Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Macam Apa yang Ingin Kita Jalani?

26 Juni 2016   04:34 Diperbarui: 6 Juli 2016   09:54 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Setiap kita memiliki problematikanya masing-masing. Tidak ada manusia yang tidak memiliki masalah. Persoalan hidup yang mereka alami, meski dengan berbagai sebutan atawa nama lain, tetap saja semua itu hakekatnya adalah masalah. Dalam bahasa agama, problematika hidup ini bisa saja disebut sebagai cobaan, ujian atawa hukuman. Dengan adanya problematika hidup pada diri manusia, yang sumbernya selalu berasal dari diri manusia itu sendiri, pada hakekatnya adalah untuk mengingatkan kita semua agar selalu menyadari apa yang kita pikirkan, kita sikapi bahkan kila lakukan sebelumnya, kepada seisi alam semesta ini.

Kadang kita tidak menyadari kekuatan hukum sebab-akibat yang ditimbulkan dari pikiran kita, sikap dan perbuatan yang sehari-hari kita lakukan. Dalam hukum fisika, dinyatakan bahwa kekuatan reaksi sebanding dengan aksi yang kita lakukan. Dalam hukum pikiran saja ditegaskan, bahwa apa yang kita pikirkan akan kembali pada sumber pikiran itu sendiri, lebih dari apa yang kita pikirkan.

Jika kita mau lebih dalam melihat, saat ini begitu banyak orang mengalami penderitaan dalam hidupnya. Hampir semua bentuk penderitaan datang dari pikiran, baik dalam bentuk kecemasan akan masa depan, maupun penyesalan atas masa lalu. Penderitaan nyata sehari-hari bisa kita lampaui dengan baik, jika kita mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan penyesalan yang kerap mencengkram pikiran kita. Sebaliknya, hal kecil akan menjadi sulit dan rumit, ketika pikiran kita dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan. Ingat bahwa, pikiran yang penuh masalah/pikiran negatif, akan menghadirkan penderitaan, begitupun sebaliknya, pikiran yang jernih/positip akan menghadirkan kehidupan yang mendamaikan.

Kita akan sulit berfungsi dalam masyarakat, apabila pikiran kita dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan. Kita tidak bisa menolong diri kita sendiri. Akibatnya, kitapun cenderung menjadi penghambat bagi orang lain, dan bahkan bisa membuat orang lain menderita. Beban pikiran yang berlebihan juga membuat kita tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana hidup manusia itu sebenarnya !?.

Sebenarnya, semua ini bisa kita antisipasi dengan memahami hakekat dan gerak pikiran kita. Karena, setiap bentuk konsep adalah hasil dari pikiran kita sendiri. Dengan konsep itu, kita kemudian menanggapi berbagai keadaan di luar diri kita. Dalam hal ini, emosi dan perasaan juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran kita, manusia.

Ingat pula, bahwa ciri dari pikiran kita, adalah tidak nyata, sementara dan rapuh. Pikiran kita itu sebenarnya bukanlah kenyataan. Pikiran kita adalah respon atawa tanggapan atas kenyataan. Pikiran kita dibangun di atas abstraksi konseptual atas kenyataan yang ada.

Pikiran kita itu juga sementara. Pikiran kita datang dan pergi. Iapun berubah. Ketika keadaan di luar diri kita berubah, maka pikiran kitapun berubah. Ketika lapar, pikiran melemah. Dan sebaliknya, ketika perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.

Sekali lagi, hal ini menegaskan ciri selanjutnya, bahwa pikiran itu rapuh. Apa yang kita pikirkan sama sekali belum tentu benar. Bahkan, keyakinan kita atas pikiran kita cenderung juga mengarahkan kita pada kesalahan dan penderitaan, baik penderitaan diri sendiri maupun orang lain. Pikiran kita begitu amat mudah berubah, dan ini jelas menandakan kerapuhan dari semua bentuk pikiran kita.

Bahkan apa yang kita sebut sebagai dunia, sebenarnya adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita bersama sebagai suatu kelompok masyarakat.Pikiran dan tindakan bersama yang senantiasa berulang tersebut, pada akhirnya menciptakan pola bersama. Pola itulah yang menjadi “dunia” kita. Namun, disisi lain, diri kita juga amat dipengaruhi oleh masyarakat kita. Cara kita berpikir, cara kita berbicara sampai dengan kepercayaan kita pada Tuhan sangat dipengaruhi oleh masyarakat kita.

Kita sadar bahwa hidup manusia di bumi ini begitu pendek. Tapi ironisnya, dalam usianya yang pendek ini, banyak manusia hidup menderita dengan berbagai problematikanya masing-masing, entah menderita secara fisik, atau batin. Banyak orang harus berjuang keras, hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Di sisi lain, banyak orang mengalami kehampaan hidup yang akut, sehingga mereka mengalami masalah kejiwaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun