Mohon tunggu...
Antik Safitri
Antik Safitri Mohon Tunggu... -

Karyawati sebuah Badan di luar Kepresidenan, dengan kegemaran berdiskusi dan membicarakan sastra dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang memudahkan langkah menuju peradaban ke depan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Shetha dan Kado Ulang Tahun Ibu

26 November 2010   04:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:17 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saya: "Bisa.... Dulu pas Titi seumuran kamu, Titi nabung tiap hari, biarpun cuma bisa seratus perak. Dulu Titi cuma bisa beliin Ibu susu anget ama cokelat kesukaannya. Pake nyalain lilin batangan, trus ucapin deh, selamet ulang tahun. Yang penting niat."

Shetha: "Oo, kayak gitu ya? Iya deh, nanti aku coba."

(Kalimat terakhirnya terdengar bersemangat sekali).

Saya tahu persis bagaimana Shetha dengan masa kecilnya. Tak jarang dia menunjukkan sikap lebih dewasa dari saya, dari kakak-kakaknya bahkan dari orangtuanya sendiri. Ya, itu Shetha, adik kebanggaan satu-satunya yang sering dibanding-bandingkan dengan saya yang kata orang sudah sukses di rantauan tapi masih begini-begini saja.. Shetha yang berhasil meyakinkan orangtua dengan calon suami Saudari saya. Shetha yang berhasil mencairkan suasana rumah yang semakin hari semakin membeku bahkan hampir hilang kepercayaan masing-masing penghuninya. Shetha yang berhasil membuat seorang anak berbibir sumbing mau kembali ke sekolah setelah mengalami trauma panjang dengan cemooh teman-temannya. Shetha yang justru melindungitemannya setelah temannya itu memukulinya sampai berdarah. Shetha yang sering menolak pemberian kue kecil dari tetangga dengan alasan tetangga itu masih memiliki anak kecil yang menurutnya lebih pantas diperhatikan. Shetha yang berhasil membujuk Bapak dengan segala cara untuk tidak menghisap rokok lagi (saya ingat betul bagaimana dia meninggalkan layang-layangnya dan berlari sambil ngamuk-ngamuk mengejar Bapak yang ketahuan membeli sebatang rokok di warung. Shetha yang sering dibilang bodoh oleh orang-orang termasuk gurunya sendiri, padahal buat saya kecerdasannya melebihi siapapun. Semakin hari saya melihat perkembangan dan pertumbuhan pola pikirnya, semakin malu hati ini dibuatnya. Tidak sebanding rasanya jika semua cerita tentang kehidupan saya selalu dibesar-besarkan oleh Ibu. Ibu ingin Shetha punya teladan, punya contoh supaya tetap semangat dalam hidupnya. Dan memang itulah yang terjadi. Shetha selalu menjadikan saya sebagai sosok kakak yang harus ia contoh. Dan buat saya beban itu terlalu berat. Saya jauh dari sempurna. Bahkan tanpa seorangpun tahu, kadang saya menangis sendirian mengingat keburukan, kekotoran, dan kebodohan saya yang selalu saya tutupi dengan senyuman dan kesabaran.

Dan sudah menjadi kebiasaan kami kakak-kakaknya, yang lupa bahwa Shetha hanyalah anak kecil. Dia hanyalah anak SD yang baru masuk kemarin. Kami lupa bahwa perbedaan usia antara kami dan Shetha terpaut belasan tahun. Kadang kami membebaninya terlalu berat. Dia terpaksa harus mengerti kondisi keluarga sementara kami mengesampingkan kebutuhannya sebagai anak-anak; bermain-main dan memperoleh kasih sayang.

Beberapa hari setelah itu terdengar kabar dari Saudari perempuan saya, tentang tingkah adik semata wayang kami itu.

Kakak: “Eh Tri, udah tau belum, ceritanya Shethadi sekolahnya? Nangis, dia.”

Saya: “Emang kenapa dia? Berantem?”

Kakak: “Gini ceritanya, hari Kamis lalu(tanggal 28 Oktober), dia dapet pelajaran Budi Pekerti di kelasnya. Entah apa yang ada di kepala anak itu, pas Bu Gurunya nyeritain tentang kasih sayang seorang Ibu, pengorbanan Ibu, bagaimana seorang anak harus menghormati ibunya, eh,.. dianya nangis. Mukanya ditelungkupkan ke meja. Sesenggukan. Temen-temennya sampe ngerubungi, bu Gurunya juga. Semua pada nanya kenapa dia nangis. Sambil sesenggukan, Shetha bilang kalo dia inget ibunya di rumah. Dia bilang kalau dia ga bisa jadi anak yg berbakti, bahkan udah berusaha semampu dia, tapi tetap ga bisa ngasi apapun ke Ibuk. Padahal hari ini ulang tahunnya Ibuk. Dia cerita tentang kondisinya di rumah, tentang ibuk, tentang keadaan rumah, tentang keluarga kita. Ceritanya dia bikin temen-temennya terenyuh. Tanpa dikomando sama siapapun, semua temen sekelasnya berinisiatif keluar kelas saat itu juga buat nyariin Shetha bunga mawar. Shetha dikasi dua tangkai. Satu untuk Ibuk, satu untuk Shetha. Temen-temen sekelasnya juga nyumbang duit buat Shetha demi bisa beli sesuatu buat Ibuk. Dan sepulang dari pelajaran Budi Pekerti itu, satu kelasnya Shetha berbondong-bondong ke rumah, nganterin Shetha sekalian pengen nyari Ibuk. Yang jelas Ibuk kaget. Temen-temennya nyanyi lagu Selamat Ulang Tahun trus ngucapin doa satu-satu ke Ibu. Kalo dipikir-pikir lucu ya, Tri.. kok bisa ya dia punya pikiran gitu. Sementara dia sendiri ga terlalu mikirin perayaan ulang tahunnya sendiri. Biasanya anak laki-laki kan jarang punya tingkat emosional kayak gitu..”

Saat itu dengan telepon masih nempel di kuping, air mata saya bercucuran. Bukan kebiasaan keluarga kami untuk menunjukkan sikap berlebay-lebay seperti ini. Keluarga kami tergolong jaim. Cuek. Jauh dari nilai kekeluargaan seperti di sinetron keluarga Cemara. Dengan suara tertahan saya masih melanjutkan percakapan.

Saya: “Itu beneran Shetanya kita kan? Bukan cerita karanganmu? Hahaha, ada-ada aja...................

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun