Tetapi, ketika ketegangan mulai memuncak, cara paling gampang adalah,"Ganyang Cina"nya. Ketika semua suku-suku di atas mulai gontok-gontokan, maka ketika ada yang teriak "Ganyang Cina", maka otomatis semua mata akan memandang ke "Cina" dan pukulan boleh diarahkan ke "Cina" dan secara sosial politik, ini aman, karena tidak akan ada perlawanan balik yang berarti dari suku ini. Demikianlah Orde Baru menjalankan pemerintahannya. Dan kemudian, ditiru pada akhir masa Orde Baru.
Karena ketegangan yang sudah memuncak, semua upaya dilakukan bukan hanya "Ganyang Cina" tetapi sampai mengarah kepada pemerkosaan massal kaum wanita Tionghua. Tetapi kebesaran Tuhan terlihat, para pemain yang mengorbankan Tionghua pada masa itu, kecele. Banyak tokoh pribumi yang tidak setuju dan malahan mengutuk kejahatan pada masa itu. Lalu secara terpaksa Soeharto mundur dan mulailah era Reformasi.
Sekarang, kita perlu bertanya pada diri sendiri. Indonesia seperti apa yang kita inginkan? Apakah Indonesia yang ketika rakyatnya bertemu, pasang muka merengut karena berbeda suku dan agama? Apakah Indonesia yang ketika rakyatnya berinteraksi, dalam hatinya penuh dengan prasangka? Ataukah Indonesia, yang ketika kita hidup berdampingan, semua perkataan dan tindakan kita mencerminkan rasa hormat kepada Saudara-Saudara yang lain?Â
Beberapa tahun belakangan ini, Ahok menjadi simbol bangkitnya Nasionalisme Tionghua. Suatu fenomena yang timbul dan menjadi aneh, karena Tionghua sudah mendapat berbagai label negatif selama ini. Kerja kerasnya dan pembelaannya kepada kaum terpinggirkan membuat banyak orang yang terperangah. Meski dalam urusan gusur menggusur, Ahok tidak mau mundur sedikit pun. Tapi, dia menyediakan tempat tinggal pengganti. Dan kemudian, seperti biasa, menjelang Pilkada, diserang dengan label SARA.
Sebenarnya, urusan agama dan pemerintahan adalah dua hal yang berbeda. Pada masa Nabi, Agama dan Pemerintahan adalah satu. Tetapi, pada masa sekarang, agama dan pemerintahan terpisah. Dalam Pilkada, kita hanya memilih kepala pemerintahan. Jadi, sebaiknya tidak diikutkan pertimbangan agama. Tetapi, para ulama boleh berkata, "Lihat ada orang agama lain, dia tidak korupsi, jujur, membela rakyat, kerja keras. Masa dari kaum agama kita tidak ada?"
Jadi kaum ulama mendorong agar dari agamanya masing-masing, timbul orang yang berkualitas secara moral dan kapabilitas. Kalau kaum ulama mengatakan lebih baik dipimpin orang satu akidah, meskipun yang tidak satu akidah lebih mampu dan lebih jujur, maka itu seumpamanya kita menyerahkan kursi pilot kepada seorang supir angkutan kota. Apakah kita mau Indonesia tetap jadi negara kelas tiga?
Dalam interaksi kita di media sosial, kita harus belajar supaya caci maki agama dan suku dihindari. Seringkali di medsos, kita lebih berani, karena tidak melihat lawan bicara kita secara langsung. Tetapi, apa yang kita tulis di sana , sudah mencerminkan siapa diri kita yang sebenarnya. Yaitu, seorang pembenci yang berhati sempit.
Kalau kita kita ingin Indonesia menjadi Indonesia yang hebat, maka marilah kita berkata-kata positif, saling menghormati. Dan andaikata pun kita dalam hal Pilkada masih merasa lebih baik dipimpin Pemimpin satu akidah, janganlah kita menghakimi yang berpandangan lain.
Saya lebih suka, ketika tetangga saya yang beragama lain dan bersuku lain itu, tersenyum manis ketika berpapasan, bagaimana dengan Anda?
Medan, 030916,
Salam Bhineka,