Boleh dikatakan perantau pedagang Tionghoa yang pertama-tama datang di Nusantara adalah muslim peranakan Persia dan Arab dari Hokkian (Fujian), ini seperti yang dikisahkan bahwa sewaktu rombongan Mahmud Shamsudin Cheng Ho tiba di Trowulan 700 tahun lalu, sudah banyak muslim Tionghoa yang bermukim di ibukota Kerajaan Hindu Majapahit di sana.
Persia dan Arab sudah tiba di China (sebelum terbentuknya Tiongkok) melalui jalur daratan maupun jalur lautan sejak jaman pra-Islam, mereka menjadi mualaf Tionghoa setelah empat Sahabi Rasulullah SAW dengan hadis Hasan: Ut’lub il’ma wa lau fis sin (Tempuhlah ilmu walau sejauh ke China) masing-masing ber-da’wah di Guangzhou Kanton, Quanzhou Hokkian dan Yangzhou Jiangsu di China pada 72 Hijriyah (694 Masehi), dan menjadikan Teluk Zaitun di Quanzhou Hokkian pusat Islam di Timur Jauh sejak zaman Tionghoa Tang diabad ke-8 Masehi.
Makam Suci Dua Sahabi di Lingshan, Quanzhou. (gambar dokumen pribadi AH Tjio)
Terutama mereka berkumpul di Teluk Zaitun, Quanzhou, Hokkian, yang disana ada 6 bandar yang terbuka untuk titik tolak pelayaran Jalur Sutra, dengan ribuan kapal Persia setiap harinya berlabuh disana sejak abad 8, menjadikan daerah Quanzhou yang hanya berpenduduk 200ribu dijaman itu satu koloni muslim Persia dan Arab disaat kejayaannya selama abad 11 sampai 13.
Setelah turun temurun lebih dari seribu tahunan di China, paras eyang yang asalnya dari Timur Tengah maupun Asia Tengah sudah kabur akibat kawin silang dengan Tionghoa, tetapi secara tradisi, masih dicantumkan dengan jelas didalam 104 catatan silsilah berbagai marga bahwa eyang mereka datang dari Arab/Persia. Menjadi tak terhitungkan banyaknya Tionghoa Nusantara sekarang yang tidak sadar bahwa sebenarnya mereka itu juga peranakan muslim.
Kaum Persia yang sudah berbaur dengan Tionghoa ribuan tahun sejak pra-Islam, mereka moderat, toleran dan bisa adaptasi dengan adat Tionghoa, sehingga mereka juga merayakan Eid secara kebiasaan Imlik yang mengharuskan mudik dan angpao THR, itu yang merupakan Lebaran sekarang.
Ironis, kejayaan muslim Persia dan Arab di Timur Jauh itu hancur lebur ditangan mereka sendiri, ini gara-gara pertarungan dengan pembantaian diantara sesaudara muslim, antara golongan sekta Sunni yang baru datang dari Arab melalui Champa, yang menunggangi dukungan Mongol Tartar yang baru berkuasa disana dan membantunya untuk menyerang Majapahit di Ujung Galuh (Surabaya), untuk merebut superioritas dan memonopoli perekonomian yang sudah selama ratusan tahun dibina oleh golongan sekta Shiite (Shia) asal Persia yang asalnya datang dari Jalur Sutra Darat via Gujarat dan Yunnan disana.
Setelah petarungan selama 10 tahun dan memakan korban sekitar 25ribu orang, akhirnya mereka semua dihabiskan oleh pasukan Mongol Tartar, dan begitulah jatuhnya koloni muslim di Teluk Zaitun dan pudarnya kejayaan perniagaan Jalur Sutra Maritim di abad 14 .
Banyak yang berhasil melarikan diri ke Indrapura ibukota Kerajaan Champa, dekat Da Nang sekarang di tengah Vietnam, tetapi bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi Tionghoa, untuk menghindari penggusuran lebih lanjut oleh Mongol, bisanya hanya menyembunyikan diri diperdusunan disekitar Teluk Zaitun, untuk tetap bisa tinggal di China.
Keamanan mereka muslim Tionghoa yang tetap tinggal di Teluk Zaitun terjamin karena ada keputusan kaisaryah Tionghoa Ming, yang mengharuskan para Semu, yaitu orang asing yang menetap sebagai warga Tionghoa Ming, untuk menggangti namanya yang sesuai dengan aliran Tionghoa, dan diharuskan silang menikah dengan orang Tionghoa di tahun 1370, yaitu 3 tahun setelah terdirinya Dinasti Ming, itu supaya mereka keturunan Semu tidak lagi menjadi sasaran penggusuran disana. Dari situlah mengapa Mahmud Shamsudin menjadi Cheng Ho, para Sunan Wali Songo bernama Tionghoa, dan Gus Dur berleluhur marga Tan.
Akibatnya juga terjadi sejumlah 104 marga Muslim Tionghoa keturunan Persia / Arab yang terdaftar di Tiongkok, diantaranya, sedikitnya ada 14 marga Muslim Tionghoa yang bermukim di Hokkian sampai sekarang.
Yang nama asalnya Muhammed/Mahmud/Achmad/Mansur menjadi Ma/Bhe maka dikatakan 9 dari 10 Muslim Tionghoa bermarga Ma yaitu Bhe; Shiraz/Shihab/Shimon menjadi Tjiook; Khan menjadi Hang; Nasir menjadi Na, Husein menjadi Ho; Hasan menjadi Ha; Soeleman menjadi Soe/Su; Mubarak menjadi Mok; Said menjadi Sa; Aslan menjadi Lan; Levi menjadi Lie; keturunan Soegeng Abu-baker menjadi Marga Po; keturunan al-Quds Daggaq Nam menjadi Kwee/Kwik; dan keturunan Sayyid Ejjel Nasr ed-Din menjadi Teng/Ting/Ding.
Dianatara mereka keturunan Muslim Tionghoa yang patut dikemukakan disini adalah Marga Kwee, Marga Ma, dan Marga Teng / Ting, karena ada diantara warganya yang pada jaman ini sudah meninggalkan tanda jejak kehebatan mereka didunia.
Orang terkaya di Taiwan Terry Guo dan yang paling kaya di Malaysia Robert Kuok adalah keturunan al-Quds/Kwee; Orang terkaya di Tiongkok sekarang adalah Jack Ma dari Alibaba; Sedangkan orang yang terkaya di Hokkian, yang menjadikan dusun leluhurnya di bekas pemukiman Muslim Tionghoa dijaman Jalur Sutra di Distrik Jinjiang, Quanzhou, mendapatkan kehormatan tinggi sebagai perdesaan ke-2 yang terkaya di Tiongkok karena perindustrian sepatu disana, adalah marga Teng.
Selanjutnya kita bicarakan Marga Teng atau Ting dengan harfiah Tionghoa 丁 tersebut, yang letak dusun leluhurnya tidak jauh di selatannya dusun leluhur Gus Dur, di Distrik Jinjiang yang sekarang merupakan “ibukota” sepatu dunia, itu adalah usaha dari keturunannya Sayyid Ejjel Nasr-ed-Din di dusun Chendai ( tan-tee 陈埭 ).
Pertama-tama, kita ceritakan asal usulnya Marga Teng sebagai berikut:
Kita semua sudah kenal siapa itu Laksamana Armada Ming, Mahmud Shamsudin Cheng Ho, kebetulan marga Teng tersebut dan Cheng Ho mempunyai eyang yang sama yaitu Sayyid Ajjel Shams ed-Din Omar al-Bukhari.
Pangeran Yunnan Utara, Sayyid Ajjel Shams ed-Din Omar al-Bukhari, adalah gubernur pertama di Kunming, Yunnan sewaktu Mongol Tartar Kublai Khan baru saja mencakup bekas Kerajaan Karajang di Dali itu pada abad 13 Masehi.
Dengan catatan silsilah yang tegas, warga Teng tersebut maupun Cheng Ho juga, adalah keturunan langsung Sayyidina Husein, putra Sayyida Fatimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib, dimana Sayyidil Shamsudin Omar sendiri adalah keturunan ke-26 dari Rasulullah SAW.
Persia yang ini meresap kebudayaan Tionghoa yang kental meski dididik dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan Islam di China, menjadikan dirinya berjiwa toleransi dan pluralisme dalam tindakkan memerintah didaerahnya.
Pada usia lanjutnya, Sayyidil Shamsudin Omar ditunjuk Kublai Khan untuk memerintah dan membangun kembali kota Xi’an yang sudah dibumi ratakan oleh Mongol sendiri dalam peperangan, disanalah beliau membangun kembali Masjid Gang Kajian Besar, yang dikemudian hari, dari sana Cheng Ho mengundang ustadz Hasan mengikutinya dalam pelayaran ke-5 Armada Ming, dan dia memperkenalkan bedug ke Nusantara di tahun 1414.
Lima tahun sebelum meninggal dunia, Sayyidil Shamsudin Omar diberi gelar Pangeran Yunnan Utara untuk memerintah bekas Kerajaan Karajang di Kunming sampai wafatnya ditahun 1279.
Jasanya besar sewaktu beliau menjabat gubernur di Yunnan, diantaranya, beliau memperkenalkan kebudayaan Tionghoa disana sambil berdakwah Islam kepada rakyatnya yang masih terbelakang dan biadab. Beliau memperkenalkan peti mati untuk menggantikan adat kremasi, membangun klenteng-klenteng Budhisme, Taoisme dan Konghucu, membangun juga gereja Kristen disamping masjid-masjid. Karena diwaktu itu, beliau memerintahnya dengan misi membangun peradaban dan memperkembangkan kebudayaan melalui ajaran Konghucu dan Islam yang bahu membahu disana, menjadikan Yunnan Tionghoa mualaf Islam.
Boleh dikatakan Sayyidil Shamsudin Omar adalah Sunan atau Wali satu-satunya di China, beliau berhasil me-mualaf-kan sekitar satu juta rakyatnya sebelum akhir hayatnya, yang sekarang sudah menyebar sebagai Muslim Tionghoa kemana saja.
Jabatan gubernur Yunnan tersebut dilanjutkan oleh Sayyid Ejjel Nasr ed-Din, yaitu anak sulung dari Sayyidil Shamsudin Omar, dan seharusnya jabatan itu diteruskan turun temurun. Setelah Nasr ed-Din yang mempunyai 12 anak wafat ditahun 1292, anak sulung Sayyid Ejjel Bayan meneruskan jabatan gubernur Yunnan, dialah kakek Mahmud Shamsudin Cheng Ho. Sedangkan anak lainnya, Omar, Jafar, Hussein, Saadi juga berjabatan tinggi dalam pemerintahan kaisaryah Mongol.
Salah satu anak Nasr ed-Din yang bernama Sayyid Ejjel Abubeker Bayan Fenchan diangkat gubernur di Zaitun, sekarang Quanzhou Hokkian, anaknya yang bernama Sayyid Ejjel Omar yang semula berjabatan di Luoyang Henan kemudian diangkat menjadi shahbandar di Teluk Zaitun, beliau mengambil nama eyang Sayyid Ejjel Nasr-ed-Din yang di Yunnan dan mengganti nama marga sesuai aliran Tionghoa menjadi Ding Jin 丁瑾, dan menetap dipemukiman Muslim di dusun Chendai, kabupaten Jinjiang, kota Quanzhou. Dialah eyang Marga Teng/Ting Hokkian, dan di Chendai sana juga dibangun Rumah Abu Marga Ding olehnya diakhir abad 14.
Hampir semua penduduk di Chendai yang sebesar 22ribu orang sekarang adalah muslim dan kebanyakan juga bermarga Ding. Semula penghidupan mereka susah, nasib mereka segera berupa setelah Tiongkok membuka Kota Xiamen menjadi daerah istimewa perkembangan ekonomi di tahun 1979. Xiamen tidak jauh dari Quanzhou dan lebih dekat lagi dengan Chendai.
Setiap warga didesa itu, dari suku Han dan suku Muslim bahu membahu bersama memcurahkan pikiran mereka untuk menerobos keluar dari kemiskinan. Dari semangat berjuang, kecerdasan berdagang dan jiwa tak mudah putus asa yang tersimpan dalam DNA leluhur Persia mereka, berlarian mereka mencari jalan, keluar belajar dan mengumpulkan modal. Tidak kurang juga pada saat itu mendapatkan tunjangan dari diaspora sanak famili seketurunan yang sudah lama keluar negeri, kembali untuk melawat dan ikut membangun tanah leluhurnya disana. Mereka mulailah menerima pesanan membikin sepatu.
Dipelopori oleh Perusahaan Sepatu Hong Xing yang menerima kontrakan membikin sepatu olahraga buat merk: Adidas, Reebok, Kappa, Puma, Jordan dan Air Jordan, Nike, dan lain-lain maupun membuat merk mereka sendiri 361 dan Erke. Di tahun 2000, sudah membuat satu pasang sepatu olahraga dari 5 pasang didunia dengan penghasilan ekspor sebanyak 3 milyar dollar Amerika setahunnya.
Sekarang di perkampungan Chendai yang luasnya hanya separuh wilayah Sidoarjo sudah menjadi Delta Emas, yang merupakan perkampungan nomor 2 yang terkaya diseluruh Tiongkok. Setiap keluarga disana bertanding produksi bahan sepatu mutu yang tinggi dengan harga yang merebut pasaran. Berdirilah disana 935 industri rumah tangga yang menyediakan bahan dasar untuk 250 pabrik sepatu yang memproduksi sedikitnya 15 merk Tiongkok mereka sendiri. Tidak ada pengangguran dan tidak ada yang sempat menganggur disana. Penghasilan penduduk yang dulunya hanya kurang dari 10 dollar Amerika sebulan di tahun 1978, sekarang rata-rata 1,500 dollar sebulan. Menjadikan Chendai, Jinjiang, ibukota Sepatu.
Dengan memeriksakan DNA dari air ludah, Marga Teng bisa menetapkan diri mereka sebagai keturunan Sayyid Ajjel Shams ed-Din Omar al-Bukhari, bila ada haplogroup L1a-M76 dalam chromosome pria (Y), mereka yang merupakan asal bangsa dari daerah Persia bagian selatan di Iran sekarang. Dengan demikian, para Said Teng yang di Indonesia pantas juga ber-predikat Habib yang tegas silsilahnya.
Oleh: Anthony Hocktong Tjio.
Monterey Park, CA. Idul Fitri 1438H, 24 Juni 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H