Oleh. Wira D. Purwalodra
Dalam dunia yang semakin terhubung dan dinamis, pencarian kebebasan sejati menjadi perjalanan yang kian kompleks. Di tengah gelombang informasi dari media sosial, individu sering kali terhanyut dalam derasnya arus komunikasi digital. Media sosial menghadirkan ilusi kebebasan, namun kenyataannya sering kali membelenggu kita dalam ekspektasi sosial dan penilaian orang lain. Jiddu Krishnamurti (1895-1986), seorang filsuf terkemuka dari India, menggambarkan kebebasan sebagai "kondisi batin yang tidak terikat oleh masa lalu."
Krishnamurti berpendapat, bahwa kebebasan tidak dapat dicapai dengan mengikuti panduan yang sudah tersedia. Sebaliknya, kebebasan sejati datang ketika kita melepaskan diri dari pengetahuan dan keyakinan yang sudah kita miliki. Masyarakat Indonesia saat ini tengah dilanda fenomena media sosial, dari Facebook hingga TikTok, yang memengaruhi cara pandang dan interaksi kita. Dalam konteks ini, tantangan sebenarnya adalah bagaimana kita dapat berdiri sendiri dan menolak menjadi produk dari algoritma dan tren sosial.
Seperti yang ditekankan Krishnamurti, "memahami diri sendiri adalah awal dari kebijaksanaan." Ia mengajak kita untuk mencari jawaban dari dalam diri sendiri, bukan hanya dari dunia luar. Pemikiran ini beriringan dengan pandangan filosof Muslim seperti Al-Ghazali, yang menekankan pentingnya introspeksi dan pemurnian hati untuk mencapai kebahagiaan sejati. Namun, keberanian untuk introspeksi kerap kali terhalang dalam masyarakat yang terjerat dalam hiruk-pikuk notifikasi. Media sosial memperburuk kebutuhan manusia untuk diakui dan dikagumi, sering kali dengan mengorbankan keunikan dan kedalaman individu. Krishnamurti memperingatkan, bahwa obsesi terhadap pengakuan dapat menciptakan keterasingan dan kesepian yang mendalam, seraya bertanya, "sejauh mana kita siap melepaskan segala yang kita ketahui?"
Dalam studi perilaku manusia, diketahui bahwa perilaku seseorang banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan kebiasaan sekitarnya. Media sosial, dalam hal ini, sering kali membentuk identitas individu. Di Indonesia, pengaruh ini begitu kuat sehingga banyak orang merasa perlu mengikuti arus terbaru demi diterima oleh masyarakat. Kebebasan sejati menjadi sulit dicapai tanpa kesadaran dan penentangan terhadap pengaruh luar ini.
Krishnamurti menawarkan solusi melalui pembebasan dari yang diketahui, hidup pada momen sekarang. Artinya, kita perlu melepaskan beban masa lalu dan ketakutan akan masa depan. Hidup di saat ini; seperti kata Krishnamurti: "saat kita terbebas dari masa lalu, kita dapat mengalami masa kini dengan sepenuhnya."
Masyarakat Indonesia, dengan kekayaan budayanya, memiliki potensi untuk mengadopsi pemikiran ini. Kebijaksanaan tradisional, bersama ajaran filsafat Krishnamurti dan pemikir Muslim, dapat menjembatani tuntutan modernitas dan kesejahteraan batin. Daripada menolak media sosial, kita perlu belajar menggunakannya dengan sadar dan bijak. Dari Krishnamurti, kita diajak untuk menantang status quo melalui pemahaman yang mendalam dan refleksi personal. Pemikir Muslim seperti Ibn Arabi mendorong perjalanan spiritual yang membawa pada pengenalan diri. Integrasi pandangan ini dapat menciptakan perspektif baru tentang bagaimana menjalani kehidupan modern yang otentik.
Kebebasan sejati datang dari kemampuan untuk melampaui batasan konsepsi diri yang statis. Dalam budaya yang menjunjung tinggi harmoni komunitas, sering kali kebebasan individu terabaikan. Seperti yang disebutkan Krishnamurti, "pikiran bebas bukanlah pikiran yang memberontak, tetapi pikiran yang memahami keseluruhan struktur dan sifat dari segala keterikatan."
Menuju kebebasan ini memerlukan upaya untuk mendamaikan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan kehidupan kontemporer. Di Indonesia, meski tantangan cukup besar, nilai-nilai seperti gotong royong dan toleransi dapat menjadi landasan kuat untuk membangun komunitas digital yang suportif.
Menggapai kebebasan dari yang dikenal, bukan hanya tentang mengatasi batas sosial dan teknologi, tetapi menemukan kedamaian serta keberanian menerima diri sendiri. Krishnamurti mengingatkan, "kita harus siap melepaskan segala sesuatu setiap hari agar bisa menyambut hari yang baru dengan sepenuh hati."