Ketika di smp, guru fisika saya menaruh tiga ember air di depan kelas. Satu ember air biasa, satu ember dicampur es batu, sedangkan satu lagi dicampur air panas. Dari setiap baris tempat duduk, dipilih siswa/siswi untuk memasukkan tangan ke dalam ember. Kesimpulan hari itu, panas dan dingin itu relatif.
Dalam hal yang paling ekstrim, seekor kodok, bila berada dalam suatu wadah air, dan suhu air dipanaskan perlahan-lahan. Maka, sang kodok akan mati.
Sejak Pilpres 2015 kemaren sampai hari ini, kurs dolar tetap bertengger di 13ribu lebih. Sekarang, para ekonom sudah tidak mengkomentari tingginya kurs dolar terhadap rupiah. Persis seperti kodok-kodok itu.
Apa sebenarnya efek dari dolar tinggi? Atau lemahnya rupiah? Secara praktisnya, maka nilai barang impor yang harusnya kita bayar menjadi lebih banyak. Umpamanya, dulu kita hanya membayar 9500 untuk satu buku, maka sekarang kita harus membayar 13.800 untuk buku yang sama. Berapa persen kenaikannya? 4300 atau 45%.
Dulu, kalau kita ke luar neger dan menghabiskan 2000 dolar, maka kita hanya perlu mengkonversi 19juta rupiah. Sekarang, kita harus mengkonversi 27,6juta rupiah. Â Kalau naik haji, sekitar usd3200, dulu kita hanya perlu 30juta rupiah, sekarang kita harus punya 44juta rupiah.
Ada ekonom yang berpendapat, tidak masalah rupiah lemah, karena toh akan terserap dalam belanja. Rakyat hanya perlu berhemat dan memprioritaskan belanjanya. Hal ini meski tidak enak diterima, tetapi ada benarnya juga. Tetapi menjadi masalah besar, ketika pengusaha akan melakukan investasi yang melibatkan investasi Barang Modal.
Kenapa? Karena, investasi Barang Modal ini akan mengikat selama perusahaan masih berdiri. Umpamanya, seorang pengusaha lokal akan membuka sebuah pabrik dengan nilai investasi sebesar 20juta dolar, dengan perincian 10juta untuk barang modal (mesin dan teknologinya) dan 10juta untuk bahan baku. Umpamanya, pengusaha lokal ini memakai fasilitas pajak kemaren, nah dia punya 200 milyar rupiah. Berarti untuk barang modal, dia harus menyediakan 138 milyar dan 138 milyar lagi untuk bahan baku. Berarti dia akan memerlukan pinjaman lagi sebesar 76 milyar.
Kalau dulu, dia hanya perlu 200 milyar itu saja. Itu pun masih bersisa. Kalau dia membuka pabrik, maka masalah paling besar adalah dia terikat dengan investasi mesin sebesar 138 milyar. Untuk bahan baku, dia tidak begitu khawatir, karena terus berputar seiring dengan kurs yang turun naik, kalau naik, ya, harga jual ikutan naik, kalau turun, ikutan turun juga. Dan dia harus berutang sebesar 76 milyar. Sebagai seorang pengusaha, maka dapat dipastkan, apabila keuntungannya 25 persen kotor, maka dia pasti tidak akan melakukan investasi. Karena kalau dia melakukan investasi sekarang, maka dia terikat dengan kurs 13800 untuk 10juta dolarnya yang dibelanjakan untuk mesin (barang modal). Dan belum lagi beban bunga untuk 76milyar yang harus dibayar setiap bulan dan resiko diagunkannya pabrik ke bank.
Andaikata pun dia memutuskan mendirikan pabrik, maka dengan keuntungan 25% kotor, kita asumsikan 20 persen bersih, maka sesudah kerja 2 tahun, keuntungan yang dia peroleh belum cukup untuk menutup pinjaman dan selisih kurs, kalau kurs kemudian menguat menjadi 10ribu rupiah per dolar, serta depresiasi.
{( 20% x 276 milyar ) - ( 12% x 76 milyar ) }x 2 Â - {( 13800 - 10000) x 20 juta}
= 110 milyar - 18 milyar - 76 milyar - 14 milyar