Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendadak Jadi Pinter?!

30 April 2016   13:15 Diperbarui: 15 Juni 2016   09:16 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Di era yang serba digital sekarang ini, nyaris seluruh manusia yang memiliki laptop, netbook, gadjet, Smartphone, tablet dan lain-lain, atawa yang mampu berhubungan dengan dunia maya, tiba-tiba menjadi seorang ahli dalam semua bidang. Seolah-olah bangku sekolahan yang mereka kunyah-kunyah selama bertahun-tahun tak ada gunanya lagi. Sekarang semua orang semakin gampang pinter, dengan terciptanya dunia baru di dalam dunia nyata ini, yaitu dunia maya alias dunia internet. 

Gimana tidak cepat pinter, wong sekarang nulis skripsi aja hanya butuh waktu 3 sampai 4 hari saja, kelar. Dulu zaman saya masih mahasiswa, nulis skripsi tuh butuh waktu 3 sampai 4 bulan, itu pun belum dihitung dengan corat-coret dan koreksian dosen, yang seolah-olah tidak ingin saya cepat-cepat menyelesaikan perkuliahan.  Bahkan sekarang, nulis artikel, makalah, paper dan lain-lain hanya cukup waktu satu-dua jam saja.

Bagi seorang dosen yang budi-daya pikirnya belum digital-minded, akan kesulitan mengikuti gerakan mahasiswanya yang serba mudah, canggih dan digital-mindedini.Bagi mahasiswa ‘orde-lama,’ buku atawa makalah adalah 'kekasih' yang perlu diperjuangkan, sementara bagi mahasiswa pada ‘orde-digital’sekarang ini, buku dan makalah tidak lagi penting. Kerna semua teori, bahkan semua contoh soal sudah ada di dunia maya. Tinggal browshing kata kuncinya di google, semua persoalan tulis-menulis rampung ?!

Apalagi dengan dengan muncul WA (Watsapp), Facebook dan lain-lain,tiba-tiba semua orang bisa jadi ustadz, guru, dosen, pejabat, kiai, filosof, politikus, dan lain-lain. Bagi yang punya group WA, hampir setiap hari kita kebanjiran tausiah, berita dan kisah-kisah kreatif lainnya. Gimana nggak pada pinter semua, wong semua yang kita ‘share’ ke Group WA atawa FB itu hasil copas (copy-paste) group tetatangga ?!.

Menurut orang bijak, “dari seribu orang yang berbicara di Watsapp (WA) atau medsos lainnya, hanya ada satu orang yang berpikir. Dan dari seribu orang yang berpikir itu, ada satu orang yang mampu melihat.”  Dari pernyataan orang bijak ini, ternyata beberapa ribu tahun lalu, ketika Rasulullah menyebarkan wahyu, Allah Swt berfirman  dalam Al Qur’an Surat As-Sajdah Ayat 9, “kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”

Ternyata pada saat pertamakali Allah menghidupkan manusia dengan ruh-Nya, bersamaan dengan itu pula Allah memberikan fasilitas pada diri manusia itu dengan pendengaran, penglihatan dan hati. Ketiga fasilitas ini begitu bermanfaat bagi manusia untuk mampu mengarungi berbagai perkembangan zaman, berbagai pemikiran, berbagai informasi dan lain-lain, diera digital sekarang ini.

Dari setiap kesempatan mengajar, saya selalu bertanya kepada mahasiswa, “kamu mendengar dengan apa ?” Jawab mahasiswa, “saya mendengar dengan telinga saya pak.” Saya kembali bertanya, “dengan apa telingan kamu mendengar ?” Sebagian besar mahasiswa sulit menjawab pertanyaan terakhir saya ini, karena pikiran mereka masih terkunci. Mereka masih menggabungkan antara ‘alat’ dengan ‘tujuan.’ Sama halnya ketika saya bertanya pada mahasiswa,”kamu melihat dengan apa ?”Mereka menjawab, “saya melihat dengan mata saya pak.”Kemudian saya meneruskan, “matamu itu melihat dengan apa?”Mereka kembai terdiam ?!

Ternyata masih banyak orang atawa diri kitia sendiri, hanya melihat apa yang ada dalam tubuh fisik kita ini sebagai ‘alat’ saja. Mata hanya dilihat sebagai alat untuk melihat. Telinga dilihat sebagai alat untuk mendengar. Tangan dilihatnya sebagai alat untuk memegang, dan lain sebagainya. Kita tidak mampu melihat keberadaan tubuh fisik kita sebagai sebuah “tujuan.”  Jika saja keberadaan fisik manusia hanya bisa dilihat sebagai suatu ‘alat,’ bagaimana kita mampu melihat ‘tujuan’ keberadaan hidup kita bersama fisik kita di dunia ini ?! Pada hakekatnya, ‘tujuan’ akan lebih tinggi dari hanya sekedar ‘alat.’

Pertanyaan saya kepada mahasiswa saya diatas, merupakan indikator bahwa masih banyak dari manusia belum mengetahui tujuan hidupnya. Dalam tulisan ini, terntu saya tidak akan menjelaskan apa itu tujuan hidup, tapi yang penting bahwa semua yang ada pada diri kita dan semua yang ada disekitar kita, bahkan teknologi yang saat ini berkembang begitu pesatnya, semua itu ada tujuannya.  

Jawaban dari pertanyaan terakhir saya kepada mahasiswa, bahwa telinga kita mendengar dengan hati, begitu pula mata kita. Mata kita juga melihat dengan hati. Ketika hati kita damai, maka telinga kita bisa mendengar dengan indah, begitupula mata kita, juga bisa melihat apapun dengan indah. Ingat firman Allah, “...Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati ...”

Kembali pada gagasan semula, bahwa kemajuan teknologi yang saat ini kita hadapi, tentu memerlukan sikap kritis kita semua. Jangan sampai kita mampu meng-copas tulisan orang, sementara pikiran kritis kita menjadi hilang. Dari pikiran yang kritis inilah kita akan mampu melihat apa ‘tujuan’ dibalik semua itu. Sebenarnya kitapun harus bertanggungjawab atas apa yang kita ‘copas’ itu kepada orang lain. Kita harus mampu merasakan perasaan dan pikiran orang yang membacanya, kalo perlu kita juga mesti mampu melihat multiplier-effect dari tulisan ‘copas’ kita itu, baik untuk diri kita sendiri, maupun kepada orang lain. Jangan sampai informasi yang copas itu justru menjadi ‘bumerang’ atawa paradoks bagi hidup kita sendiri ?!  Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 30 April 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun