Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Batu Peringatan Kuburan yang Mengutuk di Semarang

15 September 2016   02:57 Diperbarui: 15 September 2016   03:18 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah prasati dari ukiran diatas batu yang ditegakkan 100 tahun lalu, barusan diketemukan dirimbunan pohon antara semak yang mengalas didaerah sekitar kompleks Perumahan Bumi Wana Mukti di Semarang.

Bersama batu tersebut juga ada sebuah nisan kuburan Tionghoa dikedekatannya yang menyatakan daerah ini memang bekas kuburan besar perintis Tionghoa Semarang dizaman dulu. Berkemungkinan juga ini tempat adalah peristirahatan terachir Muslim Tionghoa dikala dulu.

Foto: Irawan Raharjo.
Foto: Irawan Raharjo.
Nisan yang masih tersisa disana itu milik Bapak Liem yang ditegakkan oleh keturunannya, tanpa dicantumkan nama lengkapnya. Berdasarkan corak kuburannya yang tanpa gundukan dan nisannya yang sangat sederhana, ini serupa dengan kuburan kaum Muslim di Tiongkok. Diatas nisan tersebut hanya ditulis: “Dong Shan (memperingati tanah leluhur di Hokkian), Kuburan Ayah Almarhum Bapak Liem”. Tanpa nama lengkapnya, ini bisa diperkirakan bahwa dia memang mempunyai nama Arab atau Persia selain nama aliran Tionghoa, sehingga sukar untuk dicantumkan diatas nisannya. Hal ini seperti Cheng Ho sewaktu membangun kuburan ayahnya di Yunnan, diatas batu nisan hanya ditulis: Hajj Ma (Melik Tekin nama lengkapnya dalam Persia). Bisa jadi ada banyak kuburan Muslim Tionghoa dikawasan Bumi Wana Mukti ini.

Bapak Liem ini semestinya bernama Liem Kik Hong yang mendirikan batu peringatan kuburan disana 100 tahun lalu itu. Seorang Tanglang dari Hokkian Selatan. Menurut nisannya, tepatnya dia berkelahiran dikabupaten Dongshan / Tong-shua, kota Zhangzhou / Cangciu yang berdekatan dibaratnya kota Chaozhou / Tio-ciu, Kanton. Dari sini bisa menduga dia seperti banyak Tanglang maupun Muslim Tionghoa yang keluar ke Nanyang memang melalui pintu Tio-ciu dan hijrah ke Semarang.

Boleh dibilang bahwa Bapak Liem ini adalah seorang “pintar”, yang ber-‘ilmu’, yang mendalam dibidang hongshui kuburan dan direktur pemakaman diwaktunya, juga akhli literal Tionghoa.

Batu prasasti tersebut bercorak khas Tionghoa masa Ming dan Qing, yang didirikan pada permulaan zaman Republik Tionghoa (Tiongkok) tepat seratus tahun yang lalu.

Diatas batu granit itu dihiasi ukiran thema klasik Tionghoa yang disebut ‘dua naga liong yang bergurau dengan sebuah mutiara’ diatas langit berawan-awan. Ukiran kaligrafi-nya dari seorang yang bagus sekali tulisan harfiah Tionghoa klasik dengan pemahaman sastra yang tinggi, dan bisa menuturkan dalam kata bahasa yang mudah dimengerti oleh awam.

Kepentingan mendirikan batu itu semata-mata sebuah peringatan bagi orang sekarang, disitu mengandung kutukan keras kepada siapa saja yang dengan sewenangnya merusak dan menggusur kuburan, turun temurun sepanjang masa tidak bakal diberkati Allah subhanahu wa ta’ala.

Foto: Irawan Raharjo.
Foto: Irawan Raharjo.
Isi prasasti diterjemahkan oleh: Anthony Hocktong Tjio:

“Semenjak kita Tionghoa berbondongan datang di tanah Jawa ini, tidak kurang dari ratusan orang yang pandai ilmu bumi kuburan, kenyataannya memang tidak ada diantaranya yang pernah mendapatkan penuturan perumusan rahasianya (hongshui).

Almarhum Bapak guru Yap Sek Khie (Ye Xi Qi), beserta beberapa sejawat dan saya sendiri dipercayakan untuk membangun lima enam kuburan disini. Mendasarkan aturan yang dikaji dengan seksama, mendirikan bangunan utamanya dengan ketepatan penataan (hongshui-nya) yang melebihi dari bangunan yang sudah ada diatas tanah liar ini. Hal ini membuktikan bahwa kami sungguh memahami rumus rahasia yang diturunkan tanpa melalaikan kebijakan pembangunannya.

Dengan demikian kami tegaskan disini dengan batu peringatan ini. Selain itu juga meninggalkan pesan bagi keturunan kita disepanjang masa, meskipun dikemudian hari barang siapa yang memahami ajaran basi dari Keng Cun (Jing Chun)  , ataupun yang mengatakan bakal ada Dewa Besar yang mengendarai kuda sembrani turun untuk memerintah anak cucu mengutik bangunan kuburan ini sewenangnya, janganlah mempercayainya. Siapa saja bila melanggarnya, bakal tidak diberkati Allah subhanahu wa ta’ala.

Walaupun dikemudian hari ada yang berani merusak kuburan ini dengan kasar dan kejam, asal mematuhi pesan jangan mengikuti kata orang lain, masih boleh dipugar keasalnya kembali. Bila demikian, itu tidak berarti melanggar larangan keras orang tua dan gurunya, melainkan bakal dilimpahi rejeki yang tidak ada batasnya.

Harap diperhatikan dengan saksama.”

Pada bulan 12 tahun Naga, tahun ke-5 Republik Tionghoa (1916).

Ditegakkan oleh: Liem Kik Hong (Lin Ji Huang).

Tidak banyak peninggalan sejarah dari perintis Tionghoa seperti batu prasasti dan kuburan tua yang masih tersisa di Tanah Air kita. Kalau tidak karena kikisan zaman yang sering bergolak anti-Tionghoa, juga kerusakan karena diterlantarkan oleh keturunannya sendiri, seperti yang sering menggusur dan menjual tanahnya untuk pembangunan perumahan diatasnya sekarang.

Untuk yang masih ada seperti yang satu ini di Semarang, alangkah baiknya bila kalangan setempat sudi berdaya upaya melindunginya sebagaimana candi-candi, agar mencegahnya dari kelenyapan budaya Bhinneka Tunggal Ika kita.

Situs peninggalan ini diketemukan oleh Pak Muhammad Yogi Fajri dan diabadikan dalam foto-foto Pak Irawan Raharjo, Semarang.

Oleh: Anthony Hocktong Tjio.

Monterey Park, CA. 12 September 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun