Chang’e dengan sopan minta permisi tanya pada orang itu, “Pak”, sapa Chang’e, “Bapak siapa ya, dan mengapa juga ada disini, kamu ini sedang mengerjakan apa?” Serentetan pertanyaan menyetus keluar dari mulut dengan penasaran.
“Nama saya Wu-gang, Neng. Saya kena hukum kurungan seumur hidup disini, karena saya membunuh Bo-ling, cucunya Maharaja Yan-di di Hunan, karena dia menodai istri saya sewaktu saya bepergian mengilmu Taoisme selama 3 tahun. Disini saya dihukum untuk menebang pohon celaka ini, setiap kali dikapak, lukanya terus sembuh kembali, sudah ribuan tahun tidak saja ketebang. Biarlah buat saya bergerak badan dan membuang waktu yang begitu panjang. Disini sehari itu setahun didunia.” Ujar Wu-gang.
Chang’e baru sadar mengapalah dia disini tidak henti-hentinya mengayunkan kapaknya kepada pohon itu, dikira seperti orang dibumi saja yang suka merusak properti umum. Sudah ribuan tahun?
Maharaja Yan-di asal Hunan adalah salah satu dari raja-raja purba yang bersama Maharaja Kuningan Huang-di asal Shaanxi menyatukan suku-suku yang menjadikan Bangsa Tionghoa sekitar 6000 tahun lalu. Yan-di merupakan eyang bangsa Tionghoa diselatannya Yangtze River yang disekitar 4000 tahun lalu, dari bangsa ini yang sampai menjadi penduduk Nusantara semula.
Chang’e juga menjumpai seekor katak besar, seekor kelinci besar dan seekor ular besar yang juga berada disekitar sana. Dari mana mereka itu dan mengapa disitu? Pikirnya lagi. Tidak segan-segan Chang’e terus melanjutkan pertanyaan mengenai seluk beluk binatang-binatang itu kepada Wu-gang.
“Oh, mereka itu anak-anak saya.” Jawab Wu-gang santai saja. “Istri saya menyesal setelah saya dihukum karena kesalahan perbuatannya, maka dia mengirimkan ketiga-tiga anak kita kesini untuk mendamping supaya saya tidak kesipian.”
Setelah istirahat sejenak menghapus keringat didahunya, dia melanjutkan penjelasannya.
“Anak yang besar itu namanya Gu, si-gendrang, dia itu yang menjadi katak besar Jan-cuk dan pandai membuat gong. Anak yang kedua itu namanya Yan, si-pelambat, dia pandai membuat gending dan menjadi kelinci giok besar Yu-tu. Sedangkan anak yang ketiga itu namanya Qiang, si-kapak, dia pandai membikin sasaran panah dan dia itulah yang menjadi ular besar Tian-gui yang tidak beruntung. Mereka disini bisa memainkan musik Nirwana, memeriahkan suasana diwaktu kegelapan bulan baru, sehingga saya bisa terhibur.”
Diampirinya dan ditanyakan, “Dik Yu-tu, kamu itu sedang menumbuk apa?” Tanpa berhenti sekejabpun, sambil terus menumbuk sambil menjawab, “Bu, biasanya saya menumbuk daun-daun pohon seruni yang sudah rontok untuk membuat ramuan obat herbal buat guru Taoisme disana, sambil cepat-cepat menghabiskan daun-daun itu supaya ayah bisa lekas lepas dari hukumannya. Tetapi sekarang sudah Tiong Ciu, menjelang Sin Cia yang hampir dimuka mata, maka keburu menumbuk ketan saja untuk mengolah Ni-kee, kue keranjang untuk perayaan tahun baru.”
“Sudah berapa lama adik Yu-tu mengerjakan ini?” Tanya Chang’e.