Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menepis Hasrat Hewani dan Kesenjangan, dengan Semangat Qur’ban

24 September 2015   08:13 Diperbarui: 24 September 2015   09:23 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Oleh. Purwalodra

Hari ini, adalah hari Raya Idul Adha atawa Idul Qur’ban, 10 Dzulhijjah 1436,  Qurban yang berasal dari kata “Qoroba” , yang artinya mendekatkan diri. Dalam Islam maknanya yaitu, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Istilah lain dari ritual qurban ini adalah “Udhiyyah” yaitu mempersembahkan dan memberikan sesuatu kepada Allah dengan sesuatu yang dikorbankan. Dalam konteks Islam sesuatu yang dikurbankan itu adalah hewan ternak, seperti sapi, unta dan kambing.

Menurut Prof. Dr. H.M Quraish Shihab, qurban adalah jenis ibadah paling tua di dunia. Filosofi dari peristiwa penyembelihan Ismail putra Nabi Ibrahim, adalah kepatuhan seorang hamba pada Tuhannya, dimana harta paling berharga bagi Ibrahim As adalah anaknya. Dan ia mendapatkan Ismail, buah hatinya, setelah menunggu lama. Secara filosofis, ada dua pelajaran yang bisa kita tangkap dari peristiwa qur'ban ini. Pertama, jangan pernah menganggap sesuatu itu mahal kalau untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Kedua, jangan sekali-kali melecehkan manusia, dan jangan sekali-kali mengambil hak-hak manusia karena manusia itu makhluk agung yang sangat dikasihi Allah. Karena kasihnya Allah kepada manusia, maka digantilah Ismail dengan seekor binatang.

Kecintaan manusia terhadap dunianya, seperti halnya anak-anak, istri, harta bahkan kekuasaan, merupakan faktor-faktor yang menjauhkan diri manusia kepada Tuhannya. Dengan semangat berqur’ban, kita diajak kembali mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan menjauhkan kita dari hasrat-hasrat hewani.

Selain itu, semangat berqurban juga merupakan pelajaran agar kita menyadari kesenjangan sosial di sekitar kita. Ketika jarak antara si kaya dan si miskin semakin besar, maka kesenjangan sosial pun semakin besar. Karena, akar dari kesenjangan sosial adalah ketidakadilan sosial, yakni ketika kemakmuran hanya dirasakan segelintir orang, sementara kelompok orang lainnya harus hidup di dalam kemelaratan. Hal ini akan menimbulkan sikap iri hati sosial, kesenjangan, dan ketidakadilan yang bermuara pada perpecahan dan konflik sosial.

Selanjutnya, kesenjangan sosial juga tercipta, akibat ideologi yang salah dari liberalisme ekonomi. Kata kunci disini adalah pasar bebas, dimana negara didorong untuk mundur, sehingga para pelaku bisnis bisa melakukan transaksi dengan bebas dan aman. Tugas negara dalam hal ini hanyalah menjadi penjaga keamanan. Semua bentuk peraturan dan pajak yang menghalangi pergerakan modal haruslah dihilangkan.

Di dalam ideologi liberalisme ekonomi, negara dianggap akan makmur, ketika pemerintahan bersikap semata hanya sebagai penjaga keamanan, dan modal bisa bergerak bebas, nyaris tanpa aturan, sehingga kekayaan bisa menetes dari atas (orang kaya) ke bawah (orang miskin). Efek kekayaan yang menetes inilah yang menjadi kunci utama dari kemakmuran sebuah bangsa.

Ternyata, liberalisme ekonomi juga tidak mendorong bergeraknya kekayaan untuk bisa menetes ke bawah, karena tidak ada sistem yang menjamin proses tersebut. Orang kaya semakin kaya, dan juga memperkaya keluarganya. Sebaliknya, orang miskin justru tetap miskin, bahkan semakin miskin, karena mereka tak punya akses yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Akibat penerapan yang buta dari ideologi liberalisme ekonomi, kesenjangan sosial semakin besar. Oleh karena itu, kita bisa memaknai semangat qur’ban ini untuk menepis kesenjangan sosial di sekitar kita, dan menepis kehendak-kehendak hewani kita.  

Akhirnya, Allah berfirman, “Dan sungguh akan Kami isi neraka Jahanam dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati namun tidak pernah dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka memiliki mata, namun tidak pernah dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), mereka memiliki telinga, namun tidak pernah dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS. Al-'Araf: 179). Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 24 September 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun