Kemunafikan bagaikan kanker yang menjalar ke seluruh tubuh masyarakat kita saat ini. Dalam dunia kerja, Visi Organisasi tertulis bahwa seluruh anggota organisasi menjunjung tinggi etika kerja, namun pimpinannya senang menerima laporan/berita bohong dan selalu menyalahkan bawahannya. Di dalam dunia pendidikan, kemunafikan menjadi paradigma yang ditolak, namun diterapkan secara sistematis. Guru mengajar tentang kejujuran, sementara ia sendiri menyebarkan contekan untuk Ujian Nasional. Pemerintah bicara tentang sekolah gratis di berbagai media, sementara pungutan liar, dan sekolah-sekolah mahal masih diperkenankan hidup dan tetap berlangsung. Sebenarnya masih banyak lagi kemunafikan-kemunafikan yang bisa kita temukan di semua bidang, baik politik, bisnis, agama, dan lain sebagainya.
Jika saja kita mampu lebih cermat memahami semua ini, maka salah satu variabel dan akar kemunafikan ini lahir dari proses pendidikan di dalam keluarga, sebelum sistem-sistem lainnya menyentuh diri manusia. Orang tua mengeluarkan ajaran yang berbeda, dengan apa yang sesungguhnya mereka lakukan sehari-hari di rumah. Jurang antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan ini, akhirnya ditiru oleh anak-anaknya, dan setelah sekian lama maka pikiran, perbuatan dan sikap ini menjadi bagian dari karakter dirinya.
Sebagai contoh, orang tua berbicara tentang kerajinan, sementara seringkali, mereka sendiri malas bekerja. Orang tua berkhotbah tentang pentingnya menaati aturan, sementara mereka sendiri sering melanggar aturan dan hukum, serta merugikan orang lain, bahkan menyakiti orang lain.
Sebenarnya, akar dari kemunafikan adalah jurang yang terlalu besar antara kata dan perbuatan, antara ajaran dan tindakan di lapangan, serta antara apa yang “secara teoritis” menjadi tujuan bersama dan apa yang “secara nyata” terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Jurang ini memang selalu ada. Namun, dalam dan luasnya menentukan besarnya kemunafikan yang akan terjadi ?!. Pada akhirnya, semua kemunafikan ini menjadi sebuah kenyataan yang lahir dari ucapan-ucapan dan perkataan kita sendiri yang tak terkendali atawa tak disadari, dan pada saat inilah 'tutur-kata' kita menjadi pembinasa?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 15 Desember 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H