Selepas menunaikan kewajiban rukun Islam ibadah saum di bulan Ramadhan, kaum Muslim sedunia berbahagia merayakan Eid ul-Fitr pada hari pertama bulan Shawwal.
Islam merupakan agama yang terbesar di dunia, ada perbedaan dalam penyebutan hari raya Idulfitri tersebut oleh Muslim yang sudah menyebar di segala pelosok.
Di Tiongkok pada sensus 2010 lalu, diperkirakan ada 106 juta Muslim, mereka menyebut Idulfitri sebagai Perayaan Kadir, seperti halnya di India, Bangladesh, dan beberapa negara di Afrika, Laylat al-Qadr. Perayaan malam kemuliaan dari seribu malam pada tahun 624 AD, yang terpilih menurunkan Al-Qur'an kepada Rasulullah SAW.
Di Turki sebagaimana juga kaum Uyghur yang terpengaruh, menyebutnya Ramazan Bayrami, Perayaan Ramadhan, juga disebut Seker Bayrami, perayaan manisan gula.
Di Malaysia, negara tetangga kita yang sebahasa Melayu, menyebut Eid adalah Hari Raya Puasa.
Di Saudi dan bumi Arab pada umumnya, menyebut hari raya tersebut Eid al-Fitr atau Eid ul-Fitr.
Meskipun sumbernya Islam dari Arab, yang unik hanya di Indonesia saja untuk menyebutkan Hari Raya Idulfitri dengan kata "Lebaran".
Dari sumber kata apakah Idulfitri menjadi Lebaran di Indonesia. Banyak penafsirannya, yang mudah ditemukannya di Google search.
Yang sudah menjadi dogma, atau yang diterima sekarang, adalah dari penjelasan MA Salmun, yang pada tahun 1954 diterbitkan di majalah "Sunda".
Menurut beliau, kata Lebaran yang kerap digunakan di Betawi, berasalkan ajaran para Wali Songo yang menyebarkan agama Islam kepada Hindu daerah Jawa, untuk menyerukan kata "wis bar" dalam kegembiraan selesainya menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Kata "bar" merupakan bentuk kesingkatan dari kata Jawa maupun Sunda "lebar", yang berarti rampung ataupun lega.
Yang bisa diperbincangkan disini, bahwa Idulfitri adalah salah satu dari dua Eid yang merupakan perayaan besar kaum Muslim, para Wali tidak mungkin mengajarkan kepada pengikutnya, walaupun Idulfitri sebagai Eid kecil, begitu saja dengan penamaannya yang sesederhana "wis bar", yang tiada makna kebesarannya, tanpa ada perasaan keakbaran Hari Raya tersebut.
Dalam salah satu bukunya sejarahwan Prof Dr Slamet Muljana yang semulanya diterbitkan di tahun 1960'an, "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara", mencatat sepotong penemuan Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya "Tuanku Rao", yang menceritakan, pasca pelayaran Armada Mahmud Shamsuddin Cheng Ho di abad ke-15, ada kedatangan dan kegiatan para Sunan Muslim Tionghoa yang membentuk Dewan Kesembilanan, yaitu Wali Songo, mereka dipimpin oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa Timur.
Menurut Muljana, untuk bisa meneroboskan dakwah kepada rakyat Hindu Majapahit yang kental dalam kepercaan pada dewa-dewi mereka, para Wali menggunakan segala cara yang merakyat, dan yang mudah bisa dimengerti dan diterimanya, bahwa hanya ada satu Allah yang maha-tunggal.
Syarat mutlaknya tentu harus menggunakan bahasa lokal, melalui bahasa Jawa maupun bahasa Urdu, supaya pasal-pasal Al-Qur'an bisa dimengerti dengan mudah oleh penduduk setempat.
Di dalam dakwah mereka pastilah mengajarkan poin penting dalam Al Qur'an sebagai tugas keagamaan. Selain percaya pada wahyu Allah yang tidak berubah dan yang terakhir, juga meminta pengampunan dosa, sering berdoa, membantu orang lain terutama yang membutuhkan, menolak selingkuh dan cinta kekayaan, berakhlak, dan tidak membunuh gadis yang baru lahir.
Tidak lepaslah para Wali juga mengajikan Lima Rukun Islam, yang dirangkum dalam hadis Jibril, yang dianggap tindakan dasar dan wajib orang beriman, dan dasar kehidupan Muslim.
Shahada: La ilaha illa-llahu muhammadun rasulu-llah, iman "Tidak ada Allah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah".
Shalat: berdoa sehari lima kali pada Subuh, Dzuhur, Asr, Maghrib, dan Isha, menjurus ke arah Ka'bah di Mekah, dengan sujud, membungkuk dan duduk dalam posisi khusus.
Zakat: pemberian amal atas dasar kekayaan dan kemampuan, sebagai tanggung jawab setiap Muslim untuk meringankan kesulitan keuangan orang lain, dan berjuang untuk menghilangkan ketidak-setaraan.
Saum: ada 3 jenis puasa dalam Al Qur'an, puasa ritual, puasa taubat, dan puasa pertapa. Berpuasa dimaksudkan untuk memungkinkan umat Islam mencari kedekatan dan pengampunan dari Allah, dan puasa ritual di sepanjang bulan Ramadhan merupakan kewajiban kaum Muslim.
Haji: setiap Muslim yang berbadan sehat diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji, berziarah ke Mekah setidaknya sekali dalam hidupnya. Menjalankan ritual mengelilingi Ka'Bah 7 kali yang disebut Tawaf; menyentuh Hajar Aswad yang disebut Istilam; bepergian antara Gunung Safa dan Gunung Marwah 7 kali yang disebut Sa'yee; dan secara simbolis melempari setan di Mina yang disebut Ramee.
Dalam cara perayaan Idulfitri yang semula dibimbing oleh Sunan Ampel dan sejawatnya, pastilah bedasarkan ke-lima rukun tersebut diatas.
Mari kita tinjau tradisi kaum Muslim merayakan bar-nya Ramadhan, pada dini hari 1 Shawwal, Idulfitri, hari raya usainya Puasa.
Berakhirnya malam Kadir, para umat bergembira hati membersihkan badan dan mengenakan pakaian bersih atau baru, dan menjalankan shalat.
Selesai shalat dan sebelum mengucapkan Mubarak, membagikan zakat, dan menikmati jajan hari raya, umat tidak akan lupa memuji Allah Subhanahu wa ta'ala dengan takbiran "Allahu Akbar", dengan serentak yang diteriakkan berulang-ulang dengan meriang gembira, untuk menyambut hari selepasnya berpuasa, Idulfitri.
Dari berulang-ulang dan pembauran teriakan Allahu Akbar- Allahu Akbar disana-sini, yang menjadikan ini hari raya “Allahu-akbar-an” di Jawa, inilah yang menjadikan hari raya tersebut, "Lebaran".
Menurut catatan Siti Aisy, dalam terbitan Suara Muslim di kapan hari, mengatakan bahwa di Kamus Besar Bahasa Indonesia, "lebaran" ini terdiri dari 3 suku kata dasar, yaitu le+bar+an. Uniknya, kata lebaran ini juga digunakan pada Lebaran Haji, Idul Adha yang merupakan Eid besar, maupun dipergunakan juga dalam Imlek, Lebaran Cina. Maka, tidak khusus untuk Idulfitri, perayaan lepas puasa atau wis bar puasa.
Dengan demikian, asal usul kosakata Lebaran tidak semestinya begitu saja dari "wis bar" atau "lebar".
Kita sering meminjam kata-kata asing yang menjadikan bahasa Jawa, beginilah takbiran Allahu Akbar juga bisa menjadi asal kata Lebaran.
Le: kata muka "le" ini sering terdapat dalam bahasa kita, seperti lemari yang asalnya dari kata Portugis armario, yang menjadi almari, dari lafal Jawa akhirnya dibaca le-mari. Juga nama kecamatan Purworejo di kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, yang sewaktu di zaman kolonial disebut Alkmaar, dari kebiasaan penduduk setempat disebutlah Lekemar. Tidak heran kata "Allah" juga bisa dipersingkatkan menjadi Lah atau le.
Bar: tentunya bukan sekedar kata selesai atau tamat. Kita di Jawa biasa menyingkatkan kata-kata dalam pembicaraan sehari-hari, contohnya, siji (satu) menjadi Ji, satu porsi tahu pong, menjadi Pong-ji. Tidak heran kata Akbar pun jadilah bar.
An: merupakan imbuhan di belakang kata atau sufiks yang paling khas dalam bahasa Indonesia. Fungsi dari akhiran "--an" pada umumnya untuk membentuk kata benda, namun terdapat dalam beberapa bahasa daerah serta dialek tertentu, terkadang akhiran "-an" ini bisa membentuk kata sifat, dalam hal ini, akhiran -an menyatakan sifat seluruh atau himpunan, akbar-akbar-an.
Dengan demikian, bisa kita menyimpulkan bahwa asal usul kata lebaran adalah Allahu-akbar-an, bukan sekedar dari "lebar", perasaan kelegahan selesainya berpuasa di bulan Ramadhan, malah perasaan sukur dan berbahagia dengan memuliakan wahyu Allah SAT yang mentitahkan sabdaNya kepada Rasulullah SAW ke dalam Al Qur'an, dengan takbiran Allahu Akbar kita memujiNya. Sehingga dari seruan Allahu akbar yang menjadikan asal usul kosakata Le-bar-an di Tanah Jawa.
Demikian pula, dengan membawakan dakwah dalam bahasa awam yang mudah diterima oleh mualaf, para Wali berhasil menerobos kepercayaan dan mengislamisasi kaum Hindu Majapahit di Jawa.
Oleh: Anthony Hocktong Tjio.
Monterey Park, 24 April 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H