“Di Simongan sini, tersemayam Yang Mulia Sampo Ong (Keng Hong) yang telah berpulang ke rahmatullah diantara keindahan alam.
Ada satu gerbang alamiah yang berupa gua dikaki bukit yang subur pertumbuhan, disanalah Dewa Sampo pernah menampakkan roh sucinya, maka dikeramatkan dengan nama Gua Sampo (Sam Po Tong).
Kita Tanglang (Tionghoa asal dari Hokkian) yang berhijrah dibumi terpencil ini pada berdoa di Gua tersebut untuk memohon keselamatan dan perlindungan, namun telah merupakan pengertian umum kalau berdagang diseberang lautan sini, semua orang harus berdaya upaya sendiri-sendiri untuk kecukupan rejeki dan menjaga keamanan masing-masing.
Para umat lelaki maupun wanita dengan menggelarkan pengabdian yang tulus mereka berziarah ke Gua pada setiap fase bulan baru dan purnama. Desakan bahu membahu dan riuh bising manusia, dengan hiruk pikuk lalu lintas kereta dan jeritan kuda disana, menjadikan tempat ini keramat.
Semulanya wilayah ini adalah tanah warisan milik keturunan marga Song (Zon) yang memungut uang masuk 500 gulden setiap tahunnya. Biaya yang selalu disediakan oleh (Perhimpunan Tionghoa) Kong Goan dari sumbangan para pengusaha setempat. Meskipun itu bukan jumlah yang besar, tetapi kurang hormat terhadap Sang Dewa (Ong Keng Hong). Perbuatan tidak bijaksana yang telah dilaksanakan turun temurun oleh keluarga yang berkepercayaan Kristen (Yahudi) tersebut.
Mempertimbangan semua hal yang sangat mengkhawatirkan masa depannya, maka pada kesempatan perlelangan, Alhamdulillah, terkabul tujuan kita untuk memperolehnya dipertengahan Tahun Kelinci (1879).
Segera membebaskan segala pungutan uang masuk, membongkar jembatan, memugar pendapa Gua, membersihkan selokan dan saluran irigasi. Sehingga diketeduhan langit-langit pendapa, kaum umat bisa bersembahyang seikhlasnya. Berserilah suasana damai dan tenteram yang tiada taranya dengan semerbak harum dupa yang tidak mereda disana.
Menghindari ketidak-sadaran orang dikemudian hari, maka harus dituturkan sebab musabab memperoleh wilayah ini dan pelestariannya diatas batu prasasti ini. Dengan sukur mendapatkan dukungan dari para sejawat yang mengerti maksud saya, dan atas berkah Allah subhanahu wa ta’ala.
Tahun Kelinci, tahun ke-lima era Qing Guangxu.
Tahun seribu delapan ratus tujuh puluh sembilan era Belanda.
Ditegakkan dengan hormat oleh Pemilik Simongan, Qei Tjie Sien.”