masjid yang didirikan pada zaman penyebaran Islam yang dilakukan oleh Walisongo yang diperkirakan pada tahun 1479. Sesuai dengan pernyataan bahwa masjid ini dibangun setelah berdirinya Masjid Agung Demak. Masjid Jami' Wali Perkasa memiliki struktur bangunan yang hampir sama dengan Masjid Agung Demak. Nama masjid ini di ambil dari nama Syekh Makhdum Wali Perkasa sendiri, untuk mengenang jasa beliau yang telah memperjuangkan daerah Pekiringan sebagai daerah yang berdiri sendiri.Â
Masjid Jami' Wali Perkasa merupakanMasjid Jami' Wali Perkasa terletak di Dusun II Desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga dengan Kode Pos: 53355. Nama Desa Pekiringan berasal dari kata "Eringing Penggalihipun". Adapun bukti piagam atau Beslit saat ini masih tersimpan di Museum Sana Budaya Yogyakarta dengan kode PB.A 271. Bunyi piagam atau Beslit tersebut yaitu:Â
"Ingsoen naloerekake wasijat saking Mekah. Kegadoeha marang paman Mahdum Wali Perkasa ing Tjahjana. Moela soen gadhoehi noewalaningsoen, sabab dheweke ngrewangi ngelar agama Islam ing Noesa Djawa. Soen loeloesake ing pamardikane. Adja owah kaja adat kang woes kelakoe. Sing sapa ngowahana marang kagoenganingsoen boemi perdikan, ora soen wenehi soeka chalal ing dunja toemeka ngacherat. Kenaa goetoek-oe'llah lan bebendoening Allah."
Dari bunyi piagam atau beslit tersebut, dapat diketahui bahwa daerah Perdikan diartikan sebagai daerah yang sudah diistimewakan. Pada zaman orde lama, status Perdikan ini di hapus oleh pemerintah Republik Indonesia yang diyakini oleh masyarakat bahwa para demang pada waktu itu telah melanggar piagam dan wewaler perdikan, tidak adil, dan memperkaya diri sehingga mereka harus diturunkan. Karenanya, hidup masyarakat menjadi tidak terurus dan terbengkalai. Padahal rakyatlah yang mencetak sawah-sawah dan kebun-kebun, akan tetapi para demang mengakui sebagai hak milik pribadi. Merosotnya kedudukan para Demang ini sesuai dengan beberapa ramalan, seperti besuk selehe demang disondol bangkong, besuk ana bangke mili ngalor, dan besuk ana beslit padha dicanthelake gethek (Darmoredjo, 1986:7).
Terlepas dari permasalahan di atas, desa perdikan menyimpan potensi masalah pertanahan. Penghapusan desa-desa perdikan telah merubah status tanah dari keputihan menjadi tanah pamajegan atau menjadi tanah milik negara. Tanah-tanah keputihan di daerah Perdikan Cahyana merupakan tanah-tanah bebas pajak yang diluluskan oleh Sultan Demak dan dilestarikan oleh para raja Jawa sesudahnya dan pemerintah kolonial Belanda untuk pemeliharaan makam-makam orang-orang suci atau para wali lokal yang berjasa dalam penyebaran agama Islam.
Di Kecamatan Karangmoncol terdapat 13 desa perdikan (sekarang 4 desa) yang berkewajiban memelihara makam Pangeran Wali Prakosa (di Pekiringan), Pangeran Makhdum Cahyana (di Grantung), Haji Datuk (di Tajug), dan Pangeran Makhdum Kusen (di Rajawana). Desa Pekiringan termasuk salah satu dalam Perdikan Cahyana. Adapun daerah Perdikan Cahyana dalam wilayah Pekiringan terbagi menjadi 3 Demang, yakni Demang Pekiringan Lama, Demang Pekiringan Anyar, dan Demang Pekiringan Bedhahan.
Daerah perdikan di wilayah Karesidenan Banyumas sebagian besar memiliki keterkaitan dengan fungsi utama, yakni pemeliharaan makam para wali. Selain itu, fungsi lainnya yaitu pemeliharaan bangunan suci masjid dan pengembangan pendidikan pesantren sebagai sarana syiar agama. Tidak hanya itu, daerah perdikan juga memiliki fungsi sosial yang dapat dilihat dari adanya sebuah pantangan bahwa penduduk perdikan dilarang menjual nasi (beras, padi atau ketupat) dan sirih. Nasi dan sirih hanya dapat disajikan untuk jamuan para tamu atau para pendatang. Terdapat nasihat yang berbunyi "yen kowe nerima mangan wedhi krikil, ora susah lunga-lunga ing wengkonku". Ungkapan ini ditujukan agar penduduk sebagai petani tidak memperkaya diri. Apabila ingin memperoleh kekayaan, maka carilah diluar perdikan.
Status perdikan ini tidak boleh berubah. Jadi, barangsiapa dengan berani mengubah status tersebut, maka akan mendapatkan gutukullah (kutuk Allah) dan bebenduning para wali kang ana ing Nusa Jawa karena Perdikan Cahyana sesungguhnya merupakan peperdikane Allah. Selain itu, orang yang berani mengubah status perdikan juga ora sun wehi suka halal dunya tumeka akherat. Ungkapan gutukullah telah melestarikan Cahyana sebagai daerah perdikan selama lebih dari lima abad. Kutukan Sultan Demak dalam piagamnya dianggap sama saktinya dengan kutukan para raja Hindu dalam prasastinya yang berisi pengukuhan manusuk sima sehingga semua orang sangat takut untuk melanggarnya.
Salah satu sumber sejarah perdikan Cahyana yaitu piagam-piagam dan beslit-beslit. A.M. Kartosoedirjo dalam naskah Tjarjos Panembahan Lawer yang disusun pada tahun 1941 (Behrend, 1990: 77-78) memuat daftar piagam dan beslit yang diterima oleh para pengelola desa perdikan di Cahyana. Naskah koleksi Museum Sana Budaya dengan kode PB.A. 271 itu sangat berguna untuk melacak keberadaan piagam dan beslit tersebut. Diantara para penerima piagam tersebut salah satunya adalah Pangeran Wali Prakosa. Dalam tradisi Cahyana, Pangeran Makhdum Wali Prakosa ini sangat berjasa dalam membangun Masjid Agung Demak.
Syekh Makhdum Wali Perkasa merupakan penguasa Bumi Cahyana/Karangmoncol yang juga merupakan salah satu tokoh yang ikut membantu para wali Demak dalam menyebarkan agama Islam. Beliau menjadi penguasa di Karangmoncol setelah mengantikan kakeknya yaitu Syekh Makhdum Husein. Silsilah Wali Perkasa yaitu Syeikh Jambu Karang/pangeran Mundingwangi berputri Rubiyah Bekti menikah dengan Syeh Antas Angin/Syekh Syarief Abdurahman Al Qodry dan berputra Pangeran Mahdum Kusen berputra Pangeran Mahdum Jamil dan berputra Pangeran Wali Perkasa/Perkasa. Beliau merupakan tokoh historis karena tercantum namanya dalam piagam Sultan Demak yang mengukuhkan Cahyana sebagai peperdikane Allah/wilayah yang berdiri sendiri.
Dikisahkan pada suatu hari, Pangeran Wali Perkasa disarankan kakaknya bernama Pangeran Mahdum Tores, untuk pergi menemui Sultan Demak agar tanah Jiyana tidak diambil alih oleh orang lain. Sesampainya di Demak, Pangeran Wali Perkasa diterima oleh Kiai Penghulu Khalipah Kusen. Pangeran Wali Prakosa yang disebut juga Kaum Pangalasan Kilen meminta izin untuk menghadap Sultan Demak. Tatkala ditanya asalnya dari mana, Pangeran Wali Prakosa menjawab dari Desa Jiyana. Sultan Demak tidak mengetahui Desa Jiyana, yang ia tahu yaitu Cahyana Karabal Minal Mukminin. Kemudian, Sultan memerintahkan kepada Kaum Pangalasan Kilen agar mengislamkan penduduk di daerahnya. Selanjutnya, Pangeran Wali Prakosa menyampaikan maksud dan tujuannya yang kemudian diterima oleh Sultan Demak dan menerima piagam dari Sultan Demak terkait pengakuan bumi cahyana merupakan wilayah yang berdiri sendiri.
Setelah penyerahan piagam, Sultan Demak meminta kepada Pangeran Wali Perkasa untuk membantu pembangunan Masjid Agung Demak. Pangeran Wali Perkasa dikisahkan dalam tradisi Cahyana sebagai pihak yang menyanggupi permintaan Sultan Demak untuk melengkapi kekurangan sebuah saka guru. Di situ, Pangeran Wali Perkasa dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam membuat saka tatal. Jadi, saka tatal yang dikenal sebagai karya Sunan Kalijaga juga merupakan karya dari Wali Perkasa.
Pembangunan Masjid Agung Demak dilakukan oleh para wali pada malam hari. Namun, ketika fajar datang, bangunan masjid itu kelihatan sirung atau dhoyong dan tidak mengarah ke kiblat. Sehingga para Wali kebingungan. Pada saat itu Pangeran Wali Perkasa mengusulkan menawarkan diri membenarkan arah masjid Demak agar bisa menghadap secara benar ke arah kiblat. Karena karomah beliau dan doa Pangeran Wali Perkasa diterima Allah SWT. pada akhirnya masjid Demak berdiri dengan tegak dan mengarah tepat ke kiblat. Nama Wali Perkasa diberikan oleh Sultan Demak berkat keperkasaan doanya sehingga pembangunan Masjid Agung Demak dapat berjalan dengan lancar.
Syekh Makhdum Wali Perkasa juga merupakan waliyullah yang ikut berjasa dalam upaya penyebaran agama Islam khususnya di Desa Pekiringan, Purbalingga dan sekitarnya. Adapun penyebarannya melalui berbagai cara spirit melalui kebudayaan, adat istiadat, syariat, perekonomian dan kesenian seperti kesenian Braen yang merupakan kesenian menyayikan syair-syair Jawa, Arab berisi doa-doa dan diiringi musik rebana. Di Pekiringan sendiri, terdapat bangunan masjid yang berdiri kokoh dengan arsitektur interior yang asli. Bangunan megah gaya asritektur khas masjid besar ini berada di pinggir jalan raya. Sekilas dari luar nampak seperti bangunan masjid biasa pada umumnya. Namun, apabila masuk ke dalam, terdapat hal-hal menarik dengan latar belakang sejarah yang begitu apik.
Masjid tersebut ialah Masjid Jami' Wali Pekasa yang merupakan salah satu peninggalan dari Syekh Makhdum Wali Perkasa. Putra dari Makhdum Jamil, cucu dari Makhdum Husen. Buyut dari Syekh Antas Angin (Syarif Abdurrahman dari Arab) dan canggah dari Syekh Jambu Karang Ardi Lawet. Saudara kandung Makhdum Wali Perkasa adalah Pangeran Tores yang petilasannya berada di Bogares, Tegal. Beliau mempunyai lima orang putra/putri yaituÂ
1. Nyai Saratiman,Â
2. Kiai Penghulu,Â
3. Pangeran Estri (yang mempunyai istri Makhdum Cahyana Grantung),Â
4. Kiai Mas Pakeringan, danÂ
5. Kiai Mas Akhir.
Nama kecil Syekh Makhdum Wali Perkasa adalah Makhdum Amal. Beliau juga merupakan seorang wali Allah SWT. yang memiliki karomah. Salah satu karomah yang terkenal adalah atas izin Allah SWT. beliau mampu memindahkan sebuah batu besar dengan jari kelingkingnya. Dikisahkan bahwa pemindahan tersebut terjadi pada malam Jum'at, yang awalnya berada di sebelah Utara berpindah ke sebelah Selatan sejauh sekitar 100 meter. Yang kini batu tersebut dijadikan saka pada bangunan Masjid Jami' Wali Perkasa dan dijadikan sebagai salah satu peninggalan beliau.
Masjid ini mengalami beberapa kali renovasi disebagian besar bangunannya untuk memperkokoh masjid tersebut. Bentuk yang masih dipertahankan hanya bagian saka guru yang berada di dalam masjid tersebut. Di dalam masjid ini, terdapat perabotan sebagai pelengkap seperti tempat pengimaman, mukena, Al Qur'an, mimbar, Bedug yang diceritakan jika dibunyikan satu kecamatan bisa mendengarnya dan perabotan lainnya. Masjid ini selain digunakan sebagai tempat ibadah sholat, juga digunakan sebagai tempat mengaji anak-anak madrasah, tempat beristirahatnya para wisatawan, tempat penerimaan zakat pada waktu-waktu tertentu, bahkan sebagai tempat pernikahan.
Sepeninggal Syekh Makhdum Wali Perkasa, makam beliau berada di dekat Masjid Jami' Wali Perkasa. Terdapat tiga makam di dalamnya yang hingga saat ini dijadikan wisata religi. Adapun makamnya yaitu makam Syekh Makhdum Wali Perkasa yang berada di tengah, makam Mbah Nyai disebelah Timur, dan makam Pangeran Guru yang berada di sebelah Barat makam Syekh Makhdum Wali Perkasa. Makam Syekh Wali Perkasa dikelola langsung oleh penduduk asli Desa Pekiringan. Disamping itu, dari pihak Dinas juga telah turut mengembangkan dukungan dalam perkembangan dan kelestarian tempat ini.
Masjid dan makam yang satu ini telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya melalui Surat Keputusan Bupati Purbalingga No 432/226 Tahun 2018. Lebih rinci lagi, bagian cagar budya yang harus dilindungi diantaranya yaitu bagian 4 saka guru (umpak, blandar, sunduk, kili dan pengeret). Tempat ini juga cukup ramai dikunjungi oleh para peziarah, khususnya pada bulan Sadran dan hari-hari tertentu. Makam wali perkasa juga menjadi destinasi religi yang memiliki daya tarik tersendiri dengan keunikan dan keindahan yang luar biasa. Banyak wisatawan yang datang untuk berkunjung dan berziarah ke makam beliau. Wisatawan yang datang pun bukan hanya yang berdomisili sekitar Purbalingga. Akan tetapi juga dari luar daerah kabupaten, provinsi, bahkan luar negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H