Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berfikir Ulang Tentang Esensi Lebaran?

17 Juli 2015   04:55 Diperbarui: 17 Juli 2015   10:15 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Hari ini adalah lebaran pertama, setelah sidang Isbath memutuskan untuk berpisah dengan Ramadhan kemaren sore, tapi pikiranku masih saja menghujam di Ramadhan yang belum ikhlas kutinggalkan. Sementara, euforia menyambut hari raya sudah terlihat tujuh hari sebelum hari ini tiba. Geliat konsumtivisme menerjang sampai ke pelosok kampung-kampung. Gelora mudik menggetarkan seluruh jalan-jalan, meski tak semacet tahun-tahun sebelumnya. Kota-kota menjadi sepi penghuni. Desa-desa hidup dengan semerbak wangi kehidupan kota. Mereka merayakan kemenangan, katanya. Mereka menjawab kerinduan, ternyata. Kerinduan yang menjembatani kehidupan masa lalu dan hari ini. Dan, menggambar perubahan itu hanya bisa dilakukan ketika mereka berada di kampung halaman.

Namun sayangnya, perubahan yang terlukis bukan perubahan sikap, cara berfikir, dan perilaku, tapi perubahan itu hanya membawa budaya konsumtivisme dari kota ke kampung halaman. Jelas saja, ketika kembali ke kota, kita akan kembali fresh, penuh energi dan vitalitas, karena mudik tidak berbeda dengan jalan-jalan dan refreshing belaka. Tak ada esensi ritual yang bisa berbekas. Tak ada kesadaran keberagamaan yang bisa ditingkatkan, dan yang lebih tragis lagi, tahun depan kalo bisa dan harus bisa, lebih kaya ato bawa uang lebih buannyaaaak !!! dari lebaran sekarang.

Selama Ramadhan kemaren, hampir semua stasion televisi sebagian besar durasinya diisi oleh acara-acara yang hanya mengumbar tawa tanpa makna. Tawa terpingkal menghibur diri. Perbincangan dilakukan tanpa substansi. Yang ada hanya upaya untuk menghias Sahur dini hari.

Memang ada yang indah ketika kita tidak lagi berfokus pada substansi. Ada yang indah ketika kita merayakan apa yang tampak, tanpa berpikir tentang esensi. Beberapa orang bilang itu pertanda krisis. Tapi, beberapa orang lainnya bilang, itu tanda kelahiran gaya hidup baru. Inilah warna Ramadhan di media publik kita saat ini, tanpa esensi.

Bertahun-tahun, sejak negeri ini lepas dari tangan penjajah, kita mencari esensi. Tapi yang kita temukan sampai hari ini adalah abstraksi konseptual. Sementara, para filsuf mencari hakiki. Para ilmuwan mencari hukum-hukum abadi. Justru di era informasi ini, semua itu terlupakan. Yang lahir adalah modifikasi dari apa yang ada di permukaan. Kita lupa akan esensi. Kita juga lupa akan hukum-hukum abadi.

Meski, di masyarakat kita saat ini alergi dengan esensi. Banyak orang anti dengan kedalaman. Yang dirayakan adalah apa yang tampak. Yang diagungkan adalah permukaan. Karena, pola berpikir mendalam dianggap sebagai elitis. Semuanya digampangkan. Tradisi lenyap ditelan keadaan. Sementara, orang-orang tua kita berteriak tentang akhir jaman.

Saat ini. Kita lebih mencintai permukaan. Kita tidak peduli tentang apa yang ada di belakang semua itu. Kita tidak lagi membedakan apa yang sejati dan apa yang semu. Semua melebur di dalam lintasan ruang dan waktu.

Di masyarakat kita apa yang tampak selalu mengorbankan apa yang sejati. Mental konsumtivistik dikedepankan tak peduli pada apa yang didapat dari penghasilannya sehari-hari. Besar pasak dari pada tiang, kata orang. Kedangkalan dan kebodohan dianggap lebih berharga daripada kedalaman maupun kesejatian.

Mungkin yang saat ini terjadi adalah pembalikan. Apa yang ada di permukaan menjadi apa yang sejati. Yang esensi dianggap sebagai tidak asli. Secara perlahan yang esensial menyelinap di dalam ketiadaan. Inilah yang tepat terjadi di masyarakat kita. Yang esensial tidaklah lenyap, melainkan berganti muka. Yang esensial adalah yang permukaan. Yang esensial adalah apa yang tampak.

Kesejatian diri disamakan dengan jumlah kekayaan material. Kebahagiaan disamakan dengan popularitas, jumlah saham dan deposito finansial. Kedewasaan disamakan dengan cara berpakaian. Harga diri disamakan dengan tipe mobil dan HP yang digunakan. Yang esensi melebur dengan yang eksistensi. Pembedaan keduanya tak lagi bermakna di jaman ini. Sikap displin dan serius digantikan dengan humor dan tawa. Yang semestinya tuntunan agama menjadi tontonan dan tertawaan. Sehingga, semua permenungan mendalam atas suatu peristiwa kini menjadi langka. Akhirnya, akupun berpikir ulang, apa sih sebenarnya esensi hari raya tahun ini ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 17 Juli 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun