Baru diluncurkan sebuah buku "Ketika Pintar Saja Tidak Cukup". Buku ini ditulis ditengah tantangan para orang tua dan guru dalam membesarkan kaum muda milenial.
Albert Einstein mengatakan,"Suatu masalah harus diselesaikan dengan cara pikir yang berbeda". Kondisi jaman sudah beda, situasi jaman sudah lain. Maka, menyelesaikan masalah anak muda juga tidak bisa lagi dengan cara-cara lama. Tak mengherankan, kalau banyak orang tua yang berteriak. Guru-guru yang kebingungan. Pertanyaan, "Apa yang harus dilakukan menyikapi tantangan semacam ini?"
Orang tua mengatakan, "Kenapa yang jaman dulu kita nggak seribet sekarang dalam urusan anak muda?". Sementara, guru pun berkata, "Jadi bingung bagaimana membuat anak-anak sekarang menyukai pelajarannya".
Cara beda. Kondisi berubah. Pendekatan harus lain.
Selama ini, para orang tua dan guru tradional pun banyak yang fokus pada kecerdasan akademik. Bagi mereka, sukses di sekolah artinya sukses di kehidupan. Padahal, nggak ada jaminan! Nyatanya,banyak anak pintar di sekolah yang gagal di tempat kerja. Karirnya bukan yang terbaik. Lantas, apa yang "missing"?
Buku "Ketika Pintar Saja Tidak Cukup" mencoba menambahkah bagian yang "hilang" tersebut. Ada banyak kepingan yang perlu ditambahkan buat masa depan anak-anak milenial saat ini. Salah satunya, pendidikan karakter mereka. Dan salah satu bagian penting dalam karakter itu adalah unsur Kecerdasan Emosional (EQ).
Cerdas emosi, artinya cerdas kelola diri dan orang lain. Apa artinya pibtar di sekolah kalau nggak mudah menyerah? Apa artinya rapornya bagus tapi nggak punta kepedulian sama orang lain? Apa artinya rankingnya tinggi tapi sama sekali tidak mampu bersosialisasi.
Itulah sebabnya. Salah satu pelajaran penting yang diajarkan dalam buku ini adalah mengajarkan konsep RULER. Apa itu? Itulah teknik sederhana untuk melatih kecerdasan emosional (EQ) anak muda. RULER singkatan dari R (Recognizing the pattern of self and others), U (Understanding the consequence), L (Labelling the emotion of self and others), E (Expressing the emotion appropriately), R (Regulating the emotion for constructive result).
Kalau dijabarkan, selain pintar di sekolah maka anak muda yang sehat karakternya juga bisa terapkan prinsip RULER tersebut. Apakah itu? Pertama, ia mampu "membaca" apa pola-pola kebiasaan dirinya juga orang lain. Dengan begitu ia mampu mengatur dirinya, dan mengantisipasi orang lain. Dua, ia mengerti dan pertimbangkan konsekuensi dari tindakannya. Kalau dia omong begini, atau ambil sikap tertentu, apa dampaknya. Ketiga, ia bisa melabel, menamai ataupun menyadari apa emosi yang dirasakan dirinya dan ditunjukkan orang lain. Keempat, dia mampu ekspresikan emosinya secara tepat. Kadang kita lihat anak muda yang jengkel lalu bersikap seenaknya. Lalu, terakhir kelima, bisa mengarahkan emosinya justru menjadi energi yang konstruktif. Pentingkah hal itu? Penting banget!
Masalahnya ini,belakangan ini kita srtingkali lihat video yang viral. Ada anak muda yang gampang marah-marah. Ada yang demi mendapatkan "like" yang banyak, nggak pertimbangkan risiko tindakannya. Atau anak remaja yang tidak peduli dampak sikapnya terhadap orang lain. Dan, tampaknya ke depannya kita akan melihat lebih banyak video2 semacam ini, terjadi! Dan kalau kita ingin hal itu bukan terjadi dengan anak dan siswa kita, maka saatnya para orang tua dan para pendidik menjadi sadar dan mulai mengajarkan pada anak-anak mereka. Saatnya kita menyadari bahwa "PINTAR SAJA NGGAK CUKUP".
Hal yang juga menarik dari buku ini adalah memperkenalkan konsep "Mindfulness Parenting" (pola pengasuhan yang sungguh-sungguh hadir). Serta, yang namanya Digital Parenting. Bicara soal digital parenting, banyak pendidik, dan orang tua (kaum baby boomer dan Gen X) yang kagok dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat. Akibatnya, mereka cenderung di dua sisi, melarang atau membiarkan.
Inti Digital Parenting sebenarnya adalah bagaimana menjadi orang tua yang cerdas digital dalam mengasuh anak-anak milenial. Disinilah orang tua tidak perlu alergi, tapi justru menjadi rekan yang membimbing anak-anak dan siswanya dalam menggunakan gadget. Bahkan, mereka jadi follower. Dan menjadi EQ coach yang menerapkan prinsip 3 L (Listen, Label, Limit). Dan terkadang pun orang tua ataupun pendidik bersikap tegas menghadapi media yang dipergunakan oleh anak-anaknya. Bahkan, satu kesalahan fatal yang seringkali tidak disadari oleh orang tua adalah membiarkan anak-anaknya bermain gadget agar mereka anak-anaknya "tidak menganggu dan merepotkan mereka". Inilah yang seringkali menyebabkan anak-anak mereka "ketagihan gadget". So, tantangan buat orang tua dan pendidik, untuk lebih bijak!
Semoga, buku yang diterbitkan bersama Elex Media ini menjadi buku alternatif yang penting bagi orang tua dan pendidik masa kini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H