Saya tahu ndak adil tur ndak pantes membandingkan Marathon sama Aksi Buruh. Nek Mbak Siska bilang ndak apple to apple. Yang satu acara kesehatan penting dimana seluruh pesertanya paham dan tujuan marathon. Ndak seperti kami demo buruh yang asal ikut-ikutan dan ga paham esensi demonstarsi. Saya yakin semua peserta marathon ndak ada yang ikut-ikutan. Apalagi cuma sekedar pamer ikutan tren pake sepatu mahal jutaan. Apalagi maraton kan hari minggu bukan pas jam kerja yang orang butuh akses buat kerja. Tapi kalau kami, para buruh demo hari minggu, sing nganggapi sopo?
Ini ndak adil emang, tapi kalau adil, wahai Mr dan Mrs Pelari Maraton yang budiman sekalian, saya dan Yu Pariyem atau Mas Kartodikromo ndak akan protes. Buat apa protes dan menuntut hidup layak jika sudah diaturi keadilan? Itu kan pikirannya orang ndak waras. Biar bodo buruh juga paham, bahwa hidup itu makin lama makin berkembang, kebutuhan juga. Jika punya ponsel (mbak Siska bilang gajet) itu dosa bagi buruh, kenapa mas mas karyawan punya? Saya beli motor sebab ndak ada angkutan umum ke pabrik. Kalau ada, apalagi murah dan aman, buat apa saya beli motor?
Soal kebutuhan ini tentu ada batasnya. Mosok wong mau dituruti semuanya? Ya karepe dewe namanya. Tapi kan ada standar kelayakan hidup. Ini pemerintah sendiri lho yang bikin, bukan egonya buruh, saya yo ndak nyampe mikir kaya gitu. Wong lulus aja ndak jeh, Nah dari sekian banyak itu kan bisa diomongke baik-baik, sambil lotisan (ngerujak) atau sambil makan sate keong di angkringan. Kita bicarakan lantas sama-sama sepakati mana yang penting banget dijamin dan dipenuhi, mana yang kurang dan mana yang tak perlu. Buruh juga manusia, sama-sama mengerti bahasa, menganggap kami bebal hanya karena turun ke jalan tentu jahat.
Saat surat ini ditulis Mr dan Mrs Pelari Maraton yang budiman sekalian, saya belum dapat kepastian kabar soal rekan buruh yang katanya ditikam. Pernahkah Mr dan Mrs Pelari Maraton yang budiman sekalian bayangkan? Kalian menuntut hak kalian yang dijanjikan dan meminta hidup yang layak harganya harus dibayar nyawa. Tentu Mr dan Mrs Pelari Maraton yang budiman sekalian susah membayangkan. Bagi kami yang setiap hari berkutat dengan jam kerja tinggi, upah rendah dan resiko kecelakaan tinggi. Kematian itu seperti petugas PLN yang bisa datang kapan saja mencabut sekering nyawa kami.
Mas Kartodikromo udah ngajarin saya untuk ndak mengandalkan diri kepada orang lain, ndak ngemis belas kasihan dan ndak memohon apa yang sudah menjadi hak. Memperjuangkan hak wis jadi laku prihatin buruh sejak jaman kalabendu. Menunggu pemerintah atau wong kuliahan bela buruh itu kaya nunggu ratu adil. Lama dan mungkin ra bakal terjadi. Sedari dulu mogok ya kekuatan buruh satu-satunya. Berharap orang lain peduli sama buruh ya sama artinya menyerahkan leher untuk dipancung. Lagipula mogok itu halal jeh, lho piye? Wong urip kui kan ada timbal balik. Saya lho marai sugih idealnya saya juga diberikan kesejahteraan.
Dulu ada mbak Marsinah yang mesti mati mengenaskan demi hak cuti melahirkan. Nek misalnya mbak Marsinah dan mas Munir dulu tidak mengorganisir buruh mogok demo menuntut cuti hamil opo yo bakal dituruti? Opo yo bakal denmas karyawan atawa denmas mahasiswa, denok karyawati denok mahasiswi yang mau memperjuangkan hak kami? Yo ra mungkin. Perjuangan buruh soko jaman mbah putri isih enom yo perjuangan menahan sabar. Lha piye? Nek ra di nyinyiri yo dibedil. Mati itu sudah jadi itung-itungan perjuangan kami.
Tentu ini ndak penting bagi kaum kelas menengah (ngapunten) ngehe. Apa pentingnya nyawa kami ketimbang hidup mereka. Ya tentu aja ndak ada. Dari mbak Siska toh saya juga tahu ada yang misuh-misuhi buruh "Sapa suruh jadi buruh," lho kalo bisa milih jadi direktur ya pengen jadi direktur Mr dan Mrs Pelari Maraton yang budiman sekalian. Ada pula orang yang misuhi buruh "Kita capek-capek kuliah 5 tahun dapet gaji 3 juta, kok elu buruh ga sekolah minta dibayar sama," lho emangnya harga hidup manusia diukur dari titel sekolah? Kalo sampean kuliah lima tahun saya udah kerja 10 tahun jadi buruh dan hidupnya ndak berubah. Opo yo tumon?
Dari mbak Siska juga saya tahu katanya "Itu kancamu demo naik Ninja yang mahal, gitu nuntut gaji gede. Iso tuku kok isih nuntut demo toh Kem," lha piye mbak. Nek kelas menengah (ngapunten) ngehe boleh dan sah-sah saja ngredit gajet jutaan dengan ngutang padahal gajinya kecil, boleh ngredit mobil padahal ndak mampu, lho buruh kenapa ndak boleh punya barang bagus? Kok ra adil? Nek katanya mbak Siska dobel standar. Sama-sama ga cukup gajinya, sama-sama ngotot gaya-gayaan, cuma bedanya buruh berani menuntut haknya. Nek kelas menengah (ngapunten) ngehe kan isone mung ngomyang wae koyo mbok dewor.
Mungkin ini saja uneg-uneg saya Mr dan Mrs Pelari Maraton yang budiman sekalian. Monggo kersanipun kalau ada masukan buat saya gimana caranya demo nutup jalan dan macet yang ndak bikin marah. Karena saya dan temen-temen buruh mau turun ke jalan lagi. Supaya saya yo ndak ngerepotin kelas menengah (ngapunten) ngehe tadi. Supaya kita yang sama sama kuli cuma beda seragam ini bisa hidup tepo seliro. Sing karyawan dengan gajetnya kami dengan segala cicilan dan kiriman uang buat orang di rumah.
Ngapunten lho Mr dan Mrs Pelari Maraton yang budiman sekalian. Sudah buang waktu panjenengan sekalian.
Sanikem.