Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku, Ruang, dan Waktu?

25 April 2018   23:59 Diperbarui: 26 April 2018   00:15 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Di era yang serba digital, serba online, serba cepat dan serba terbuka sekarang ini, kita selalu dituntut untuk mampu mawas diri, mampu bekerja hati-hati dan tanpa meninggalkan hati nurani. Sekarang ini, apapun yang kita lakukan akan langsung memiliki 'multiplier effect' (dampak) yang tak terpikirkan oleh pikiran manusia. Bahkan, prediksi dan ramalan para ahli pikir sekalipun, tak mampu mengestimasi peristiwa yang akan terjadi esok hari. Semua serba cepat, serba instan dan seakan waktu yang kita miliki, tak lagi menjadi milik kita yang bisa kita kelola dengan berbagai pengetahuan manajemen.

Kita selalu berharap agar waktu bisa lebih panjang, lebih indah dan lebih menenangkan.  Dengan begitu kita bisa sedikit bernafas panjang dengan berbagi tugas, pekerjaan dan usaha yang kita jalani setiap hari. Namun kenyataanya, waktu lebih cepat dari pikiran kita sendiri. Kita selalu tertinggal jauh dengan waktu.

Kita sangat terkejut, kerna tiba-tiba tugas sudah 'deadline.' Lantas kita juga tiba-tiba terhenyak dengan segala sesuatu yang waktunya sudah tak tersisa lagi. Akhirnya, kita menyesal dengan waktu yang tak sengaja, tidak kita manfaatkan dengan baik dan benar. Ketika kita mencoba menyandingkan waktu dengan tenaga dan pikiran, ternyata waktu lebih kuat dan lebih cerdas. Pada saat kita menyandingkan waktu dengan uang, jabatan dan nama besar kita, ternyata waktu lebih kaya, lebih terhormat dan menjadi tak terprediksikan.

Sungguh ironis, ketika ada seseorang yang berjanji akan menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu, tepat sasaran dan tepat tujuan. Sejujurnya, tak ada manusia yang mampu berhadapan dengan waktu. Karena waktu bukan milik kita, tapi miliki sang Khaliq, sang Pencipta 'waktu' di alam semesta ini.

Dalam Al Qur'an Surah ke-103, yang terdiri dari 3 ayat, pada juz ke-30 atau Juz 'Amma dan yang termasuk kedalam golongan surah Makkiyyah karena turun di Kota Mekah. Surah ini berisi tentang manusia yang sesungguhnya berada dalam keadaan merugi kecuali mereka yang selalu beramal shaleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Allah Swt berfirman, "1). demi masa. 2). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3). kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al AShr, 1-3).

Ternyata waktu yang melekat dalam hidup kita itu, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena ia takkan kembali. Sehingga, jika kita sedikit berpikir maka sebenarnya tak ada istilah waktu luang dalam hidup kita. Waktu akan terus berjalan, meskipun kita tidur atau bahkan kita menganggapnya sebagai waktu luang sekalipun.

Waktu terus berlari tanpa kembali lagi. Oleh karena itu, ke-Iman-an dan kesabaran adalah pangkal keselamatan, sertakebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Iman yang sebenar-benarnya yang selalu mendorong kita untuk melakukan kebaikan (amal salih) Inilah jalan keberuntungan, jika kita sandingkan antara apa yang kita perbuat dengan bergeraknya waktu tersebut.

Berbagai pemikiran Filsuf di awal abad pertengahan Eropa juga berpikir tentang keberadaan waktu ini. Mereka, melihat perbedaan antara dua macam waktu, yakni waktu subyektif dan waktu obyektif. Waktu subyektif adalah waktu yang kita rasakan di dalam batin dan pikiran kita.

Sementara, waktu obyektif adalah waktu sebagai mana tertera di dalam jam dan kalender. Ia adalah hari, jam dan tanggal yang digunakan sebagai panduan oleh banyak orang di dalam hidupya.

Sementara itu, waktu subyektif dan waktu obyektif berjalan dengan logika yang berbeda. Satu jam terkena macet di jalan dan satu jam bersama kekasih tercinta memiliki rasa yang amat berbeda. Secara obyektif, keduanya sama, yakni satu jam. Namun, secara subyektif, keduanya amatlah berbeda.

Di masa awal perkembangan ilmu pengetahuan modern di Eropa, pandangan tentang waktu subyektif pun disingkirkan. Yang tersisa kemudian adalah pandangan tentang waktu yang obyektif. Di sini, waktu dipandang sebagai sesuatu yang ada secara mandiri di luar diri manusia. Ia adalah bagian nyata dari alam yang bisa diukur.

Pandangan ini kemudian dikritik oleh filsuf lain pada abad pencerahan juga, bahwa waktu adalah bagian dari akal budi manusia. Ia tidak berada di alam, melainkan di dalam pikiran manusia. Sebagai bagian dari pikiran manusia, waktu membantu manusia sampai pada pengetahuan tentang dunia.

Di dalam filsafatnya, para filsuf tersebut sudah menegaskan, bahwa waktu selalu terkait dengan ruang. Keduanya adalah bagian dari pikiran manusia. Pandangan ini dikembangkan selanjutnya oleh Albert Einstein. Ia melihat, bahwa waktu tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang. Maka dari itu, ia merumuskan konsep ruang-waktu untuk menegaskan maksudnya.

Pada akhirnya, tanpa menafikan berbagai pandangan para filosof tersebut tentang waktu, maka kitapun menyadari bahwa hidup kita dibatasi oleh ruang dan waktu. Apapun yang kita kerjakan, ikhtiarkan dan usahakan ada batas ruang dan waktu.

Oleh karena itu, agar kita mampu menembus ruang dan waktu, untuk menyelesaikan visi dan misi hidup kita masing-masing, maka hanya keyakinan kepada yang Maha Pemberi Karunialah yang dapat menuntaskan perjalanan hidup kita. Melalui berbagai upaya dalam mewujudkan kebaikan bersama (amal saleh) dan memahami sinergi kehidupan (saling nasehat menasehati) di jalan kebenaran dan kesabaran. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 25 April 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun