Oleh. Wira D. Purwalodra
Pendidikan adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan masa depannya. Dalam konteks Indonesia, dengan alokasi dana pendidikan mencapai 20% dari APBN dan APBD, kita dihadapkan pada tantangan bukan hanya untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk mengubah cara pandang peserta didik terhadap pembelajaran itu sendiri.Â
Di sinilah filsafat ilmu dapat memainkan peran kunci dalam merancang kurikulum yang tidak hanya bersifat informatif tetapi juga transformatif. Dalam dunia pendidikan, kurikulum tidak boleh hanya menjadi sekadar daftar isi yang harus dituntaskan, tetapi juga harus menjadi jendela menuju pemahaman yang lebih dalam.
Filsafat ilmu memberikan landasan untuk memahami bagaimana pengetahuan disusun, dinilai, dan diajarkan. Sebagaimana yang diingatkan oleh Immanuel Kant, "Ilmu tanpa filosofi ibarat bingkai foto tanpa gambar." Ini menunjukkan bahwa filosofi diperlukan untuk memberikan makna dan arah pada ilmu itu sendiri, termasuk dalam ranah pendidikan.Â
Kurikulum yang didasarkan pada filsafat ilmu memiliki potensi tidak hanya menumpuk fakta, tetapi juga membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Hal ini sangat relevan dengan konteks sekolah-sekolah di Indonesia yang kini tengah bersaing dalam globalisasi.
Filsafat ilmu menekankan pada pentingnya memahami metode-metode ilmiah dan bagaimana pengetahuan dibentuk. Menurut Karl Popper, "Ilmu pengetahuan harus dimulai dari mitos dan berakhir dalam rasionalitas." Dalam konteks pendidikan, ini mengajarkan peserta didik untuk tidak sekadar menerima informasi, tetapi harus berlatih menyaring, menganalisis, dan melakukan sintesis dari berbagai sumber pengetahuan. Sehingga kurikulum yang dirancang berdasarkan filsafat ini lebih bersifat dialogis, dinamis, dan interaktif.
Fonder of Peripatetic School, Aristoteles menempatkan aksentuasi pembelajaran pada pengalaman nyata dan observasi. Filosofi ini dapat diterapkan dalam pengembangan kurikulum yang mendorong experiential learning, pendidikan yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam situasi pembelajaran nyata. Dalam praktiknya, ini memperkaya kurikulum dengan kegiatan di luar kelas, proyek nyata, dan partisipasi aktif dalam masyarakat yang dapat menumbuhkan kedewasaan moral dan wawasan sosial.
Sekolah sebagai institusi pendidikan harus melampaui perannya sebagai lembaga transmisi pengetahuan. Diperlukan pendekatan holistik yang mencakup perkembangan moral dan etika peserta didik. Seorang filsuf besar, Al-Ghazali, menekankan bahwa "Ilmu tanpa tindakan adalah kegilaan, dan tindakan tanpa ilmu adalah kesia-siaan." Filsafat ini mendorong kurikulum yang menekankan penghubungan antara pengetahuan dan amal, antara teori dan praktek.
Dengan demikian, kurikulum harus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Ibn Khaldun, filosof muslim ternama, dalam ijazahnya tentang asabiyah mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk sosial yang bergantung pada hubungan dan kerjasama. Oleh karena itu, pendidikan harus menekankan pada pembangunan kemampuan interpersonal selain dari kemampuan kognitif semata. Hal ini dapat diterapkan dalam kurikulum melalui proyek kelompok dan kolaborasi antarsekolah dan komunitas.
Di sisi lain, banyak sekolah di Indonesia yang masih terkungkung dalam tembok rigiditas birokrasi dan kurikulum yang telah ketinggalan zaman. Promosi kreativitas dan inovasi sering kali terhambat oleh pendekatan pembelajaran yang terlalu fokus pada pencapaian angka daripada makna sejati pembelajaran. Inspirasi dari Ibn Sina yang mengatakan "Hidup ibarat berjalan melawan arus" mengingatkan kita bahwa tantangan yang dihadapi harus dimaknai sebagai kesempatan untuk bergerak melampaui batas-batas yang ada.
Untuk mencapai semua ini, para pengambil keputusan dalam dunia pendidikan harus memahami nilai filsafat ilmu sebagai bintang penunjuk bagi penegakan visi pendidikan masa depan.Â
Memiliki anggaran besar untuk pendidikan, hingga 20% dari APBN dan APBD, harus dapat dipergunakan secara bijak untuk menerapkan filosofi pembelajaran yang lebih seimbang dan berkelanjutan. Melalui sinergi berbagai elemen pendidikan, termasuk fasilitas, tenaga pengajar, dan kurikulum, kita dapat menuju pada sistem pendidikan yang lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman.
Pembelajaran bukanlah hanya soal menjawab pertanyaan, tetapi bagaimana pertanyaan itu dihasilkan dan bagaimana peserta didik dapat mengembangkan rasa ingin tahu mereka sendiri. Rumi, seorang pujangga sufi, pernah berujar, "Jalan cahaya tidak ditemukan dalam jawaban, tetapi dalam pertanyaan." Inilah esensi dari kurikulum berbasis filsafat ilmu, yang menghidupkan semangat bertanya dalam diri setiap peserta didik.
Pada akhirnya, esensi dari pendidikan adalah untuk membentuk manusia seutuhnya, bukan hanya sekadar individu dengan segudang informasi, melainkan juga sebagai pribadi yang mampu bersikap kritis, etis, dan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitarnya. Kurikulum masa depan sepatutnya dirancang bukan hanya untuk hari ini, tetapi dengan cita-cita membangun generasi yang dapat mendobrak batas tembok sekolah dalam dinamika kehidupan nyata !?
Filsafat ilmu menawarkan pendekatan yang integratif antara ilmu dan moralitas, antara pengetahuan dan aplikasi nyata. Pendidikan adalah upaya untuk memberikan kebebasan melalui pengetahuan. "Mengetahui bukan berarti merasa, tetapi menjadi," ujar John Dewey, menekankan bahwa pendidikan harus mampu mengubah keberadaan manusia, bukan sekadar wawasannya.
Transformasi kurikulum perlu tidak sekedar fokus pada pengajaran tetapi pada pembelajaran. Pedagogi transformatif yang didasari oleh filsafat ilmu mempertanyakan dan menantang asumsi, keyakinan, nilai-nilai yang ada dalam upaya pembebasan dan pembentukan nalar kritis para peserta didik. Hal ini menjadi tujuan krusial, terutama dalam konteks Indonesia yang kaya akan kekayaan budaya dan keragaman.
Lebih dari sekadar institusi formal, sekolah harus menjadi tempat di mana peserta didik dapat mengembangkan potensinya secara penuh, seperti yang diungkapkan oleh Plato, "Pendidikan bukanlah mengisi wadah yang kosong, melainkan menyalakan api." Dengan filsafat ilmu sebagai panduan, kita dapat memantik api tersebut dalam diri peserta didik, membantu mereka menemukan tujuan hidup mereka dan memberikan kontribusi nyata bagi dunia yang lebih luas.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk mengambil langkah berani dan inovatif dalam merancang kurikulum dengan menempatkan filsafat ilmu sebagai fondasinya. Menciptakan generasi pembelajar yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga arif secara moral dan spiritual merupakan langkah yang tepat untuk menghadapi tantangan masa depan yang penuh ketidakpastian.
Di tengah gemuruh globalisasi, filsafat ilmu menawarkan pandangan jauh ke dalam diri manusia, menuntun kurikulum untuk sejalan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ketika kurikulum mampu menembus tembok-tembok sekolah dan menggugah kesadaran, maka pendidikan benar-benar mencapai tujuannya, mengubah dunia melalui perubahan yang dimulai dari diri sendiri.
Di balik tembok sekolah terletak potensi tak terbatas untuk menciptakan perubahan. Dan dengan filsafat ilmu, kita tidak hanya menggali ilmu tetapi juga membentuk makna sejati dari pendidikan itu sendiri. Dialog terus menerus dalam menghadapi ketidakpastian akan membuat pendidikan tetap relevan, menyatu dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Wallahu A'lamu Bishshawaab.
Bekasi, 27 Agustus 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H