Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Naik Kereta Cepat yang Super Lambat di Tiongkok

4 Oktober 2016   05:53 Diperbarui: 5 Oktober 2016   01:43 3036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini semestinya sangat menyenangkan, sebab bisa menemukan peninggalan Negeri Tjio, tanah leluhur marga kami di Henan yang sudah lama dicari, dan sekarang waktunya kembali ke Guangzhou. Gara-gara buntut topan yang baru lewat disini mencurahkan hujan lebat yang menghambat perjalanan, taxi yang dinaiki juga harus menurunkan kecepatannya, sampai hampir merambat seperti dalam perjalanan dari Surabaya ke Malang dihari cerah. Sehingga, sewaktu sampai di Stasiun Xinyang Henan, sudah ditinggal bullet train yang untuk pulang Guangzhou itu satu setengah jam.

“Ni-hao. May see (Tidak apa-apa).” Begitu kata ibu diloket karcis Station Baru Xinyang, setelah mendengar suara kepanikan saya. “Dandan (Tunggu). Coba saya carikan kereta lain untuk malam ini.”

Sambil menunggu dia mencari dilayar komputernya, saya sendiri mulai merasa khawatir bila harus menginap disini malam ini, karena besok dari Guangzhou masih mau terbang ke Johor Bahru.

Sungguh terjadi. “Ayah (Aduh), Tuan, memang ada 14 kereta super cepat yang melalui sini ke Guangzhou, tetapi rupanya sudah tidak ada lagi untuk malam ini, harus tunggu sampai besok pagi.”

Dia terus mengawasi layarnya, dan melanjutkan: “ Kereta super cepat sudah tidak ada malam ini” dia mengulang, “tetapi supaya Tuan tidak kehilangan uang karcis kereta yang ketinggalan itu, saya anjurkan menumpang salah satu kereta cepat yang masih ada keberangkatan ke Guangzhou malam ini.” Memang setiap hari ada 46 kereta cepat diantaranya 14 CHR yang melalui sini ke Guangzhou. Penukaran karcis hanya berlaku pada hari yang sama. Dengan tidak kesabaran, cepat kuterima sarannya.

Dia teruskan setelah mendapat persetujuan saya, “Ada satu keberangkatan kereta cepat sejam lagi pada pukul 19:35, tetapi bukan dari sini, kereta itu ada distasiun lama diseberang Kota.” Saya OK saja, asal ada keberangkatan.

“Sekarang saya carikan karcisnya, kalau masih ada yang sisa.”  Ini apaan lagi, pikirku?

“Dalam kereta cepat yang masih ada, hanya tinggal satu karcis duduk dikelas dua (kelas kambing).”

“Payah, karena kami perlu dua karcis, saya dan adik saya berangkat bersama. Bagaimana?” Saya lebih panik.

Dia tenang-tenang saja, keadaan begini tentunya sudah terlalu sering buat dia sehari-hari. “Pujian (Dengan menyesal) Tuan, hanya tersisa satu karcis duduk, tetapi bisa beli karcis yang kedua, hanya saja tidak ada duduknya.” Ach so, ada standing room?

Sekejab itu saya merasa ada harapan besar, bukankah dulunya juga mondar mandir secara begitu sewaktu masih sekolah, berdiri dari Surabaya ke Malang puluhan tahun lalu.

“Boleh, Bu. Silahkan jual kepada kami.”Asal cepatlah dijualkan karcisnya maka kami bisa keburu keseberang Kota, berapa jauh sih yang dikatakan stasiun lama itu dari sini? Tetapi saya tetap diam saja menunggu karcisnya.

“OK, inilah dua karcis, hanya satu yang duduk. Dari karcis yang dibatalkan itu, masih ada banyak kembalinya, tetapi harus dipotong 25% untuk ongkos pembatalannya.” Ternyata kereta cepat ini sangat murah sekali, hanya sepertiga harga dari yang super cepat. Rekenannya kurang lebih 200ribu Rupiah seorang.

“Inilah karcisnya kereta cepat Z35 dan uang kembalinya, harap diperiksa baik, Tuan. Keberangkatan dari stasiun lama Xinyang pada pukul 19:35, masih ada 40 menit, bisa naik taxi kesana seharga 10 Yen (murah amat, sedollar setali). Ketibaannya di Guangzhou pada pukul 9:45 besok pagi. Selamat jalan.”

Sekarang baru terasa cia-lat, celaka. Ini yang dikatakan kereta cepat super lambat Tiongkok itu. Bakal 14 jam lebih didalam kereta “cepat” ini dibandingkan cuma 6 jam dengan CHR super cepat untuk jarak 1,200Km itu. Lagi salah satu kita harus berdiri. Tidak perduli dah, cepat-cepat jalan keluar mencari taxi ke stasiun lama yang katanya diseberang Kota.

Dapat taxi yang mahir menerobos kemacetan jalan keseberang Kota. Rupa-rupanya sudah sampai karena terlihat ada gedung stasiun jaman komunis yang pada umumnya berukuran raksasa, dan didepannya ada lapangan yang seluas Tian-an-men Square, juga kelihatan ada lautan kepala rambut hitam yang mengobak seperti kena angin topan dilapangan itu, mondar mandir didepan stasiun. Saya dan adik diminta turun ditikungan, masih agak jauh dari pintu masuknya. Kata sopir taxi, sebaiknya turun disini dan cepat-cepat menyeberang, mengikuti arus manusia itu bisa lebih cepat sampai distasiun, karena untuk kendaraan masuk kesana, harus memutar jauh, itu memakan waktu dan biaya lebih banyak. Masuk akal dan sangat berterima kasih atas kejujuran servis-nya.

Hari cepat gelap karena seharian terus mendung di Xinyang, Henan. Setelah memasuki lapangan stasiun, masih harus jalan jauh melewati barisan panjang untuk masuk ke gedung stasiun.

Ini stasiun tua, sedikit-dikitnya 3 kali lebih besar dari Stasiun Semut, terlihat didalam gedung ini bertingkat-tingkat. Lain dari pada stasiun kereta super cepat yang serba modern berupa bandara. Bangunan ini semestinya dari peninggalan jaman pengaruh Russia, corak kolonial, kukuh dengan dinding-dinding tebal, lantai marmer, meskipun begitu padat sesak dengan orang dan bawaannya, tidak terlalu berisik dan tidak ada sampah yang terlantar dilantai. Semua orang berduduk dibangku-bangku panjang ataupun harus berdiri, makan supermie mereka sambil tenang menunggu.

Disana tidak dipasang layar monitor yang menunjukkan kemana kita harus menunggu keretanya, hanya ada satu papan tanda yang besar tergantung diatas ujung tangga ketingkat dua yang jelas terlihat sejak memasuki dari pintu depan, cukup besar tulisannya yang bisa jelas dibaca meskipun buat orang yang kehilangan kacamatanya. Hanya saja bagi kita yang bukan awam, tanda itu membingungkan. Bukan karena tidak mengerti bahasanya, tetapi dikarenakan penulisan tanda petunjuk itu, hanya mencantumkan puluhan nomor-nomor kereta yang disesakkan diatas satu papan yang seukuran meja makan. Ternyata ruang tunggu untuk kereta kita ada ditingkat tiga yang disebelah kiri.

Ruang tunggu dilantai atas itu tidak besar, disana sudah padat dengan ratusan orang yang menunggu, semua bangku sudah penuh, kita berdiri saja, tunggu dengan sabar. Tahu-tahu diumumkan, kereta kita bakal terlambat kurang lebih sejam. Tidak ada yang mengeluh, sepertinya ini sangat biasa. Lapar atau kesal, tetap sabar saja.

Kereta-api merupakan nadi pengankutan rakyat dan barang di Tiongkok, sampai sekarang masih yang diutamakan dalam perbaikan dan perkembangannya. Sejak tahun kedua terbetuknya Republik Rakyat Tionghoa, dari tahun 1950 sampai sekarang, sudah ada 6 kali perbaikan secara total, dari penggantian ril dan kendaraannya sampai kecepatan lajunya, dari kereta cepat menjadi super cepat.

Kemajuan pesat dalam perubahannya mulai ditahun 1997 sampai 2000, sejak itu kecepatan kereta dibagi merurut tanda huruf didepan nomor keberangkatan. Kereta cepat yang paling lambat diberi tanda huruf Z, kereta lebih cepat dengan tanda huruf K. Setelah tahun 2000 mulai ada kereta super cepat dengan tanda huruf D, dan yang paling cepat lagi adalah huruf G.

Semua kereta dengan perbedaan tingkat kecepatan itu masih berjalan sampai sekarang, jadi dari Xinyang ke Guangzhou ada pilihan yang cepat atau yang super cepat. Masing-masing punya jalur ril dan stasiun keretanya sensiri-sendiri.

Contoh karcis kereta cepat kelas buntut Z. (gambar dari Wikiwand)
Contoh karcis kereta cepat kelas buntut Z. (gambar dari Wikiwand)
Kereta yang semestinya kita tumpangi itu adalah super cepat kereta D, tetapi sekarang yang kita tunggu itu adalah yang paling lambat kereta huruf Z yang entah artinya zoom atau buntut. Tahu sendiri, dari kelinci berubah ke kura-kura. Karena itu harga karcisnya juga yang paling murah dan yang paling dicari oleh awam.

Memindari penumpang disekitar kita, mereka adalah rakyat dari tingkatan buruh dan petani, banyak yang membawa keluarga, maupun ada yang rupanya sedang sakit. Semua diam menunggu, mereka sudah biasa, siap melengkapi diri dengan sangon supermie dan telur rebus, mereka diam-diam makan malam sambil menunggu. Terasa prihatin untuk melihatnya.

Ruang tunggu kita yang ditingkat 3 itu jauh dari letak peron yang dilantai bawah dibelakang gedung, sama sekali tidak bisa mengetahui pergerakan kedatangan dan keberangkatan kereta dari sini. Achirnya ada pengumuman dengan suara keras yang ber-echo bunyinya, dengan Mandarin Beijing yang nyaring seperti siaran radio komunis jaman dulu, sukar bisa menangkap apa yang diumumkannya, tetapi serentak semua orang berdiri dan bersiap-siap untuk menyerbu, mereka mengerti apa yang aku tidak, semestinya kereta kita sudah tiba dan pintu siap dibuka.

Beramai-ramai pada berbaris, pintu masuknya hanya seluas untuk dilewati seorang yang dijaga kondaktur karcis, tetapi sedikitnya ada 3 barisan dari segala jurusan didepannya. Bingung harus masuk kebarisan yang mana, pokoknya yang ditengah saja pasti bisa masuk. Padahal, perlu apakah keburu-buru begitu, kita juga punya karcis, dan juga masih punya satu kursi duduk tersedia untuk kita berdua.

Seperti pengungsi kita dibawa ditengah-tengah mereka yang tergesah-gesah, tidak usah mencari jalan sendiri, ikut saja sampai didepan kereta kita.

Ini kereta tua, masih pakai 2 lokomotif diesel yang sangat besar untuk menarik rentetan 16 kereta penumpang. Kita cari saja nomor gerbong menurut yang ditunjuk dalam karcis. Meskipun tadinya orang pada berdesakan masuk, tetapi ternyata mereka masih mau berbaris satu persatu naik kekeretanya.

Sewaktu menemukan kita punya kursi, digerbong itu sudah penuh dengan penumpang yang harus berdiri, melewati mereka saja juga sudah menyusahkan, dimana tempat untuk saya nanti berdiri?

Pengaturan kursi berhadapan, 3 penumpang sebangku diseksi kita dan 2 sebangku diseksi seberang trottoir. Kursi kita disebelah jendela, dan ada 2 orang muda yang duduk bersama dibangku kita, satu lelaki dan satu perempuan, ternyata mereka tidak bersamaan, serentak mereka mengerti kalau kita berdua hanya punya satu duduk, maka mereka bergeser kejurusan jendela, memberikan kursi yang dipinggir untuk kita, maka berempatan kita bisa duduk bersama sebangku. Kebaikan hati orang muda disana.

Gerbong kereta meskipun tua, cat dinding warna krem-nya juga sudah menguning, tetapi bersih. Air-con kencang, tanpa merekok, hanya saja sekarang didalam gerbong sangat berisik, karena semua sepertinya mendapatkan teman baru, lagi pula sepertinya sudah menjadi komrad yang siap berjuang memerangi perjalanan jauh dimalam yang panjang bersama. Tidak menyana suasananya cukup ramai juga.

Sekali lagi, ada pemandangan yang mengulang, banyak yang sedang makan supermie. Disetiap jendela ada meja lipat kecil, diatas meja ada baskom baja kecil untuk sampah, sudah hampir penuh dengan mangkok kertas supermie dan botol plastic kosong. Sekarang mulai terasa lapar, untung ada roti yang tersisa dari tadi siang yang cukup untuk keperluan malam ini. Setiap gerbong ada persediaan air minum panas.

Tidak lama setelah kereta bertolak, terasa juga sangat laju, terlihat kecepatan yang ditayangkan LED merah diatas depan mata sudah menyatakan berkecepatan 150 Km/jam, ini sungguh cepat, dulu bullet train Shinkansen Jepang semulanya juga hanya berkecepatan ini. Hanya saja sekarang kita bandingkan dengan kereta super cepat CHR yang 2 kali lipat lebih cepat, seperti yang akan dibangun untuk jurusan Jakarta-Bandung, maka kereta yang kita tumpangi ini bakal 2 kali lebih lama mencapai tujuannya. Sabar saja pikir saya lagi.

Pada saat ini, sekonyong-konyong ada penerangan seorang wanita pegawai kereta yang berseragam warna biru muda, dengan suara nyaring yang berwibawa meminta perhatian semua orang, dan supaya semua orang didalam gerbong ini diam dan mendengarkan pengumumannya dengan saksama, segera dalam kereta kita menjadi sh…, memangnya orang disini biasa menuruti perintah.

Dia mulai memperkenalkan diri dan menceritakan tugasnya. Ternyata dia adalah pegawai kereta yang bertugas penjualan barang promosi resmi, ini kali yang dipromosikan adalah obat teh panjang umur, produk dari perdesaan panjang umur Bama di propensi Guangxi. Memang pernah mendengarkan ceritanya orang dusun Bama banyak yang berusia melebihi seabad dan tetap sehat menggarab ladangnya, tetapi baru pertama kali mendengar ada teh yang bisa bikin mereka panjang umur, murah lagi kalau mau berpanjang umur, dijual hanya 30 Yen atau sekitar 5 dollar untuk minuman sebulan. Kelihatannya didalam gerbong kita tidak ada yang mau membelinya.

Ternyata kemana saja kita berjalan di Tiongkok tidak terlepas dari perdagangan barang promosi dan sponsor, seperti bila kita mengikuti China tour yang murah, diharuskan mampir di tiga toko sponsor setiap harinya. Memang tidak diharuskan maupun dipaksa untuk membeli sesuatupun, itu hanya caranya orang Tiongkok memajukan pemasaran produk mereka supaya bisa dikenal dimana-mana, dan ini mendapat berkat dari pemerintah pusatnya.

Nyatanya pada waktu pagi hari sebelum tiba di Guangzhou, saya juga membeli produk sikat gigi hitam terbuat dari arang bamboo yang dipromosikan, yang katanya lebih mampu membersihkan kuman-kuman yang tertinggal diatas gigi, sangat murah, 18,000 Rupiah 4 biji. Yang ini lebih masuk akal daripada teh untuk memperpanjang umur tadi.

Orang muda disebelah itu memang berpendidikan tinggi terlihat dari pembicaraannya, walaupun kami selama ini diam saja, dia bisa melihat kita bukan orang Tiongkok, “Kalian orang luar”, caranya menanyakan asal kami dari mana.

Setelah orang sekitar kita mendengar kami asal dari mana, seorang penumpang yang diseberang depan itu langsung menyaut dengan keras, “Orang Amerika, orang memuakan.” Saya agak tercengang mendengarkannya, rupanya kita berada digerbong yang salah, untungnya masih di Tiongkok, tidak ada ISIS disini.

“Amerika kita gayang di Joseon (Korea Utara)” diteruskan amarahnya. Orang itu seperti seorang pedagang, disekitar 40an, pakai hem putih lengan panjang dan celana hitam, tidak kelihatan dia banyak berpendidikan tetapi hanya dialah yang terus berbicara panjang lebar disepanjang jalan dalam gerbong yang padat ini, pasti seorang anggauta Partai Komunis.

Sewaktu Perang Korea dia pun belum terlahir. Saya cuma bisa senyum saja, suatu prinsip yang selalu saya pegang, selama pepergian jauh ditanah orang, jangan banyak bicara didepan umum, orang Amerika memang tidak banyak disukai dimana-mana, walaupun di Prancis.

Perang Korea itu sebetulnya suatu plot Chairman Mao untuk menggembleng Mao An-ying anak sulungnya, supaya kelak mengambil alih kedudukan chairman Tiongkok Baru setelah dia meninggal, maunya kedudukan pimpinan negara itu diturun menurunkan seperti khalifah. Yang sekarang sudah ditiru di Korea Utara oleh keluarga Kim Il Sung. Maka, Mao mengirimkan anaknya kesana, tetapi dia tewas dalam peperangan itu, menjadikan benci Amerika dari Mao menyebar kemana-mana di Tiongkok.

Sekejab itu meletuslah perang mulut yang membara antara orang muda yang duduk disebelah dengan orang yang bilang Amerika memuakkan itu. Prinsipnya pembelaan orang muda untuk kita, bahwa jaman sekarang sudah banyak membuka pandangan mereka untuk menjauhi ideologi basi komunisme. Dia menasehatkan sudah bukan jamannya untuk saling membenci dan bertentangan politik dalam kehidupan sekarang, biar kita jauhkan pikiran kebencian pada imperialis Amerika maupun fasis Jepang, biar pertarungan politik dengan dunia luar itu diserahkan kepada orang tua pimpinan yang di Beijing, tetapi kita rakyat adalah sesama pecinta damai dan pengharap kemakmuran bersama, harus maju kedepan dan jauhkan realitas kepahitan yang sudah lampau.

Saya perhatikan semua penumpang juga terpaku dalam pertarungan ideologi baru dengan yang kolot tersebut, memandang pergerakan mata dan kepala mereka yang seperti dalam menyaksikan pertandingan tenis, berserentak mengikuti pergerekan bola kekanan dan kekiri sewaktu mereka berdebatan. Berachir dengan kesirapan orang yang diseberang saya itu. Beginilah saya merasa Tiongkok sekarang perlahan-lahan menuju demokrasi rakyat, menantikan orang-orang tua sudah meninggalkan arena pemerintahan komunis sekarang.

Tidak terasa kereta sudah tiba di Wuhan, Propensi Hubei. Ini stasiun besar dikota penting, dari sini bisa ganti kereta kejurusan lain, ketimur sampai Shanghai, kebarat bisa sampai Chengdu, maka berhenti agak lama disini. Banyak yang turun, terutama bagi mereka yang sudah ketagihan untuk bernafas rokok. Terjadi juga rebutan kursinya penumpang yang turun disini, hanya saja juga ada penumpang baru yang naik dengan kursi duduk tersebut, achirnya semua yang harus berdiri masih tetap berdiri.

Tidak terasa sekarang sudah lewat tengah malam, sudah menempuh sepertiga perjalanan, dari sini kebanyakan orang sudah terlihat mengantuk dan letih, gerbong mulai hening.

Bukannya saya belum pernah naik kereta cepat begini, sudah 2 kali sewaktu bersama kawan-kawan melancong di Jalur Sutra, tetapi kami menumpang dikelas gerbong tidur, ada ranjangnya dan bisa tidur sepanjang malam. Kereta ini juga ada kelas itu, hanya saja semua sudah terjual habis, makanya dapat kelas kambing, satu duduk satu berdiri.

Ternyata banyak penumpang yang boleh saya katakan profesional atau ahli naik kereta cepat, mereka tahu harus berdiri, maka sudah menyediakan dingklik lipat, begitulah duduk juga sambil membaca disepanjang jalan. Yang paling lihai, mereka tahu bagaimana bisa tidur mengulurkan badannya, yaitu terlentang dibawah kursi duduk.

Dari pengalaman bertugas malam dalam pekerjaan selama 40 tahun sebelum pesiun, masih biasa tanpa tidur malam, maka malam ini juga tidak perlu tidur, sambil menikmati suasana dikereta cepat ini yang entah kapan lagi akan diulang.

Untung bagi yang mendapatkan kursi duduk dalam perjalanan panjang. (gambar: AH Tjio)
Untung bagi yang mendapatkan kursi duduk dalam perjalanan panjang. (gambar: AH Tjio)
Ada yang membawa dingklik lipat, ada yang tidur dibawah kursi, kebanyakan harus berdiri & Pokok nyenyak tidur didepan saya. (gambar AH Tjio)
Ada yang membawa dingklik lipat, ada yang tidur dibawah kursi, kebanyakan harus berdiri & Pokok nyenyak tidur didepan saya. (gambar AH Tjio)
Menjelang pagi hari, kebanyakan penumpang sudah tertidur seenaknya mereka sendiri-sendiri. Didalam gerbong yang air-con-nya tetap kencang, sekarang terasa lebih dingin didini hari. Tetapi juga terasa timbulnya harapan baru sewaktu menyaksikan matahari terbit dibalik bukit-bukit yang dilewati, harapan bisa cepat-cepat sampai ditujuan kita.

Yang masih sibuk menjalankan tugasnya semalam suntuk adalah si-bibi pembersih gerbong, semalaman hanya seorang itu, menyapu, mengepel dan membuang sampah-sampah setiap ketibaan distasiun. Mondar mandir diantara 16 gerbong semalam itu.

Tibalah distasiun Shaoguan, Propensi Guangdong yang menandakan 2-3 jam lagi sudah bisa tiba dirumah. Para penumpang mulai bangun satu persatu, mulai beriksik lagi. Kamar kecil penuh orang yang bersikatan gigi, seperti yang dimengerti, kebiasaan menjaga kebersihan pribadi orang sini adalah mencuci kakinya sebelum tidur dan menyikat giginya sesudah bangun setiap hari, maka harus bersabar lagi menunggu giliran untuk kepentingan lain. Waktu ini semua disekitar kami sudah berganti orang, disepanjang jalan orang naik dan turun. Penumpang yang naik dari sini kebanyakan pegawai kantor atau pedagang yang setiap harinya bolak balik ke Guangzhou.

Adik Hendro masih segar setibanya di Stasiun Central Guangzhou. (gambar: AH Tjio)
Adik Hendro masih segar setibanya di Stasiun Central Guangzhou. (gambar: AH Tjio)
Empat-belas jam yang mengesankan, untuk mengenal orang Tiongkok dari dekat digerbong kereta cepat ini, menyaksikan mereka yang sebetulnya, mereka bukan seperti yang mentereng dikota-kota atau yang sering dimaki kacau diluar negeri. Seperti semua manusia pada umumnya, mereka sibuk hanya untuk bertahan hidup. Mereka sederhana, irit, sopan, tahan derita dan prihatin, karena kebiasaan dan budaya mereka yang berbeda dengan dunia luar, dengan kesederhanaan mereka yang tanpa mengenakan pakaian mewah maupun menyisir rambut dan menyukur kumis yang rapih, sering disalah mengertikan sebagai kejorokan orang Tionghoa. Kanak-kanak mereka juga diam saja disepanjang jalan, tidak memanja seperti noni dan sinyo. Orang pun sudah tidak lagi sembarangan meludah, banyak yang batuk tetapi meludahkan diatas kertas untuk dibuang ditempatnya. Mengapa Tionghoa banyak batuk ber-riak, mereka merokok seperti tidak ada besok harinya.

Bagaimana kesukaran mereka dalam keadaan mudik sewaktu Sin-cia yang layak Lebaran dengan kereta cepat ini, sukar bisa dibayangkan, tetapi mereka harus mengulangnya setiap tahun. Bagi saya, walaupun telah mengalami semalam yang sukar dilupakan, karena sudah ada kereta super cepat, maka juga tidak berharap memerlukan naik kereta cepat yang super lambat di Tiongkok ini lagi.

Oleh: Anthony Hocktong Tjio.

Monterey Park, CA. 10-1-2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun