini dibuat Kamis, 23 April 2020 kasus positif covid-19 kian melonjak pesat hingga mencapai 7.775 kasus positif.

Seperti hasil survei yang dirilis oleh Saiful Mujani Research & Consulting 17 April yang lalu, dimana masyarakat Indonesia menganggap pemerintah pusat paling lambat dalam penanganan covid-19 daripada pemerintah daerahnya masing-masing. Hal itu membuktikan bahwa pemerintah Indonesia terlambat dan terlalu jemawa dalam mencegah dan mempersiapkan sedari dini covid-19 masuk ke Indonesia. 

Namun, dalam survei tersebut dijelaskan juga bahwa 20% warga Indonesia tidak sepakat perihal kebijakan kegiatan keagamaan di rumah dan work from home, tentu saja hal ini perlu menjadi perhatian khusus bersama, jika hanya separuh saja dari angka tersebut yang benar-benar melanggar himbauan, maka ada sekitar 20 juta masyarakat Indonesia yang berpotensi menjadi sumber penyebaran virus covid-19. Angka yang sangat tinggi.

            Terlalu naf jika kita hanya menyalahkan pemerintah atas semakin meluasnya penyebaran covid-19, karena pada nyatanya masyarakat juga berperan signifikan atas permasalahan tersebut. 

Saling menyalahkan dan berdebat untuk menentukan siapa yang paling salah apalagi menjadikannya sebagai ajang saling menjatuhkan lawan politik, hanya akan semakin membuat covid-19 tersenyum terbahak-bahak atas kemenangannya. 

Indonesia saat ini hanya butuh gotong-royong seperti nenek moyang terdahulu, mari kita berperan sesuai dengan kapasitas masing-masing, pemerintah pusat dan daerah senantiasa bahu-membahu bekerja keras untuk membuat kebijakan yang paling efektif dan kita sebagai masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakannya dengan baik dan tertib. 

Jarak sosial kita boleh saja terhambat tapi jarak kemanusiaan harus kian dirapatkan untuk memperkuat solidaritas, niscaya kita segera tersenyum memenangkan peperangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun