Sebagai orang yang lahir dan besar di Medan, maka sebenarnya, masalah SARA ini adalah sesuatu yang dianggap bukan masalah besar, tetapi sebenarnya, SARA adalah salah satu masalah paling besar di Medan dan Sumatera Utara. Bukan rahasia umum, sejak kanak-kanak, para orang tua sudah 'mendidik' anaknya tentang pandangan terhadap suku lain.
"Orang xxxx itu pendendam', "orang xxxx itu kasar", "orang xxxx itu tidak mengenal budi", "agama xxxxx itu menyembah xxxxx", dan sederetan kalimat-kalimat negatif lainnya.
(orang xxxx itu artinya suku xxxx)
Kalau kita mendidik anak-anak kita dari kecil dengan pemahaman seperti ini, apakah memerlukan seorang yang berkemampuan lebih untuk meramal masa depan Indonesia?
Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap isu SARA ini?
Langkah yang paling masuk akal adalah pertama-tama menyadari, bahwa kesukuan dan agama kita, sebagian besar adalah mengikuti orang tua kita. Jadi, itu bukan pilihan, itu adalah faktor kelahiran kita. Sebagai orang beragama, maka kita pun menyadari, bahwa itu adalah otoritas dari Tuhan YME, kita terlahir dari keluarga yang mana.
Kedua, kita harus menyadari, bahwa manusia itu tidak sempurna, apa pun sukunya dan apa pun agamanya. Kita boleh mengimani bahwa agama kita adalah yang paling sempurna, tetapi kita sebagai umatNya, yang adalah manusia biasa, tetaplah bukan manusia sempurna.
Ketiga, kita harus menyadari juga, bahwa sebagaimana kita mengagungkan ajaran leluhur kita (adat istiadat) dan agama kita, demikian juga orang lain mengagungkan adat istiadat mereka dan agama mereka. Maka di sini, "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" adalah filosofi yang baik utk diterapkan. Jangan kita melempar batu, karena kita benar. Karena ketika kita melempar batu, sebenarnya kita sedang melempar keluar kebenaran dari diri kita, sehingga kita bukan lagi menjadi orang benar. Dan sebagaimana kita meyakini kita akan masuk surga atau nirvana, seyakin itu jugalah, teman-teman yang beragama lain. Dan meski kebudayaan besar di dunia, diakui adalah kebudayaan Mesir, Tiongkok dan India, tetapi ada adat istiadat unik di suku-suku lain yang kalau didalami mengandung filosofi yang sangat mendalam dan bernilai mulia.
Keempat, karena kita tidak memutuskan lahir di mana dan dari siapa, dan karena kita tidak sempurna, dan karena teman-teman kita yang bersuku lain dan beragama lain juga meyakini dan menjalankan adat dan agama mereka (seperti kita), maka sikap ngotot ketika membicarakan adat/kebudayaan serta agama harus dihindari.
Kita tidak sadar ketika kita memaki orang lain (karena atribut sara nya) di depan anak kita, maka kita sedang menciptakan orang (bermasalah) yang sama dengan diri kita. Â Bukankah kita ingin anak kita tumbuh besar menjadi anak yang sopan? Kok kita ajari kalimat-kalimat kasar?
Masalah SARA menjadi membesar di era pemerintahan Orde Baru. Pada jaman itu, membicarakan kubah mesjid saja pun langsung dicap SARA. Ketika masalah ini membesar, kaum "pribumi" merasa dianak tirikan, sedangkan kaum "tionghua" merasa terancam kehidupannya. Ini kan sesuatu yang aneh. Kedua pihak merasa tidak nyaman. Yang satu merasa Tionghua sudah merampas kekayaan di negeri ini, sedangkan Kaum Tionghua merasa menjadi sapi perahan pejabat. Pada masa itu, pada dasarnya semua suku tidak ada yang benar-benar saling suka, umpamanya, suku Jawa dan Batak, Batak dan Karo, Nias dan Mandailing, Aceh dan Batak, Melayu dan Sunda, Ambon dan Makasar, dsb dsbnya......
Tetapi, ketika ketegangan mulai memuncak, cara paling gampang adalah,"Ganyang Cina"nya. Ketika semua suku-suku di atas mulai gontok-gontokan, maka ketika ada yang teriak "Ganyang Cina", maka otomatis semua mata akan memandang ke "Cina" dan pukulan boleh diarahkan ke "Cina" dan secara sosial politik, ini aman, karena tidak akan ada perlawanan balik yang berarti dari suku ini. Demikianlah Orde Baru menjalankan pemerintahannya. Dan kemudian, ditiru pada akhir masa Orde Baru.
Karena ketegangan yang sudah memuncak, semua upaya dilakukan bukan hanya "Ganyang Cina" tetapi sampai mengarah kepada pemerkosaan massal kaum wanita Tionghua. Tetapi kebesaran Tuhan terlihat, para pemain yang mengorbankan Tionghua pada masa itu, kecele. Banyak tokoh pribumi yang tidak setuju dan malahan mengutuk kejahatan pada masa itu. Lalu secara terpaksa Soeharto mundur dan mulailah era Reformasi.
Sekarang, kita perlu bertanya pada diri sendiri. Indonesia seperti apa yang kita inginkan? Apakah Indonesia yang ketika rakyatnya bertemu, pasang muka merengut karena berbeda suku dan agama? Apakah Indonesia yang ketika rakyatnya berinteraksi, dalam hatinya penuh dengan prasangka? Ataukah Indonesia, yang ketika kita hidup berdampingan, semua perkataan dan tindakan kita mencerminkan rasa hormat kepada Saudara-Saudara yang lain?Â
Beberapa tahun belakangan ini, Ahok menjadi simbol bangkitnya Nasionalisme Tionghua. Suatu fenomena yang timbul dan menjadi aneh, karena Tionghua sudah mendapat berbagai label negatif selama ini. Kerja kerasnya dan pembelaannya kepada kaum terpinggirkan membuat banyak orang yang terperangah. Meski dalam urusan gusur menggusur, Ahok tidak mau mundur sedikit pun. Tapi, dia menyediakan tempat tinggal pengganti. Dan kemudian, seperti biasa, menjelang Pilkada, diserang dengan label SARA.
Sebenarnya, urusan agama dan pemerintahan adalah dua hal yang berbeda. Pada masa Nabi, Agama dan Pemerintahan adalah satu. Tetapi, pada masa sekarang, agama dan pemerintahan terpisah. Dalam Pilkada, kita hanya memilih kepala pemerintahan. Jadi, sebaiknya tidak diikutkan pertimbangan agama. Tetapi, para ulama boleh berkata, "Lihat ada orang agama lain, dia tidak korupsi, jujur, membela rakyat, kerja keras. Masa dari kaum agama kita tidak ada?"
Jadi kaum ulama mendorong agar dari agamanya masing-masing, timbul orang yang berkualitas secara moral dan kapabilitas. Kalau kaum ulama mengatakan lebih baik dipimpin orang satu akidah, meskipun yang tidak satu akidah lebih mampu dan lebih jujur, maka itu seumpamanya kita menyerahkan kursi pilot kepada seorang supir angkutan kota. Apakah kita mau Indonesia tetap jadi negara kelas tiga?
Dalam interaksi kita di media sosial, kita harus belajar supaya caci maki agama dan suku dihindari. Seringkali di medsos, kita lebih berani, karena tidak melihat lawan bicara kita secara langsung. Tetapi, apa yang kita tulis di sana , sudah mencerminkan siapa diri kita yang sebenarnya. Yaitu, seorang pembenci yang berhati sempit.
Kalau kita kita ingin Indonesia menjadi Indonesia yang hebat, maka marilah kita berkata-kata positif, saling menghormati. Dan andaikata pun kita dalam hal Pilkada masih merasa lebih baik dipimpin Pemimpin satu akidah, janganlah kita menghakimi yang berpandangan lain.
Saya lebih suka, ketika tetangga saya yang beragama lain dan bersuku lain itu, tersenyum manis ketika berpapasan, bagaimana dengan Anda?
Medan, 030916,
Salam Bhineka,
Anto Medan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H