Sekarang kita pada umumnya merayakan Peh-cun itu buat Qu Yuan, pada hal cerita yang menyangkut rakyat setempat melemparkan sesajian cang kedalam kali untuk memperingati seseorang pahlawan selain Qu Yuan itu memang juga ada diantara bangsa Chu, itu sudah ada beberapa ratus tahun sebelum Qu Yuan, di zaman Spring dan Autumn 500 BC Tiongkok, dan yang inilah merupakan asal mulanya perayaan Duan-wu dan makan cang.
Dia sangat dipercayai oleh Raja tua Wu dan dicintai oleh rakyatnya, sampai dia dipesani supaya terus membimbing dan mengawasi raja muda yang menggantikannya. Namun sekarang raja muda Wu itu tidak pedulikan wawasannya bahwa musuh Negeri Chu suatu hari bakal bisa memusnahkannya, malah karena kebanyakan nasehat yang membikin marah si raja muda sehingga dia dihukum mati secara kejam.Â
Sebelum mati dia berpesan supaya mengambil kedua matanya digantungkan diatas dinding benteng ibukota, maka nantinya dia masih bisa menyaksikan kehancuran Negeri Wu yang seperti diramalkan, kemudian mayatnya yang hancur lebur juga dibuang kedalam Sungai Qiantang di Hangzhou.
Wu Zi-xu ini pernah membawakan kebudayaan Chu dari kampung halamannya sewaktu memerintah Negeri Wu di Hangzhou, di antaranya adalah kebiasaan perayaan Hari Setan, sehingga setelah mayatnya dilempar ke Sungai Qiantang, tidak peduli pelarangan Raja Wu-wang Fu-chai, rakyat pada mencari kembali mayatnya dan dikebumikan, setelahnya rakyat setempat beramai-ramai pada setiap Duan-wu menaburkan sesajian bacang ke kali dari atas perahu untuk memperingatinya, hal yang sama ini, beberapa ratus tahun kemudian dilakukan untuk memperingati seorang penyair yang bunuh diri, Qu Yuan.Â
Demikianlah seorang penderita depresi berat yang cuma meninggalkan beberapa ciptaan puisi yang mengharukan, maka setelah dia mati bunuh diri terus dipahlawankan melalui pena para pujangga di kemudian hari, sehingga Qu Yuan yang selalu dikaitkan dengan perayaan Duan-wu, malah bukan pahlawan dan negarawan pecinta negara yang sesungguhnya, Wu Zi-xu, yang sesungguhnya dialah yang tercatat dalam buku sejarah sebagai pemula perayaan Duan-wu dan makan bacang, jauh sebelum adanya Qu Yuan.
Sejak purba kala nasi beras merupakan makanan pokok orang Tionghoa di bagian selatannya Yangtze River, dari semula mereka mengolah nasi secara menggodok tabung bambu berisi beras dengan sumbatan daun-daunan, sampai hari ini nasi bumbung seperti itu masih juga beredar di lingkungan rakyat semula disana, maka cang semula yang dilempar ke kali beberapa ribu tahun lalu sebetulnya berupa nasi bumbung tersebut yang dikemudian harinya menjadi bentuk nasi bungkusan daun.
Makanan bungkusan daun yang serupa cang sudah menyebar ke seluruh Asia maupun sampai di Benua Amerika dalam bentuknya masing-masing, seperti bacang, arem-arem, lemper sampai burrito, bisa jadi penyebarannya juga melalui perantauan manusia yang berasalkan dari Tiongkok Selatan ini.
Di Tiongkok sendiri, ada 2 macam cang:
Kedua, yang berbentuk piramida seperti yang biasanya kita temukan, itu corak Tiongkok Selatan yang muncul di Hokkian, disana terus mendapatkan berbagai modifikasi, sehingga menjadi bentuk terakhir sekarang yang berisi daging, maka disebutnya ma-cang dalam lafal Hokkian dan menjadi bacang di Nusantara, yaitu cang yang berisi daging.
Dari jenis bacang inipun bisa dibedakan 2 macam: yang untuk dimakan sehari-hari yaitu bacang dengan ikatan tali warna putih atau warna apapun kecuali warna merah, yang dengan ikatan pita warna merah itulah yang khusus dibuat untuk memperingati Qu Yuan diwaktu perayaan Duan-wu.