Pada suatu hari dia tergugah oleh kedatangan mahagurunya yang membawakan kabar bahwa nenek telah meninggal dunia, dan Zhengde harus segera pulang Forbidden City untuk berkabung. Dia menjanjikan Lie Hong akan segera kembali selesainya masa berkabung yang selama 3 tahun, dan mewujutkan gurauan mereka yang dulu pernah menjanjikannya permaisuri.
Sementara itu bayi pun sudah lahir dan juga mulai besar, bertahun-tahun Lie Hong menunggunya dalam kesedihan rindu, tanpa ada kabar suami dari Istana yang pernah menjanjikan akan kembali menjemputnya itu. Lie Hong juga sering bersakitan.
Hari yang ditunggu-tunggu Lie Hong itu datang juga. Pada suatu hari di tahun 1518, dengan protokol kebesaran kaisaryah, Zhengde muncul di depan warung shao-mai yang sekarang sudah menjadi restoran yang dinamakan “Selalu Jaya” Jiu Sheng Lou 久盛楼 itu, menjemput Lie Hong untuk dibawa kembali ke Beijing. Hanya saja ini kali bersamanya juga ada wanita cantik Datong lain yang baru diperoleh Zhengde di dalam rombongan itu.
Perjalanan dari Datong ke Beijing itu sejarak Semarang ke Surabaya yang di zaman sekarang bisa dicapai dengan mengendarai mobil selama 4-5 jam, tetapi di zamannya Zhengde yang menurut keketatan protokol kerajaan, rombongan yang dikawal oleh ratusan bahkan ribuan serdadu dan pelayan istana bersama persediaan ransum perjalanan mereka, merupakan rombongan besar yang berbaris panjang berjalan kaki dan kereta dokar, berhenti jalan sebelum adanya jalan raya Pantura yang lurus dan rata diaspal, yang harus melintasi jalur kecil perdesaan dan naik turun bukit gunung, itu memerlukan perjalanan mingguan yang mengesalkan untuk mereka mencapai Istana di Beijing.
Sekarang Lie Hong yang sudah lemah badan itu kena sakit demam di perjalanan (masih 50 Km di baratnya Beijing). Rombongan pun sementara terhambat. Menyesalkan dia tidak tertolong dan meninggal dunia sewaktu mencapai Pos Tembok Besar Juyong Guan 居庸关, dia dikebumikan di sana juga. Kuburannya yang terbuat dari pasir putih itu dinamakan “Makam Cendrawasih Putih” 白凤冢 Bai Feng Zhong, sudah menjadi salah satu situs turis di sana sampai hari ini.
Sepanjang masa orang menilai Zhengde seorang kaisar yang gila-gilaan. Dia sangat muda, tidak suka belajar, suka adu jangkrik, dan gila wanita. Tetapi secara keadilan bahwa dia sesungguhnya seorang yang cerdas dan penuh kreasi. Dari sayang ayah dia mendapatkan didikan baik Kaisar Hongzhi sendiri. Hanya saja dia terpaksa harus naik tahta sewaktu masih berusia 15 tahun, karena ayah Kaisar Ming yang bijaksana itu mendadak meninggal dunia karena perdarahan.
Dalam usia yang masih muda itu, Zhengde fasih dalam berbagai bahasa. Di antaranya bahasa Tartar, Arab/Urdu, maupun Portugis yang memudahkan dalam diplomatik perniagaan dengan Timur Tengah dan Eropa pada zamannya. Pandai dalam urusan militer dan markasnya disebut “Bao Fang” 豹房yang artinya Kamar Macan Tutul. Di sana merupakan kebun binatang yang juga terkumpul ratusan wanita cantik dari buruannya, merupakan pusat pemerintahan Zhengde di luar Istana. Yang tidak banyak dimengerti orang bahwa makna “Bao Fang” Zhengde itu sesungguhnya dari bahasa Urdu “Ba-fen” yang artinya pusat pengajian ilmu, yang sekarang sudah menjadi kampus Universitas Beijing.
Di tahun 1519 sewaktu berplesiran di atas kali, perahunya terguling sehingga Zhengde hampir tenggelam, setelah diselamatkan dan dipulangkan ke Beijing. Dia kena masuk angin dan meninggal dunia di usia muda, yakni 31 tahun. Beristri Permaisuri Xia yang sama sekali tidak disentuhnya sehingga tidak dianugerahi seorang anak pun.
Pada waktu itu, Lie Hong juga sudah meninggal dunia karena sesuatu penyakit. Sedangkan putra kelahiran Lie Hong tadi juga tidak ada kabarnya. Ada yang bilang, dialah yang kemudian diangkat menjadi Kaisar Jiajing yang meneruskan tahta Dinasti Ming ke-12, namun dalam catatan Sejarah Ming, Kaisar Jiajing adalah sepupuhnya sendiri. Sekarang sudah tidak bisa diusut dimana kebenarannya, biarlah tetap menjadi misteri sejarah.
Melalui permainan pena pujangga, cerita percintaan antara Zhengde dengan wanita Lie Hong dan Liu Liang Nu itu dicampurbaurkan menjadi romantis sastra “Naga Plesir Menggoda Cendrawasih” yang terus menyebar sampai sekarang.