Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyadari "Idul Fitri" dengan Sadar?!

16 Mei 2021   23:43 Diperbarui: 16 Mei 2021   23:53 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata 'ied dalam konteks ayat di atas diartikan sebagai hari raya, hari yang berbeda dari hari-hari biasa. Arti 'Ied yang lebih jelas dapat dilihat dari perkataan Ali ibn Abi Thalib ra yang diucapkan juga oleh Hasan al-Bishri, berikut ini : "Setiap hari di mana tidak dilakukan maksiat kepada Allah Swt maka hari itu adalah hari 'Ied".

Maksud dari perkataan Ali ibn Abi Thalib ra di atas adalah, bahwa hari 'Ied adalah hari di mana manusia tidak melakukan maksiat kepada Allah Swt. Hal ini lebih luas cakupannya bukan hanya di hari raya Idul Fitri, tetapi juga di hari-hari lain. Ketika dalam sehari-hari kita tidak berbuat maksiat kepada Allah Swt, maka jiwa kita tetap pada kondisi 'ied, yaitu terbebas dari dosa atau terjaga kesuciannya. Adapun pengertian maksiat itu sendiri terbagi menjadi : 1). Maksiat aktif, yakni dengan melanggar larangan Allah Swt; 2). Maksiat pasif, yakni lalai dari melakukan kewajiban dan perintah Allah Swt. Jadi, kata 'Ied, juga bermakna saling memaafkan secara tulus, saling menyayangi dan saling menghormati. Jika kita lalai dalam memaafkan orang lain, menyayangi, dan menghormati satu sama lain, maka ia telah bermaksiat kepada Allah Swt.

Idul Fitri dalam hadis lain dimaknai sebagai hari "kembali pada kesucian", bahkan disebut kembali suci, sebagaimana pada saat bayi dikeluarkan dari rahim ibunya : "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah mewajibkan bagi kalian berpuasa di bulan Ramadhan, dan mensunatkan shalat malam, maka barangsiapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan berserah diri, akan terbebas dosa-dosanya bagaikan bayi yang dilahirkan dari rahim ibunya" (Diriwayatkan oleh Thabrani)

Segala dosa yang menjadi kotoran jiwa dan badan akan menjadi suci kembali. Inilah keistimewaan utama puasa sebagai zakat badan, sebagai pembersih jiwa yang bersifat non-fisik. Karena itu, pengertian 'ied dan makna maksiat di atas, adalah momentum pembinaan karakter individual yang berefek pada karakter sosial.

Kita semua menyadari, bahwa masyarakat dibentuk oleh individu-individu. Basis masyarakat Muslim adalah individu. Individu mencerminkan kehidupan sosial.

Jika individu sebagai anggota dari masyarakat sosialnya baik, maka masyarakatnya pun akan baik. Jika tidak, bayangkan bagaimana ruwednya arus balik mudik yang terlanjur dilarang itu dan kacaunya masyarakat yang berbondong-bondong berwisata tanpa memenuhi protokol kesehatan ?!!

Kita sebenarnya juga memahami, bahwa puasa kita kemaren jika dilihat dari dhahir-nya merupakan ibadah individual, karena hanya kita sajalah yang tahu, apakah kita melaksanakan puasa atau tidak. Tetapi jika digali lebih jauh, karena masyarakat dibentuk oleh individu, maka puasa yang tujuannya melatih kharakter individu muslim, jelas memiliki output yang nyata bagi kehidupan sosial yang lebih luas.

Pada akhirnya, seseorang yang berhasil dalam puasanya dapat dilihat dari kesehariannya, setelah menjalani puasa pada Ramadhan kemaren. Karena, Ramadhan adalah semacam sekolah ruhani, implementasi nyatanya adalah pada hari-hari setelahnya, di bulan syawal ini. Jika dalam puasa kita kemaren mampu mengendalikan segala bentuk emosi dan tidak berkata-kata kasar, maka kita akan mampu melakukan hal itu di hari-hari yang lain. Inilah indikator utama dalam membentuk karakter kita secara sosial !!?. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 16 Nei 2021.
Oleh. Purwalodra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun