Tanggal 4 Juli 2015, Permendag No 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor dirilis. Salah satu poin pentingnya adalah importir yang mengimpor barang wajib memiliki Angka Pengenal Importir (API) dan importir yang akan mengimpor barang yang dibatasi wajib memiliki izin impor dari Kementerian/Lembaga sebelum barang masuk ke dalam daerah pabean.
Sebelum diterbitkannya permendag ini, importir biasanya diberikan kesempatan untuk melakukan impor satu kali tanpa API dan NIK. Dengan diterbitkannya Permendag ini, maka keadaan jadi tidak jelas, karena dasar dari importir boleh melakukan impor tanpa API adalah pasal 3 ayat 3, Permendag no. 54 tahun 2009, yang menyatakan, "....serta ketentuan impor tanpa pemilikan API sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri" yang kemudian dalam Pasal 3 ayat 2 Permendag 48 tahun 2015 ini dirubah menjadi, "Dalam hal tertentu, Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Importir yang tidak memiliki API."
Terus terang, saya agak bingung juga, apa sebenarnya maksud dari ayat-ayat di atas. Boleh atau tidak boleh, impor satu kali tanpa API? Entahlah.
Agak mengejutkan (baca: mengecewakan), bahwa Mendag Gobel, yang notabene adalah seorang pengusaha besar, melakukan tindakan-tindakan dan respon-respon yang kurang (baca: tidak) memberikan solusi terbaik untuk dunia usaha. Poin utamanya, yang kita baca di harian-harian nasional, bahwa barang-barang yang diimpor tanpa dilengkapi izin impor yang lengkap, tidak diterima! Kalau kita kaji-kaji dengan berbagai kejadian sebelumnya, jelas ini adalah jawaban dari Mendag untuk mengurangi dwelling time. It all make sense, right? Nooooo.......
Inilah solusi yang tak tepat sasaran (lagi).
Pertama, untuk sisi keadilan, apakah pengurusan API masih berbelit-belit dan berbiaya besar? Apakah pengurusan API sudah dibuat sederhana (seumpamanya sesederhana orang mengurus KTP?) Apakah pengurusan izin-izin lainnya juga sudah gampang? Dan kalau kita kaji-kaji lagi, apakah API itu sesuatu yang penting dalam hal impor? Perlu dicatat, di Amerika, orang tidak perlu memiliki API untuk mengimpor barang, tetapi memerlukan izin terkait untuk barang-barang tertentu. Di Indonesia, memang adalah hal yang sudah lazim untuk mengurus izin yang bertingkat-tingkat. Dan bukan rahasia umum, semuanya memerlukan uang dan waktu. Mulai dari Surat Keterangan Domisili dari Lurah, Akte Pendirian, Pengesahan dari Kehakiman, SIUP, TDP, HO, API dan izin-izin lainnya.
Kedua, sesudah memiliki API, maka importir diwajibkan lagi memiliki NIK (Nomor Induk Kepabeanan), yang diterbitkan oleh Bea dan Cukai RI. Tidak semua importir memiliki kefasihan untuk mengisi kolom-kolomnya. Meski secara teori, 7 hari kerja kita sudah memiliki NIK, tapi apabila ada kesalahan, maka ada tahapan yang perlu diulang, sehingga proses akan menjadi lebih lama.
Kalau kita pandang secara objektif, maka adalah kegagalan negara (pemerintah) untuk tidak dapat mempermudah rakyatnya untuk melakukan usaha. Dan lagi-lagi, negara dengan arogannya, menyalahkan rakyatnya dan menghukum rakyatnya karena kelemahan dari negara (pemerintah). Negara mungkin ingin memiliki database yang lengkap, atau apalah alasannya, tapi, tolong, jangan rakyat lagi yang dikorbankan!
Kenapa Mendag tidak merasa Dwelling Time adalah kesalahan birokrasi? Kenapa 100% disalahkan ke pengusaha?
Seharusnya, Akte Pendirian dan Satu Izin Usaha (dan NPWP) sudah cukup, tidak perlu sampai berbelit-belit dan bertingkat-tingkat izin usaha di Indonesia.
Sekarang, adalah jaman baru, era baru, maka kita harus melihat dari sudut yang baru. Bukan kita harus mencontoh Amerika, tetapi, kita harus bergerak maju. Jangan kebijakan yang diambil, tanpa kita sadari adalah kebijakan yang menguntungkan pemodal besar? Atau adalah titipan kepentingan? Seberapa jauh, negara telah membela rakyatnya?
Biarlah pengusaha cukup pusing dengan masalah buruh, kompetisi (dalam dan luar negeri), bunga bank, permodalan dan sederetan masalah yang terus ada. Jangan lagi dipusingkan dengan peraturan-peraturan yang menambah-nambah beban yang tak perlu. Bila pengusaha berhasil, bukankan negara juga jadi berhasil?
Sebagai seorang Ayah, negara harusnya membantu supaya semakin banyak rakyat yang berwiraswasta. Menciptakan lapangan kerja. Seharusnya seorang Ayah itu, membantu anaknya untuk memulai usaha, membimbing dari kecil menjadi besar. Menciptakan kondisi, dimana anak yang rajin, tekun dan jujur, bisa berhasil. Bisa membesar. Bukan sebaliknya..... Ingat, kita sedang menuju Perdagangan Bebas, rakyat harus dilatih untuk berkompetisi. Jangan kaki tangan semua dibelenggu dengan aturan, sehingga membuat kita selalu kalah bersaing. (Bayangkan petinju, yang kaki tangannya dikasih bandul pemberat!)
Negara janganlah berperan sebagai seorang preman. Di mana ketika ada yang ingin memulai usaha, harus membayar upeti dahulu. Jutaan rupiah harus disetor. Miris....
Mudah-mudahan era pemerintah baru ini, berani untuk merombak perizinan yang berbelit-belit ini.
Â
Salam Sejahtera dan Salam Sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H