ASAL USUL KOSAKATACHINA.
Oleh:Anthony Hocktong Tjio / Diaspora Indonesia.
Negara Tiongkok dinamakan China sejak permulaan abad lalu. Banyak spekulasi yang coba menjelaskan asal usul sebutan China itu, dikira dari sutra sampai ceramik, atau dari Dinasti Qin sampai yang disebut dalam Mahabharata, tetapi ternyata semuanya sekarang sudah tidak lagi benar.
Pada mulanya Tiongkok Semula hanya dikenal sebagai Terra Incognita, yang artinya “tanah tak dikenal” oleh orang Barat. Hingga adanya perniagaan sutra melalui Jalur Sutra Utara dari Xi’an yang mencapai Persia Romawi Timur, maka dari sutra tersebut Tiongkok Semula baru dinamakan Seres (kepompong) dan Serica (sutra) oleh Romawi disekitar abad 4 AD. Dikemudian hari sutra yang berkwalitas sehalus sayap kupu-kupu yang diekspor secara luas melalui lintas maritim yang dari Teluk Zaitun Quanzhou Hokkian sampai ke-Eropah, maka tenunan sutra yang berasal dari Zaitun itu juga hanya mendapat nama Satin. Maka pernah Tiongkok dinamakan dari sutra yang disebut Seres atau Serica, tetapi sutra belum pernah dinamakan China.
Karena letak fisik geografi Tiongkok Semula yang jauh disebelah orion dari mereka Romawi, maka juga muncul sebutan Orient atau Far East, yaitu Timur Jauh. Terkadang masih terdengar sebutan Orient ini yang juga bukan asalnya kata China.
Selama Tiongkok masih dijaman pecah belah maupun setelah dipersatukan oleh Dinasti Qin pada abad 3 BC, selalu memanggil negaranya dengan nama dinastinya masing-masing. Bukan Tiongkok, juga bukan China.
Ada bangsa Khitan keturunan Persia Tabgach yang mendirikan Kerajaan Khitan (Cathay) Wei diabad 4 AD dan kemudian keturunannya mendirikan juga Kerajaan Xianbei (Siberia) Liao diabad 10 AD. Meskipun hanya sekejab saja kerajaan mereka berdiri di utara Tiongkok, Khitan ini pernah meluas sejauh Russia dan Turki, karenanya, sampai sekarang Tiongkok dinamakan Khitai oleh blok Russia dan Timur Tengah dari Turki sampai Afghanistan. Dengan demikian Cathay menjadi nama kecil Tiongkok, juga tidak disebut China.
Peta Perjalanan Marco Polo. Tiongkok utara disebut Cathay, dan diselatan Sungai Yangtze disebut Man-zi. Abad 13.
Setelah Kublai Khan menguasai Tiongkok diutara Yangtze River diabad 12 AD, Mongol tetap menyebut wilayahnya yang diutara Yangtze River tersebut sebagai Cathay, dan Tionghoa Song yang didesak dari Kaifeng diutara pindah ke-Hangzhou diselatan disebutnya Man-zi (biadab), tetapi setelah Dinasti Mongol Yuan menduduki seluruh Tiongkok malah disebut Tartaria. Pernah ada pasukan Tartar itu yang menyerbu Majapahit dijaman Hayam Wuruk mendarat di Paciran Tuban.
Pada jaman Song Selatan tersebut, perkembangan dan produksi seni ceramiktelah mencapai puncak kejayaannya di Tiongkok, sehingga selain sutra, ceramik juga merupakan benda ekspor permintaan orang Barat disepanjang Jalur Perniagaan Sutra lintas Maritim sampai sejauh ke Spanyol dan Inggris. Ceramik canggih tersebut terutama produk dari daerah Chang-nan (昌南) di Jiangxi, maka bagi Barat, Changnan tersebut menjadi nama umum darimana datangannya ceramik. Dari mengatakan “changnan” berulang-ulang, lama kelamaan kedengarannya menjadi “cha-na”, maka dikira itulah “china”, sehingga ceramik dinamakan “china” juga.
Kemasyuran ceramik Chang-nan Jiangxi tersebut mendapat perhatian Kaisar Jing-de dari Dinasti Song Selatan (1004-1007) yang kemudian memerintahkan produk ceramik dari situ dilarang untuk diperjual-belikan dipasaran umum maupun diekspor, kecuali esklusif untuk memenuhi kebutuhan istana Song di Hangzhou, apa yang tak terpakai oleh kaisar harus dihancurkan disetempat, dan dengan demikian kota Chang-nan tersebut juga diganti-namakan sebagai ibu kota ceramik Kaisar Jing-de, yaitu Jing-de-zhen sampai sekarang. Kemudian karyawan-karyawan ceramik yang untuk konsumsi rakyat umum dialihkan ke De-hua di Quanzhou Hokkian. Ceramik putih susu chas De-hua tersebut juga dibawa oleh Cheng Ho untuk diekspor dalam pelayarannya ke Lautan Barat, yang kemudian disebut “blanc de chine”. Ceramik dari Tiongkok yang dengan penyimpangan nama dari kota Changnan disebut china, tetapi itu bukan dasar nama China.
Tertulis dalam buku penuturan petualangannya, “The Travel”, ada menyebutkan satu kalimat: “Di-‘China Sea’ terletak 7,448 kepulauan-kepulauan Jepang”, tetapi dalam keseluruhan buku tersebut tetap menyebut Tiongkok sebagai Cathay, hanya kadang kala sebagaimana Mongol menyebutnya Tionghoa sebagai Man-zi. Dengan bukunya ini, Marco Polo memperkenalkan kepada dunia Eropah adanya bangsa berbudaya yang disebut Cathay di Orient. Walaupun sejak itu juga menimbulkan kesangsian apakah benar, Marco Polo pernah travel di Tiongkok dijaman Kublai Khan? Namun dengan bukunya itu, mulai mendatangkan pendeta-pendeta Katholik order Jesuit dari Italia untuk meninjau Cathay di Orient sampai mencampai itu pesisir yang pernah disebutnya China Sea. Dengan demikian, satu kata penyebutan “China Sea” dalam bukunya, Marco Polo dikreditkan sebagai orang Barat pertama yang menyebutkan “China” dalam sejarah. Tetapi orang Portugis Duarte Barbosa yang mengikuti besannya Ferdinand Magellan berlayar sampai terbunuh di Luzon Filipina, juga mencatatkan “China” didalam bukunya “Livro de Duarte Barbosa” (Pustaka Duarte Barbosa) ditahun 1516. Saat itu sudah Dinasti Ming, Tionghoa masih disebut Da-Ming, belum juga disebut China.
Matteo Ricci adalah salah satu pendeta Jesuit Italia yang berdatangan di-Tiongkok, mereka pada umumnya datang melalui Belem Lisbon ke Macau Portugis diabad 16 AD. Seorang sarjana matematika dan ahli penggambar peta, dia menciptakan peta Asia Timur termasuk Tiongkok, Jepang dan Kepulauan Nusantara, dan memperkenalkan untuk pertama kalinya peta dunia waktu itu di Tiongkok yang dipersembahkan kepada Kaisar Ming Wan-li ditahun 1602. Dalam petanya, Tiongkok tetap disebut Da-Ming, dan Laut Timur yang Marco Polo menyebutnya China Sea itu juga disebut Da-Ming-Hai (Laut Ming Raya). Namun sebagai sinologis, dalam buku korespondensi yang dikirim ke Eropah, istilah Cathay-nya Marco Polo telah diganti dengan istilah China, maka Matteo Ricci dianggap sebagai orang Eropah yang pertama secara leluasa menyebut Tionghoa Ming sebagai China sejak abad 16 AD.
Pada abad 17 AD berikutnya, ada sinologis Jesuit lain Martino Martini yang menyarankan bahwa nama China itu adalah dari nama “Qin”, yaitu dinastiyang pernah menyatukan Tionghoa pada abad 3 BC, karena kedekatan bunyinya kedua nama tersebut. Setelahnya, ditahun 1930an, sinologis Paul Pelliot dan cendekiawan Tiongkok lainnya juga menyepakati gagasan itu, tanpa diselidiki lebih lanjut masalah ketepatannya, maka dari itu selalu dikutip bahwa China dari Qin sejak abad 20 yang lalu. Sekarang telah dinyatakan tidak lagi benar.
Kesangsian China dari Qin bisa diuraikan sebagai berikut:
1.Kata Sansekerta “cina” sudah diketemukan beberapa abad sebelum adanya Dinasti Qin diabad 3 BC. Hal ini tidak disadari oleh Martino Martini, dan “Cin” inilah yang merupakan asal kosa kata China bukan “Qin”.
2.Meskipun Dinasti Qin sangat perkasa dalam militer pada waktunya, tetapi kewibawaannya ke-barat tidak sampai melampaui daerah Dunhuang Propensi Gansu sekarang, sehingga kemungkinan kecil untuk Qin dikenal oleh Barat yaitu Romawi Persia pada jamannya, dan lagi pula kerajaan Qin yang kemudian dimusnahkan oleh Han ituhanya berlangsung sesingkat 15 tahun saja.
3.Dinasti Han merupakan kekaisaran yang terwibawa dan termasyur dalam sejarah Tionghoa, melebihi Qin, karenanya bangsa Tionghoa menyebut dirinya bangsa Han. Dengan dibukanya Jalur Sutra pada waktu itu, hubungan diplomatik maupun perniagaan telah mencapai Romawi Timur, walaupun begitu Romawi juga hanya menyebut Tionghoa Han sebagai Seres atau Serica yang artinya Sutra pada waktu itu. Bukan Qin ataupun Cin.
4.Sejak dinasti pendek usia Qin diabad 3 BC sampai adanya teori yang dirumuskan oleh Martino Martini pada jaman Ming diabad 17 AD, masih ada dinasti dan negara yang berbunyi mirip dengan Cin di Tiongkok, seperti Dinasti Jin yang menyatukan jaman Sam Kok, yang berlangsung selama 200 tahun pada abad 3-5 AD, dan Negara Jin (emas) dari bangsa Jurchen yang berlangsung 100 tahun pada abad 12-13 AD.
Sampai disini telah jelas bahwa nama China bukan berarti sutra, bukan dari ceramik, juga bukan dari nama kerajaan Qin. Kita semua sudah tahu China berasal dari kata Sansekerta India “cina”, dan ternyata “cina” tersebut adalah nama wilayah yang telah dipakai oleh orang Persia untuk menunjukkan tempat dimana sumbernya sutra yang bisa diperdagangkan sejak abad 4 BC. Ini berdasarkan tulisan dalam babak 11 kitab Kautilya “Arthasastra” (Tata Kenegaraan) yang berbunyi: “Kauseyam cinapattasca cinabhumijah” terjemahannya adalah “ Kauseyam berkata bahwa pintalan sutra cina dari bumi Cina”. Jelas sutra adalah produk dari Cina, dan yang disebut Cina itu dimana?
Cina tersebut bukan Cheenah atau Chinas yang sering dikutip dalam Mahabharata. Kitab Mahabharata tersebut merupakan karya sastra mitos tua dalam bahasa Sansekerta yang menceritakan Legenda Dinasti Bharata secara panjang luas. Buku itu terdiri dari 18 jilid parva yang mengandung ribuan babak dengan kira-kira 2 juta kata-kata. Penyelesaiannya memakan waktu sepanjang 800 tahun, dari jaman dinasti pertama India Vedic diabad 4 BC sampai dirampungkan oleh Krishna-Dwaipayana Vyasa dijaman Dinasti Gupta diabad 4 AD. Terjemahan Inggris yang ketelitiannya sangat mendekati aslinya adalah versi karya Kisari Mohan Ganguli dalam tahun 1883-1896. Dari jutaan kata-kata dalam buku terjemahan tersebut bisa dibaca bahwa hanya 7 kali penyebutan negeri Cheenah atau Chinas dalam kisah Perjalanan Para Pandava. Diceritakan bahwa Cheenah adalah negeri kerajaan dari kesukuan Mleccha yang tergolong diantaranya Hun dan Barbarian dipegunungan Himalaya, yaitu yang terletak diutara dan barat laut India. Disebutkan bahwa orang Cheenah adalah pedagang besar kulit kijang, bukan sutra, dan rajanya yang bernama Dhautamulaka sangat merajarela sehingga menyebabkan kehancuran negerinya sendiri. Maka sukar dipastikan apakah Cheenah itu memang sebenarnya ada beberapa abad sebelum Dinasti Qin terbentuk, atau hanya semata-mata suku bangsa mitos. Walaupun ada prasangka bahwa Cheenah tersebut bisa jadi merupakan moyangnya orang Qin yang kemudian hari merantau ke Tiongkok Semula, namun dalam kata Sansekerta mengatakan bahwa “cina” itu maknanya “arah timur”, yaitu dijurusan timur dari India, sedangkan Cheenah adalah di barat laut India. Maka kesimpulannya, Cheenah dalam Mahabharata itu juga bukan menyebutkan China.
Peta perjalanan misi diplomatik Zhang Qian membuka Jalur Sutra Utara dari Chang’an ke Bactria, abad 2 BC.
Dalam catatan sejarah Shi-ji dari Tiongkok, Maha Sejarahwan Sima Qian yang bertugas diistana Han Wu-di menceritakan bahwa duta besar Zhang Qian kembali dengan kegagalan misi diplomasinya ke Bactria (Uzbekistan) pada tahun 126 BC, karena raja Bactria menolak untuk bersekutu dengan Tionghoa Han berperang menghadapi Hun yaitu Xiong-nu. Tetapi dengan demikian Zhang Qian telah membuka Jalur Sutra lintas Utara dari Chang’an (Xi’an) kenegara-negara di Sentral Asia, malah Zhang Qian sewaktu kembali dari Bactria membawa sepintal bahan sutra yang disebut “cinapatta” dari sana, yaitu pintalan sutra buatan Cina. Setahunya Han bahwa sutra adalah hasil dari Tiongkok Semula, tetapi juga belum pernah dengar masih ada lain produk sutra yang dari Cina itu. Hingga sewaktu Han Wu-di dalam kampanye memperluas wilayahnya keselatan sampai mencapai Yunnan pada tahun 110 BC, baru diketemukan bahwa disana ada negeri Ye-lang yang merupakan pusat perniagaan sutra yang disebut cinapatta itu, dari Yelang tersebut pintalan sutra disalurkan melalui Jalur Sutra lintas Selatan yang melewati tebing selatan Himalaya sampai ke Gujarat India disebelah selatan dan ke Bactria Persia disebelah utara. Maka diketahuilah sekarang bahwa cinapatta itu dari Yunnan, tetapi masih belum jelas mana yang disebut Cina yang menghasilkan sutra itu.
Peta simpang jalan perniagaan Jalur Sutra Selatan antara Chengdu, India dan Teluk Tonkin melalui Yelang diwilayah Yunnan, Guizhou dan utara Vietnam sejak abad 4 BC.
Pada awal abad 21 AD ini , bermunculan juga perkiraan-perkiraan letak sesungguhnya itu Cina yang dimaksudkan dalam Arthasastra maupun Shi-ji. Diantaranya ada 2 thesis yang patut diutarakan disini. Pertama adalah dari Tiongkok sendiri, oleh Duan Yu, dalam bukunya “Kumpulan Penyelidikan Jalur Sutra Lintas Selatan” (2006), dan kedua adalah dari Australia, sejarahwan sinologis Geoff Wade, dalam publikasinya di Amerika “The Polity of Yelang and the Origins of Name China” (2009).
Menurut Duan Yu, Cin adalah Cheng-du yaitu ibu kotaSichuan. Sebelum Shu yaitu nama tuanya Sichuan dicakup Han, Cheng sudah merupakan pusat perindustrian kerajinan tangan seperti rajutan bambu, benda lacquer, produk bahan kulit (cinasi), dan tentunya pintalan dan tenunan sutra untuk diekspor. Dari penemuan penggalian archeologi dari berbagai tempat di Tiongkok yang merupakan peninggalan dari jaman sejauh Dinasti Shang diabad 16 BC sampai yang dari Dinasti Han diabad 2 BC, sudah ada benda barang yang ber-cap-kan “Made in Cheng”. Cheng berarti barang jadi atau finished product, maka Cheng-du berarti “kota produksi barang jadi”. Dari sana produk-produk sutra disalurkan melalui pusat distribusi di Kerajaan Yelang disekitar Yunnan yang kemudian dijual melalui Jalur Sutra Selatan sampai Gujarat dan Bactria sebagai cinapatta sejak abad 4 BC atau sebelumnya. Sedangkan, Cheng dalam dialek Sichuan memang berbunyi: Cin atau Sin.
Menurut Geoff Wade, Cina adalah negeri Yelang yang pernah ada diperbatasan antara Yunnan dan Guizhou, diselatannya Chengdu. Yelang yang terkenal sebagai “negari kecil yang tidak tahu diri” dan kemudian dicakup oleh Han memang merupakan tempat perniagaan utama dalam Jalur Sutra Selatan, negerinya tidak memprodusir apa-apa, hanya berfungsi sebagai pusat makelar barang dagangan dari Chengdu menuju Bactria dan Gujarat pulang pergi. Kesimpulan Cina adalah Yelang ini berdasarkan penyelidikan bahwa “ye-lang” tersebut sebetulnya berbunyi “czin-a” dalam dialek Lolo, bahasa lokal bangsa Yi didaerah itu.
Yelang adalah Czin-a ini juga bertepatan dengan catatan dalam Pedoman Perlayaran Laut Merah Yunani (Periplus Maris Erythraei) yang diterbitkan pada abad 2 AD. Pada jaman itu Lautan Hindia masih dimasukkan dalam Laut Merah, dimana tercatat: “Setelah melanjutkan perlayaran ke-arah timur, dimana lautan ada disebelah kanan dan daratan ada disebelah kiri, setelah melampaui Ganges, tibalah diujung dunia yang masih berpenghuni yang disebut Chryse (Burma), setelah melewati daratan ini lebih jauh keutara tiba ditanah This (ejaan Yunani) dimana terletak kota pedalaman yang makmur yaitu Thinae (ejaan Yunani), dari situ pintalan dan tenunan sutra dibawa melalui jalan darat liwat Bactria ke Bharuch Gujarat”. Kesimpulannya, bahan sutra dari Shu yaitu Sichuan diperdagangkan dan di-ekspor melalui Thinae atau Sinae atau Czin-a yaitu Yelang.
Baik kosa kata Cina adalah berasal dari nama tempat Chengdu ataupun Yelang, yang disebut Cina itu sebenarnya bukan terletak diwilayah Tiongkok Semula, sedangkan pribumi Shu orang Ba dan pribumi Yelang orang Yi juga bukan bangsa asli Tionghoa Han. Dari perluasan Tionghoa dikemudian hari yang menjadikan satu kebangsaan yang besar, maka lama kelamaan nama China yang semestinya berasal dari wilajah yang berada dibagian barat Tiongkok seperti Sichuan dan Yunnan, kebawa ke-Barat melalui perniagaan disepanjang jalur sutra yang tertua diselatan, sehingga orang Barat bisa menamakan China untuk keseluruhan Tiongkok sekarang.
Sewaktu dalam mempersiapkan perjuangan revolusi menjatuhkan Dinasti Qing, Sun Yat Sen pernah lama tinggal di Jepang dengan nama Sho Nakayama yang menjadi nama kecilnya, Sun Zhong-shan. Disana beliau yang mengajarkan sebutan “Shina” untuk China kepada Jepang dijaman Meiji diachir abad 19. Setelah Sun Yat Sen kemudian mendirikan Negara Republik Tionghoa, sekarang beliau meminta supaya Jepang mengganti sebutan Shina itu menjadi Tiongkok yaitu singkatan dari Negara Republik Tionghoa, sekarang Jepang tidak menurutinya, karena Jepang sendiri juga mempunyai wilayah Tiong-kok yang disebut Prefectur Chugo-ku dimana terletak Kabupaten Yamaguchi dan Hiroshima, maka untuk tidak mau membingungkan mereka sendiri, Jepang tetap memakai sebutan “Cina” buat Tionghoa sampai achir Perang Dunia ke-2.
Dikala Tiongkok dalam perang dengan Jepang (1937-1945), Presiden Chiang Kai Shek mengutus istrinya sebagai duta untuk meminta tunjangan Amerika ditahun 1943. Didepan Congress America, Madame Song Mei Ling yang lulusan Wellesley College memberi pidato dengan Bostonian English yang lancar dan bersemangat, meski hanya sekali saja Song menyebutkan China sebagai Tiongkok dalam pidatonya yang sepanjang 11 menit, begitu juga dalam 3 pidato didepan publik lainnya di New York, dengan demikian resmilah Tiongkok disebut “Republic of China” dimuka rakyat Amerika dan dunia. Sedangkan setelah Komunis Tiongkok menjatuhkan Chiang Kai Shek, Negara Republik Rakyat Tionghoa yang baru terbetuk pada tanggal 1 Oktober 1949, juga disebut “New China” dikalangan international.
Bangsa dan negara Tionghoa menyebut dirinya berdasarkan nama masa dinasti yang bersangkutan disepanjang jaman, hingga terbentuknya Negara Republik Tionghoa baru menjadi Tiongkok pada 1 Januari 1912. Juga dalam sepanjang jaman yang sama itu, Tiongkok Semula mendapatkan berbagai nama panggilan dari orang asing, seperti dari Terra Incognita, Seres, Cathay, Man-zi, Tartaria, dan achirnya Barat menamakannya China sejak abad 16,sedangkan Sun Yat Sen juga menamakan Shina diabad 19, dan menjadi resmi Tiongkok dinamakan China diabad 20. Istilah China sudah diterima oleh Tiongkok hampir seratus tahun, baik sebutan ini tepat atau tidak, China telah merupakan trade mark disemua produk buatan Tiongkok sekarang.
Tiongkok tersangkut dengan sutra sehingga dinamakan China, sekarang Barat boleh mengeluh:
“Almighty created the Universe, the rest was Made in China”.
Melalui Keppres No. 12/2014,Presiden SBY menilai, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas dan/atau ras tertentu, pada dasarnya melanggar nilai, prinsip perlindungan hak asasi manusia, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis; juga sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral dengan Tiongkok, maka dipandang perlu sebutan yang tepat bagi negara People’s Republic of Chinadengan sebutan negara Republik Rakyat Tiongkok. Dalam diktum menimbang Keppres itu disebutkan, bahwa ketika UUD 1945 ditetapkan, para perumus UUD tidak menggunakan sebutan Cina melainkan menggunakan frasa peranakan Tionghoa bagi orang-orang bangsa lain yang dapat menjadi warga negara apabila kedudukan dan tempat tinggalnya di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia. Karena itu, Presiden SBY mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, selanjutnya dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dari atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan/atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
‘Utlub il ‘ilma wa law fis-Sin. “Strive for knowledge even as far as China”.
Monterey Park, April 14, 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H