Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengertian Imlek dari Awalnya

31 Januari 2019   09:37 Diperbarui: 2 Februari 2019   00:21 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekedar menceritakan Imlek yang sering disalah mengertikan.

Imlek merupakan tahun baru budaya Tionghoa yang mulai dirayakan sejak tahun 1914 di Tiongkok, karena sejak saat itu Tiongkok menggantikan kalender lamanya yang bersifat lunisolar, untuk menganut kalender adab Barat sejak 1582, yaitu kalender Gregorian yang berdasarkan pengamatan edaran bumi pada matahari.

Demikianlah setahun di Tiongkok merayakan 2 tahun baru, yang lama disebut Tahun Baru Imlek yang berarti dari dasar edaran Rembulan, dan Tahun Baru Yanglek pada tanggal 1 Januari yang berdasarkan edaran Matahari. Sejak itu kebiasaan ini dibawakan oleh perantau Tionghoa kemana saja mereka berada.

Istilah Imlek itu hanya muncul di Indonesia untuk menyingkat Tahun Baru Imlek. Sedangkan perayaan Imlek bukanlah hanya untuk kaum penganut Konghucu, itu karena Imlek bukanlah dari dasar sesuatu kepercayaan maupun keagamaan, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Konghucu maupun Buddha, sudah ada Imlek jauh sebelum kelahiran mereka.

Imlek dalam perayaannya sedikit banyak mendekati Lebaran, dengan hal-hal mudik dan mercon bumbung, dan pemberian uang lebaran atau tunjangan hari raya dalam cara masyarakat Nusantara merayakan Idul Fitri, disini berupa amplop merah yaitu angpao.

Asal usul Imlek bisa diceritakan sebagai berikut:

Dari awalnya Cina tidak ber-pribumi. Yang menjadikan bangsa Tionghoa sekarang adalah perantauan manusia dari Persia, tepatnya dari daerah subur diantara 2 bengawan Tigris dan Euphrates yang menjadi Mesopotamia di sekarang Iraq. Sekitar 8500 tahun lalu disana sudah berkebudayaan yang menggunakan kereta beroda, pengelolaan batu bata, dan penyaluran irigasi untuk pertanian yang luas.

Sampai di sekitar 4500 tahun lalu, disana ada bangsa Sumaria yang sudah berperadaban tinggi dengan bahasa dan tulisan bentuk paku runcing Cuneiform yang di masa Ubaid pernah mendirikan kota besar pertama dalam kebudayaan manusia, yaitu Kota Erlidu yang terletak diujung tenggara Iraq.

Dari penyelidikan kekinian, menunjukkan bangsa Tionghoa adalah keturunan dari bangsa Sumaria tersebut, mereka membawakan kebudayaannya seperti barang tembikar untuk keperluan sehari-hari, pembangunan rumah dari dasar bahan batu bata, saluran perairan untuk pertanian maupun membangun bendungan untuk mengatasi kebanjiran, menggarap ladang pertanian yang luas dan mengerti penimbunan hasil panen yang tahan lama, membawakan bahasa dan huruf kata dari bentuk runcing yang tadinya di Erlidu menjadi bentuk peramal diatas tempurung kura-kura Oracle, juga membawakan kalender menurut fase bulan untuk kepentingan pertanian yang lengkap dengan lambang binatang tahunan yang disebut Shio .

Mereka yang berdatangan itu ada pimpinannya masing-masing, sehingga beberapa pemimpin yang unggul dalam mengumpulkan suku-sukunya disebut Raja Kuning atau Yellow Emperor dan lain-lain. 

Sedangkan sebutan Raja Kuning tersebut hanya legendaris yang sekarang dianggap semata-mata pelambang "satu masa di purba Cina", untuk menyebut semua pemimpin-pemimpin suku yang berada di sekitar Sungai Yellow River, mereka pun bukan yang membentuk kebangsaan Tionghoa sekarang. Bangsa Tionghoa terbentuk pada Dinasti Zhou di Luoyang, Henan oleh bangsa kulit putih suku Ji  yang asalnya dari Turkistan Timur sekarang.

Sebelumnya Dinasti Zhou tadi, di sekitar abad 21 Sebelum Masehi, mereka perantauan Sumaria dari Erlidu tersebut menemukan bumi subur di sekitar bengawan Yellow River dan cabangnya, Sungai Xia, maka di Mesopotamia yang baru inilah mereka mendirikan kerajaan Cina yang pertama, Dinasti Xia di Erlitou dekat Kota Luoyang di Henan sekarang. 

Mereka merupakan pemasyarakatan pertanian yang mengadaptasi kalender fase bulan yang dibawakan leluhur mereka dari Mesopotamia semula, sejak itulah Tionghoa mempunyai kalender dan disebutnya Kalender Xia atau kalender pertanian, dari inilah yang sekarang disebut Imlek.

Kalender pertanian dari purba kala sudah mengenal 4 musim dalam setahun: Semi, Kemarau, Rontok dan Dingin, dan semulanya setahun itu dimulai pada hari dipertengahan musim Dingin, yaitu yang dikenal sebagai Winter Solstice, disekitar bulan 11 Imlik atau 21/22 Desember kalender umum, dari hari tersebut waktu malam mulai memendek dan matahari mulai terbit lebih pagian, maka dari hari inilah juga dimulai setahun yang baru. 

Tionghoa menyebutnya ini Hari Tang-ci / Dongzhi  dengan kebiasaan makan sup ronde untuk merayakannya, karena ini hari sudah sejak dulu merupakan hari tahun baru.

Dari sejak zaman Xia yang didirikan oleh Raja Yu, Tahun Baru Imlik sudah dirayakan seperti sekarang pada tanggal 1 bulan 1 Kalender Pertanian, tetapi dari zaman ke zaman pernah ada perubahan tanggal tahun baru yang dikarenakan masih mengikuti kalender pertanian purba tersebut, hal ini berlaku pada zaman Dinasti Qin di abad 3 Sebelum Masehi.

Bila diperhatikan dalam upacara Imlek yang khas adalah serba warna merah, menyulutkan petasan dan mengucapkan Sin Cun Kiong Hie. Ini dikarenakan ada kepercayaan yang disebutnya: Nian .

Asal usulnya legenda Nian ini ada ceritanya yang begini.

"Nian" dalam kosa kata Tionghoa berarti "Tahun", satu tahun adalah satu nian. Yang selalu disalah kaprahkan adalah Nian tersebut adalah binatang buas mitos "Xi" .

Gambar Xi atau Nian. (dari Fanear216)
Gambar Xi atau Nian. (dari Fanear216)
Xi sepanjang tahun berdiam di kedalaman air laut, hanya setiap malam tahun baru mendarat untuk memakan manusia, merupakan musibah sepanjang masa hingga suatu ketika terjadi pengusirannya di pedesaan yang sedang semarak berbunganya puspa mei-hua.

Konon pada suatu malam tahun baru, semua penghuni pedesaan Mei-hua tersebut pada ribut mengungsi ke atas gunung. Dalam keadaan hiruh-pikuk itu ada seorang pengemis tua yang kebetulan mendatangi desa dan berhenti di depan rumah seorang nenek, dia meminta permisi supaya diperbolehkan untuk dirumahnya berteduh dari kedinginan semalam saja, karena kan rumah dikosongi malam itu. 

Berkali-kali nenek menasehati supaya segera ikut mengungsi ke gunung saja, karena nanti di tengah malam bakal diamuk binatang buas Xi yang mendarat. 

Si pengemis tua itu bagaimanapun juga tidak mendengarkan nasehat untuk keselamatannya, malah dengan senyum mengatakan, nanti biarlah kuusir binatang buas itu. 

Nenek akhirnya juga putus asa dan membiarkan saja pengemis yang berkepala batu itu disana, dengan tergesa-gesa mengikuti masal meninggalkan desa.

Segera pengemis itu mulai mempersiapkan tindakan penyelamatan diri, berdasarkan keyakinannya bahwa warna merah bisa menangkis segala kesialan, maka memberi wewarna merah di sekitar pintu masuk gubuk nenek itu, dan membakar potongan bambu untuk menyalakan rumah supaya terang benderang, maka siaplah menunggu kedatangan Xi di tengah malam.

Tiba waktunya, Xi sungguh pada berdatangan, mereka merasa suasana rumah nenek tersebut lain dari pada tahun-tahun sebelumnya, seketika itu juga tercengang melihat adanya warna merah yang melapisi pintu masuk, dan mulai bergemetaran melihat ada bakaran api yang terang benderang di dalam rumah, sewaktu bambu-bambu dalam pembakaran meletus, Xi pada berlarian karena ketakutan dari suara cetusan itu.

Syair Tahun Baru dalam warna merah menglilingi pintu rumah Tionghoa. (Gambar dari Chrislb).
Syair Tahun Baru dalam warna merah menglilingi pintu rumah Tionghoa. (Gambar dari Chrislb).
Lampion Imlik. (gambar dari Paul Louis)
Lampion Imlik. (gambar dari Paul Louis)
Penyulutan petasan. (gambar seehua news)
Penyulutan petasan. (gambar seehua news)
Esok paginya adalah tahun baru, penduduk desa juga mulai kembali ke kampung, dan sang nenek menjumpai si pengemis tua yang baik-baik saja di rumahnya, sambil kagum dan tidak bisa mempercayai apa yang dilihat, maka menanyakkan bagaimana semalam tadi bisa lolos dari keganasan Xi? Tenang saja pengemis menjawab, 

Xi itu takut warna merah, bakaran api yang terang benderang, dan suara cetusan. Xi itulah nama binatang buas mitos yang pada setiap malam tahun baru harus diusir, maka menjadi adat Tionghoa membuang segala kesialan pada saat menjelang Imlik dengan ritual yang serba warna merah, membakar api unggun atau menyalakan lampion merah, dan menyulutkan petasan untuk menyambut tibanya tahun baru. Demikianlah, Tionghoa juga menamakan Malam Tahun Baru Imlik tersebut "malam pembasmian Xi" yaitu Chu-xi . 

Sejak terbentuknya Republik Tiongkok, dalam pelajaran di kitab sekolahan, Nian itu disalahkan sebagai nama binatang mitos yang buas Xi, hal ini masih terus dikutip dalam tulisan yang berdasarkan ajaran lama. 

Ternyata kosa kata Nian berarti "pertanian gandum sudah matang". Di zaman dulu kala, sewaktu setahun dimulai dari hari Tang-ci, dimana pertanian gandum sudah matang, disanalah artinya setahun yaitu satu Nian, satu fase panen gandum.

Semula cara Tionghoa menyambut Imlek hanya berkumpul di rumah dan berukun sekeluarga untuk menyambut "keajaiban hidup", karena kita berhasil bertambah umur satu tahun, maka pada malam tahun baru Imlek bagi setiap keluarga juga berarti "mempertahankan umur"  bersama.

 Kebiasaan sekeluarga mempertahankan umur di malam tahun baru itulah yang merupakan sebab musabab adanya masa Mudik Imlek, sampai sekarang setiap tahunnya di Tiongkok "tutup" selama 2 minggu, tidak ada orang yang mau bekerja, termasuk pemerintahannya, semua pada pulang kampung halaman masing-masing. 

Awalnya di zaman Cheng Ho dalam abad 15, akibat Cina Ming selama 50 tahun sebelumnya mengadakan transmigrasi yang luar biasa besarnya, dimana Tionghoa yang penuh sesak di utara dipindah paksakan kedaerah yang lebih longgar penduduknya di selatannya Sungai Yangtze, dari situ mulailah pada setiap masa Imlek terjadi mudik pulang kampung untuk bersama "mempertahankan umur" dengan orang tua di tempat asal mereka yang ditinggalkan. Maka juga sejak zaman itulah Imlek dirayakan selama 2 minggu, dan selesai pada malam bulan purnama pada tanggal 15 bulan pertama yaitu Cap-goh-meh .

 

Dari semula mereka serba kekurangan di utara, sekarang sudah mampu dari kesuburan di selatan, maka mulailah pulang dengan membawakan hadiah ole-ole yang mewah, dan dari asalnya yang hanya merayakan dengan makanan pangsit dumpling bikinan keluarga sendiri yang sederhana, menjadi berpesta malam tahun baru yang berlebihan. Kebiasaan ini yang dikemudian harinya juga dibawakan Tionghoa perantau ke Nusantara.

 

Makan pangsit dumpling merupakan perjamuan keluarga yang khas sampai sekarang, boleh juga digantikan Lontong Cap-goh-meh selera Nusantara yang muncul pada pertengahan abad 20 lalu, dari lontong sayuran lodeh di Jawa.

 

Setelahnya Cheng Ho, dari banyaknya perantauan Muslim Tionghoa yang asalnya dari Teluk Zaitun Hokkian dan Negeri Karajan Yunnan via Champa ke Nusantara, dengan mereka yang membawakan kebiasaan perayaan Imlek dari Cina, maka memberikan bentuk-bentuk mudik, mercon bumbung, dan uang THR yang menjadikan corak perayaan Lebaran sekarang ini.

Manusia berhasil mengusir mitos binatang buas Xi yang berupa kepala singa dan berbadan naga liong yang sudah diceritakan diatas tadi, melambangkan kecerdasan manusia yang bisa mengalahkan kejahatan dan kesialan yang menimpa, sehingga sejak 2000 tahun lalu kepercayaan pada dongeng itu yang sudah menyebar luas dikalangan masyarakat Tionghoa Dinasti Han, setiap tahunnya dijadikan suatu keramaian untuk menyambut Imlek dengan Tarian Barong Sai, atau yang biasa dikenal tarian singa barong, seolah-olah mengolok-olokkan dan menggoda Xi yang sekarang bisa dijinakkan dan dipermainkan. Biasa dipertunjukkan disetiap perayaan, yang terutama pada pembukaan Tahun Baru Imlek.

Tradisi Tionghoa yang setua 2000 tahun ini sudah dibawakan kemana saja mereka merantau, dan juga menjadi tarian traditionel di Bali yang disebut Barong itu. Karakter binatang legenda Singa Barong pun ada di Jawa.

 

Dalam cerita bahwa Tarian Barong di Bali adalah dibawakan oleh Putri Cung (Cina Dinasti Song) Kang Cing Wie, permaisuri Raja Shri Aji Jaya Pangus Arkajalancana di Gunung Batur sekitar 1000 tahun lalu.

 

Apakah arti kata Barong tersebut? Dari kata Barong Sai. Bila diperiksa di Wiki, etimologi Barong katanya dari Bahruang yaitu beruang, tentunya tidak cocok bila beruang yang menjadi singa.

 

Permaisuri Sri Mahadewi Sasangkajacihna Kang Cing Wie asal dari Hokkian, beliau dari Cina yang tiba di Bali pada zaman runtuhnya Dinasti Song karena kapal perdagangan yang ditumpangi terdampar disana. Orang-orang Cina itu membawakan bersama mereka kebiasaan kehidupannya kemana saja, dengan semestinya juga tradisi perayaan Imlek mereka yang selain makanan tentunya keramaian festival yang dikepalai dengan "Tari Sembahyang Menggoda Singa", yang dalam dialek pembicaraan orang Hokkian adalah Pai Lang Sai.  Menjadikan kosa kata Ba-rong Sai tersebut.

 

Imlek sudah disebut Sin Cun yaitu Musim Semi Baru, sejak penggantian kalender dari sistem Lunisolar ke sistem Solar pada tahun 1914 di Tiongkok. 

 

Pada Imlek bakal terdengar dan terlihat kata-kata "Gong Hee Fat Choi" dimana-mana, ini merupakan ucapan umum dari pedagang orang Kanton di Hong Kong yang semata-mata mengharapkan banyak untung dan rejeki, ucapan yang sebenarnya menyimpang dari konteks Hari Raya Imlek.

 

Yang layak mengucapkan Selamat Imlek adalah mengharapkan sekeluarga semoga selalu "Sehat walafiat, Sejahtera, dan Selamat" di sepanjang tahun yang mendatang, dengan ucapan Hoakiao orang Tanglang yang asalnya dari Hokkian: Selamat Musim Semi Baru, "Sin Cun Kiong Hie".

Bacaan yang bersangkutan:

https://www.kompasiana.com/anthonytjio/58902fe04f7a616330cafef3/adanya-simbol-binatang-shio-dalam-imlek

https://www.kompasiana.com/anthonytjio/587c1bc1e022bd610c2f8988/asal-mula-pangsit-dan-mengapa-dijadikan-hidangan-imlek

https://www.kompasiana.com/anthonytjio/56cc0358109373bb0b161282/purnama-pertama-imlek-dan-lontong-capgomeh

https://www.kompasiana.com/anthonytjio/552ca99c6ea834eb358b45a4/muslim-tionghoa-memberi-bentuk-sincia-dan-lebaran

Oleh: Anthony Hocktong Tjio. 

Monterey Park, 28 Januari 2019.

 


 


 


 


 


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun