Mohon tunggu...
Anto Medan
Anto Medan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ayuk.......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bullying dan Intoleransi

11 Januari 2017   01:52 Diperbarui: 11 Januari 2017   03:36 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bullying mulai menjadi suatu isu yang diperbincangkan. Di Youtube, bullying juga menjadi suatu topik yang menarik. Tanpa sadar kita telah menjadi korban atau pun pelaku bully dalam kehidupan kita sehari-hari. Manusia ketika merasa 'berkuasa' atau lebih kuat, maka dia tanpa sadar sering menampakkan keunggulannya secara berlebihan. Apakah dalam rangka memancing perhatian lawan jenis, atau untuk mendapatkan pujian dan sanjungan, itulah sifat dasar dari manusia, sebagai mamalia.

Kita sering sekali melihat aksi bullying dalam kehidupan sehari-hari. Di kantor, kita lihat ada saja oknum-oknum yang tidak mau kalah, selalu harus mendikte orang lain dan secara kata-kata suka merendahkan orang lain. Di sekolah, ada saja anak yang suka mengolok-olok, menghina dan atau memukuli anak yang lebih kecil atau lebih lemah. Bahkan dalam keluarga pun, kita bisa melihat sikap bully kalau orang tua tidak secara konsisten menghilangkan aksi bully dalam rumah.

Ketika kita disadarkan bahwa kita pun bisa menjadi pelaku bully dan aksi bullying bisa menimbulkan perasaan tidak enak bahkan trauma bagi orang lain, maka kita harus mengambil aksi untuk menolak bully dalam segala bentuk, fisik maupun verbal. Selain sebagai pelaku atau korban, kita bisa juga menjadi saksi bisu dari bullying. 

Yang bisa kita lakukan terkait dengan aksi bully ini:

1. Bila kita sadar kita adalah pelaku bullying, maka segera hentikan!

2. Bila kita adalah korban bullying, maka kita harus melihat posisi kita dengan pelaku bullying. Memberitahu secara tegas bahwa kita tidak suka diperlakukan demikian adalah langkah pertama dan kemungkinan besar aksi bullying akan berhenti. Tetapi apabila tidak, maka kita perlu mengkonsultasikan dengan orang yang memiliki otoritas.  Apabila tidak bisa dihindari, pertimbangkan untuk berpindah tempat untuk menghindari pertemuan. Apabila tidak terhindarkan, karena tinggal dalam satu rumah atau lingkungan, maka belajarlah untuk berdiri tegak, berkata dengan tegas ketidak sukaan kita diperlakukan demikian.

3. Bila kita adalah saksi bullying, maka cobalah beraksi untuk menghentikan aksi bullying.

Aksi bullying sering terjadi terus menerus karena kita membiarkan dan mendiamkan. Pada saat berduaan, adalah saat yang cukup tepat untuk menasehati orang untuk tidak merendahkan orang lain. Dan perlu diingat, pelaku bullying pada dasarnya adalah orang-orang yang kurang percaya diri, orang yang perlu merendahkan orang lain supaya dirinya merasa lebih tinggi.

Melihat fenomena pada masa kini, kita bisa melihat, bahwa orang-orang yang merasa perlu 'di atas' orang lain karena adanya perbedaan suku, agama, ras atau pun golongan, pada dasarnya adalah orang-orang yang bermental bully. Dan orang yang bermental bully, pada dasarnya adalah orang yang tidak percaya diri. Karena tidak percaya diri, maka pelaku bully ini selalu merasa terancam, selalu merasa dizolimi, merasa dibicarakan. Pasti kita pernah bertemu dengan orang yang tidak nyaman apabila melihat sekelompok orang di ujung meja lain sedang terbahak-bahak. Entah kenapa, mereka akan langsung merasa mereka sedang dibicarakan, dihina dan yang lebih gila lagi, mereka merasa orang seberang sana sedang merencanakan sesuatu yang jahat.

Intoleransi dan perilaku bully adalah dua hal yang sangat dekat, sama-sama berenergi negatif. Dan mungkin memiliki jiwa yang sama. Bila kita tidak suka dibully, maka sudah pasti kita tidak juga suka dengan perilaku intoleransi.

Saya pernah melihat video seorang ulama yang mengucapkan dalil2 tentang ucapan selamat natal adalah haram. Menurut beliau, apabila mengucapkan Selamat atas hari Raya Agama lain, maka itu berarti menjadi sama dengan Agama orang lain, atau mengakui keimanan orang lain. Sama dengan mengucapkan selamat ulang tahun berarti mengakui orang tersebut lahir pada tanggal tertentu. Menurut saya, ini adalah suatu hal yang sangat tidak nyambung. Apakah di dunia ini hanya ada agama Islam? Dan memang orang yang beragama lain, tentu saja beriman kepada Tuhan/Pencipta/Dewa nya masing-masing.  Kalau kita mengucapkan selamat Natal kepada orang beragama Budha, barulah tidak masuk akal. Kalau kita mengakui bahwa tetangga kita beragama Kristen, maka secara akal sehatnya kita mengucapkan, selamat merayakan hari raya orang Kristen, yaitu Natal dan Paskah.

Mengapa saya kaitkan ini dengan perilaku bullying? Bayangkan, apabila dalam satu kelas, hanya satu siswa yang non Muslim, pada saaat Idul Fitri, seisi kelas tentu saling mengucapkan Selamat Hari Raya. Tetapi, ketika dia sedang merayakan hari besarnya, seisi kelas diam saja. Kira-kira, apabila siswa bersangkutan pulang ke rumah dan bertanya pada orang tua nya, apa yang harus dikatakan orang tuanya untuk menjelaskan?

Ada teman Muslim yang dengan bangganya mengatakan, saya tidak pernah mengucapkan Selamat Hari Natal, Imlek, Capgomeh dan sebagainya. Dan ada juga teman Muslim lainnya, yang juga dengan santainya mengatakan, "Kenapa sih, orang Muslim dipaksa mengucapkan Selamat Hari Natal?".

Begini, tentunya sekarang kawan-kawan Hindu, Budha dan Kristen juga mikir, apakah perlu mengucapkan Selamat Idul Fitri kepada teman Muslimnya? Bisa ga dibayangkan bagaimana jadinya negara ini dengan pemikiran seperti itu? Dengan tidak saling mengucapkan selamat, bukankah kita sedang menciptakan dinding dengan saudara kita? 

Kenapa kita perlu mengucapkan? Jawabannya sederhana. Menurut kakek nenek saya, itu namanya sopan santun dan etika. Tentu agama lebih tinggi daripada etika. Dan tidak mungkin agama meniadakan etika dan sopan santun, kan? Ada satu panduan yang perlu kita ingat dalam beragama. Ketika kita begitu seriusnya beragama, sampai-sampai kita kehilangan kemanusiaan kita, maka kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah beragama dengan benar? Kita harus beragama sampai-sampai kita berubah menjadi manusia yang lebih baik hati, ramah, rendah hati, pemaaf, suka menolong dan berguna bagi alam semesta. Maka, beragama yang benar adalah berlomba-lomba melakukan kebaikan tanpa menghitung-hitung pahala yang kita kumpulkan. Jangan kita mendorong anak-anak kita menjadi pribadi yang bertaqwa, tetapi hatinya kita isi dengan kebencian dan kecurigaan.

Sekarang, semuanya adalah pilihan kita sendiri, Indonesia seperti apa yang sedang kita bentuk bersama? Indonesia yang bertoleransi, ataukah Indonesia yang kaku dan berkotak-kotak?

Sangat disayangkan, lebih banyak orang beragama yang pengetahuan agamanya kurang. Takut akidahnya terkontaminasi sehingga tidak mau ambil resiko. Saya sarankan begini, selagi kita masih memandang perlu untuk membuktikan bahwa bumi itu datar, maka janganlah kita memaksakan kehendak dan melakukan kerusakan di muka bumi.  Karena bulat atau pun datar, kita harus berguna untuk sesama.

Sesudah memperhatikan fenomena 'kebangkitan Islam'. Saya merasa Muslim Indonesia bukan lah terbagi menjadi Muslim radikal dan Muslim moderat. Bukan. Menurut saya, lebih tepat kalau kita katakan ada Muslim terzolimi dan Muslim yang penuh percaya diri. Sejak jaman Orde Baru, selalu dihembuskan isu-isu kalau Umat Islam sedang dizolimi, dan ada skenario besar yang mau menghancurkan Islam. Isu ini adalah isu yang sampai sekarang masih laku dijual. Tentu kita bangga ketika pada 4 November 2016, umat Islam dapat berkumpul dalam tabligh Akhbar. Luar biasa. Saya hanya berharap, semoga bukan kebencian kepada Ahok yang mengumpulkan mereka, tetapi kecintaan mereka kepada ALLAH SWT. Kalau begitu banyak nya orang yang cinta pada ALLAH SWT, tentu sangat mudah untuk menyebar damai dan kebaikan. Ayuklah.....

Ini hanyalah renungan saya tentang Indonesia dan fenomena yang terjadi belakangan ini. 

Salam Ngantuk,

Anto di Medan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun