Begini rasanya seekor katak di dalam tempurung. Dunia luar hanya secupit pemandangan di luar jendela. Selama 14 hari di dalam wajib karantina ketibaan di Hong Kong, hari ini (16/09) baru hari ke-5 mendekuk di dalam kamar hotel.
Hotel wajib karantina sudah ditentukan, kita pilih ini yang terletak di Tsim Sha Tsui, pikirnya di daerah Kowloon yang paling convenient.
Di kepetangan malam hari, taxi dari bandara membawa kita kesini, kelihatan sini bukan daerah yang layak ditinggali. Sedikit banyak ada perasaan yang menguatirkan keamanannya, tetapi apa boleh buat, tidak banyak hotel yang rela ditugaskan sebagai penampungan karantina.
Sudah memesan kamar yang lebih bagus, yang agak mahal, katanya dengan pemandangan kota dan sebagainya. Kamarnya kecil, sempit dan dangkal di tingkat 15. Tidak ada meja, tidak ada kursi duduk, dan tidak disediai lemari, hanya ada 2 baris ranjang, kamar sudah sesak.
Dekornya sewaktu jaman Susie Wong, lapisan kertas tembok motip dedauanan yang di sana sini sudah mengupas. Untungnya ranjang-ranjang berupa dipan yang cukup tinggi, di kolongnya bisa buat menyembunyikan koper, kalau bukan begitu, harus melangkah diatas ranjang untuk masuk ke dalamnya kamar.
Kurang demokrasi apa di Hong Kong sekarang ini, ketimbang di waktu jajahan imperialis dulu itu? Kedoknya terbongkar, ternyata pengrusakan kota secara sistematis itu merupakan hasutan CIA untuk menggoncangkan stabilitas negeri China.
Beberapa pemuda yang memimpin kerusuhan itu adalah bayaran, yang sudah menjadi kaya raya. Begitu pun, sekarang mereka minta imigran pelindungan juga ditolak oleh Amerika, melarikan diri ke Taiwan juga ketangkap. Terus memuntahkan daftar mata-mata Amerika yang selama ini ditanamkan dalam pemerintahan Hong Kong.
Karantina berarti dikurung dalam kamar selama 14 hari untuk meyakinkan bebas Covid19, kita masing-masing dikenai gelang sensor tahanan sewaktu masuk di bandara.
Sewaktu memasuki kamar untuk pertama kalinya, segera menekan tombol merah di App HP tersebut, sambil mengelilingi selingkaran batas dalam kamar kita, setelah itu, bila kita coba menerobos perimeter yang telah ditetapkan, signal segera terkirim ke kantor polisi untuk menangkap pelanggarnya. Sensor canggih tersebut dilengkapi GPS yang bisa mencari pelanggarnya, dimana pun juga.
Pelanggaran bisa dikenakan hukuman berat. Denda uang HK$25,000 tambah hukuman penjara 6 bulan. Bukan main.
Peraturan ketat ini bisa dimaklumi, upaya Hong Kong menghindari kemasukan wabah baru, impor dari luar, yang bisa membahayakan masyarakat.
Yang sukar bisa dimengerti adalah logika peraturan di Jakarta, mengapa bila sendirian di dalam mobil tidak mengenakan masker, juga dijatuhi hukuman? Logika kaca mata kuda penarik dokar, pokoknya tidak peduli kanan-kiri.
Setiap hari diharuskan memeriksa suhu badan 2 kali, melaporkan diri bila ada gejala sakit. Sukurlah selama ini baik-baik saja.
Walaupun demikian, kelihatan beberapa pengunjung asal Timur Tengah masih bebas keluar berjalan-jalan, juga membawa pelacur kembali ke kamarnya, kata seorang pegawai hotel, bisa juga bila gelang digunting dan diletakkan dalam kamar.
Ya, hari ini mendapat tilpon dari pusat kontrol karantina yang menegur keadaan kita. 3 hari lagi, bakal mengadakan tes ulang dengan pengambilan contoh ludah. Kita sungguh dicheck, tidak bakal melanggarnya, sabar.
Dalam booking karantina ini tidak disediakan breakfast, makan minum harus diurus sendiri. Hal ini bukan masalah, kita kan berada di Hong Kong, bukan masih di Los Angeles yang serba sulit dan individualistis.
Hari keduanya, ketagihan kopi cap "Kapal Api" Surabaya, begitu juga dikirimkan dalam jumlah cukup banyak untuk keperluan dalam 2 minggu ini.
Semenjak Hong Kong dipertengahan abad lalu diperkenalkan dalam film Hollywood "The World of Susie Wong", menjadilah pusat kuliner Tionghoa di dunia. Ini tidak membual.
Dalil teori evolusi Darwin "Survival for the fittest" berlaku di perestoranan Hong Kong.
Banyak penciptaan kuliner Tionghoa yang kita sudah biasa memakannya, tanpa disadari asalnya dari hasil pergulatan hidup koki-koki di Hong Kong sini.
Satu ini, Nasi Goreng Yangzhou, ibunya nasi goreng Hong Kong, dinamakan satu tempat di dekat Shanghai, kota Yangzhou, tetapi bukan dari sana. Kreasi seorang koki di restoran yang namanya Yangzhou di Hong Kong.
Bagaikan Bika Ambon yang bukan asalnya dari Ambon, tetapi dari Jalan Ambon di Medan.
Maka setiap bangunan ada 2 saluran air, satu saluran air laut yang kekuningan, khusus untuk toilet, saluran yang mengalir di waskom, bening dengan qualitas bisa langsung diminum. Bagaimana pun, sebaiknya digodok sampai mendidih dulu.
Istri siang malam sibuk melayani tilpon-tilpon dari segala pelosok dunia, sejauh dari Inggris, Amerika, Malaysia dan Jepang, sedekat dari China dan lokal Hong Kong sini, yang ingin mengetahui hidup atau mati kita dalam karantina.
Sebagai suami yang cinta damai, bungkam saja.
Wifi hotel terputus putus pada siang hari, terlalu banyak pemakainya. Lebih lancar di waktu malam hari, seperti sekarang. Memanfaatkan keadaan jetlag. Ketularan Danny Siregar. Secangkir lagi kopi, Kapal Api Surabaya.
Oleh: Anthony Hocktong Tjio.
Kowloon, 16 September 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H