Oleh : Purwalodra
Seringkali kita tersesat dalam belantara birokrasi, yang kita ciptakan sendiri. Sistem dan prosedur kerja yang sebenarnya harus terus teruji dalam lapisan-lapisan manajerial, kadang memaksa kita untuk segera menampilkannya dalam aplikasi teknologi informasi, agar terlihat keren dan profesional.Â
Namun, ketika sistem informasi tersebut nyaris selesai, program yang digunakan sudah tidak up to date lagi. Dan tepaksa harus memulai dari awal dengan aplikasi program yang sedang trend saat ini. Jangan ditanya apakah tindakan ini efisien atau tidak, yang jelas sih cukup untuk memberi makan anak yatim 200 orang selama setahun.
Banyak organisasi usaha ingin selalu tampil fresh, keren dan terlihat sophisticated, seperti organisasi-organisasi usaha pada umumnya, meskipun anggarannya belum memadai, namun ketika sistem informasi yang dibangun tidak diiringi dengan standard operating procedure (SOP) yang jelas dan memadai. Wal hasil, prosedur yang teraplikasi dalam sistem informasi digital tersebut, hanya menguatkan berbagai penundaan kerja, alias kegiatan dalam organisasi menjadi semakin lambat dan stagnant. Â Â Â
Birokrasi merupakan prosedur yang selalu diselimuti berbagai aturan untuk memperlancar proses kerja dan menghindari penyimpangan-penyimpangan, serta kebocoran-kebocoran administratif. Penyimpangan dan kebocoran administratif ini, biasanya berupa penyalahgunaan wewenang yang bermuara pada kerugian secara finansial dan kerugian secara moral, Â dalam bentuk kebodohan struktural yang kemudian meningkat menjadi krisis kinerja karyawan.Â
Padahal, alasan keberadaan birokrasi adalah sesuatu yang baik dan positif. Tetapi, dalam prakteknya, birokrasi seringkali menjadi penghambat kegiatan, bahkan sebagai penghalang perubahan ke arah yang lebih baik, sekaligus sebagai pembunuh kreatifitas dan spontanitas gerak organisasi.
Tidak sedikit, pejabat dan orang-orang  yang dianggap pimpinan, yang notabene bersikap pengecut, bersembunyi di balik birokrasi ini hanya untuk mematahkan dinamika perubahan yang terjadi secara natural, baik dalam perilaku organisasi maupun dalam praksis manajemen sehari-hari. Alasan sebenarnya adalah ketakutan mereka pada perubahan dan ketakutan untuk kehilangan posisi.Â
Namun, alasan tersebut selalu saja dibalut dengan argumentasi birokratis, guna menutupi mentalitas pengecut yang bersembunyi di baliknya. Sehingga, birokrasi menjadi pembenaran bagi sikap pengecut dan ketakutan berlebihan pada sesuatu yang tidak mereka ketahui (fear of the unknown).
Horkheimer dan Adorno, menegaskan bahwa birokrasi adalah nyawa dari sistem di dalam pemerintahan maupun bisnis modern (1944). Sementara itu, sistem menurut Niklas Luhmann, seorang pemikir teori sistem, bahwa birokrasi bertujuan untuk mengurangi kerumitan di dalam dunia, sehingga produktivitas bisa meningkat sejalan dengan proses pengurangan kerumitan tersebut (Luhmann, 1984).Â
Fondasi dari cara berpikir yang terdapat di dalam birokrasi dan sistem, tidak lain dan tidak bukan, adalah rasionalitas instrumental, yakni cara berpikir yang mengedepankan kontrol, efisiensi, efektivitas, dan bersifat impersonal. Sehingga, tidak diragukan lagi bahwa birokrasi dan sistem menjadi pilar penyangga hampir semua organisasi modern saat ini.
Perlu dicatat pula, bahwa tujuan awal dari eksistensi rasionalitas instrumental di dalam birokrasi dan sistem adalah untuk mengurangi kerumitan dalam mengelola manajemen organisasi. Dan, semua itu bermuara pada pembentukan prosedur kerja.Â
Nah, ketika prosedur kerja ini masih menjadi alat penunda kerja, bahkan penghalang dinamika perubahan organiasi, seharusnya yang perlu dilakukan adalah memperbaiki SOP (standard operating procedure)-nya secara berkelanjutan, sampai batas yang dianggap mapan, bukannya malah memaku prosedur kerja, yang masih rawan menghadapi dinamika perubahan organisasi tersebut, dengan mendeterminasikannya ke dalam aplikasi sistem informasi secara digital.
Kegagalan aplikasi dalam sistem informasi akan muncul, pada saat orang-orang yang biasa disebut pimpinan itu, Â memperlakukan dunia manusia, yang sangat rumit dan komplek, melulu sebagai sistem dan birokrasi. Ketika hal itu terjadi, maka relasi antar manusia kehilangan spontanitasnya dan menjadi impersonal.Â
Kehangatan dan makna hidup hilang ditelan oleh prosedur yang kering dan mekanis. Spontanitas dan kreativitas menjadi sesuatu yang langka di dalam sistem dan prosedur kerja. Tidak heran banyak orang menderita kelainan jiwa atau disorientasi, karena ia merasa terasing di tempat kerjanya sendiri. Dalam kasus yang ekstrem, akan semakin banyak orang bunuh diri, baik secara nyata maupun secara eksistensial !!!
Selanjutnya, Jurgen Habermas, salah seorang pemikir Jerman kontemporer, berpendapat bahwa dunia manusia tidak hanya terdiri dari sistem yang mekanis, melainkan juga terdiri dari realitas dunia kehidupan. Dunia kehidupan adalah ruang-ruang di masyarakat yang tidak terjamah oleh birokrasi. Di dalamnya orang menemukan identitas dan makna keberadaan dirinya di dunia. Di dalamnya pula lahir spontanitas dan kreativitas yang memberi warna bagi kehidupan manusia. (Habermas, 1984)
Habermas juga, menegaskan bahwa di dalam era modernitas saat ini, dunia kehidupan semakin terkikis oleh sistem dan birokrasi. Akibatnya banyak orang mengalami krisis makna, karena ia tidak memiliki ruang untuk menemukan identitas dirinya. Banyak orang hanya hidup di dalam sistem, yang sifatnya mekanis dan impersonal. Dalam jangka panjang psikopatologis adalah konsekuensi dari cara hidup semacam itu.
Ingat, bahwa dunia kehidupan manusia tidak bergerak dengan rasionalitas instrumental saja, tetapi dengan rasionalitas komunikatif (Habermas, 1984). Rasionalitas komunikatif  berfokus pada komunikasi yang dilakukan secara adil dan proporsional, guna menemukan persetujuan bersama. Manusia membentuk dirinya melalui komunikasi dengan lingkungannya.Â
Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat modern, kita wajib memberikan ruang yang cukup bagi realitas kehidupan manusia, dan membatasi keberadaan sistem sesuai kebutuhan saja. Kongkritnya begini, bahwa spontanitas, kebebasan berfikir, dan kreativitas haruslah diberikan tempat tertinggi, bahkan di dalam birokrasi yang paling rumit sekalipun.
Akhirnya, bentukan birokrasi yang kita ciptakan harus cukup lentur dengan perubahan dan dinamika organisasi, sehingga memungkinkan berkembangnya kreativitas, inovasi, bahkan produktivitas manuasi yang ada di dalamnya. Birokrasi juga harus cukup kuat, sehingga korupsi dan penyimpangan moral, dalam bentuk apapun, mudah terdeteksi dan dipatahkan sejak awal. Bagaimana kalo begitu ?. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 14 September 2020.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI